SlotRaja777 – Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004
Dia masih di sana. Masih menari. Entah sejak kapan dan sampai kapan dia akan menari tak ada yang pernah tahu. Sesekali dia berdendang, juga bersajak.
Tapi semua itu bukanlah jawaban untuk apa yang sedang dilakukannya. Dia memang cantik. Tapi dia tak pernah tersentuh. Oleh apapun juga siapapun.
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘈𝘬𝘶 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘦𝘭𝘢𝘱
𝘒𝘦𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯
𝘚𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘵𝘶𝘵𝘬𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘭𝘰𝘯𝘵𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢
𝘒𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘪𝘶𝘭
𝘚𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘪𝘴𝘢𝘶-𝘱𝘪𝘴𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘫𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘯𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘵𝘢
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘈𝘬𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘫𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘭𝘶𝘬 𝘳𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯
𝘉𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘵𝘶𝘬𝘬𝘶
𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪
𝘚𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪
𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘳𝘪…
Lalu dia kembali menari meliukkan seluruh persendiannya, meloncat, berputar, semakin cepat lalu melambat, kembali cepat, melupakan komposisi, dia terus bergerak, terus meliuk, sesekali di iringi dengan erangannya yang mampu menyayat mata langit,
sesekali terjatuh juga, lalu kembali menari, hingga fajar tiba dan dia berlari ke sudut taman di antara belukar dan lenyap di telan bumi.
***
𝗣𝗮𝗿𝘁 𝟭
𝗠𝗶𝗺𝗽𝗶 𝗕𝘂𝗿𝘂𝗸
Di Sebuah Desa di Pinggir Alas Kidul, Zaman Kerajaan Hindu
“Kamu mau ke sungai sekarang, nduk?” Ucap perempuan paruh baya kepada gadis muda cantik yang merupakan anaknya.
“Nggih, Bu. Biar tidak kesiangan nanti” Jawab gadis muda itu.
“Ya sudah hati-hati. Segera pulang kalau sudah selesai nyuci” Ucap Ibunya.
“Nggih, Bu” Jawab gadis cantik itu.
Gadis cantik itu pun berjalan menyusuri jalan desanya menuju ke sebuah sungai besar di pinggiran desa. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi warga desa ini, terutama perempuan mencuci baju di sungai.
“Selamat pagi, mbok” Sapa gadis itu pada seorang perempuan tua yang sedang sibuk merawat tanaman sayur di ladang yang dilewatinya.
“Ealah Ndari to jebule, tak kiro sopo (Ealah Ndari to ternyata, kukira siapa)” Sahut perempuan tua itu.
“Ameh ning lepen, nduk? (Mau ke sungai, nduk?)” Sambungnya.
“Nggih , Mbok Narti” Jawab Sundari atau biasa dipanggil Ndari oleh penduduk desa ini.
“Yowis kono, sing ngati-ati (Ya sudah sana, hati-hati)” Ucap Mbok Narti.
Sundari pun tersenyum lalu kembali melanjutkan perjalanannya yang masih cukup jauh untuk menuju ke sungai. Sundari memang dikenal sebagai seorang gadis yang sangat ramah. Selain itu juga dia sangat cantik. Penduduk desa ini begitu menyukainya.
Dia tak segan membantu siapa saja yang sedang dalam kesulitan sesuai kemampuannya. Selain dikenal sebagai gadis yang sangat baik, Sundari juga dikenal sebagai seorang penari handal. Dia mengikuti sanggar tari yang ada di desanya.
Sejak kecil dia begitu menyukai seni tari tradisional ini. Hampir setiap sore dia selalu berlatih di sanggar dan juga melatih anak-anak kecil yang baru belajar seni tari.
Wajahnya yang cantik, tutur katanya yang lembut dan ramah, serta kebaikannya membuat beberapa pemuda desa ini menginginkannya menjadi pendampingnya. Namun tidak satupun yang mendapatkan respon oleh Sundari.
Meski usianya sudah memasuki usia yang pantas untuk mengakhiri masa lajang. Entah apa alasannya hanya Sundari seorang yang mengetahuinya.
Sesampainya di sungai, Sundari langsung melakukan kegiatannya mencuci baju. Nampak di antaranya ada beberapa perempuan lain yang juga warga desanya melakukan kegiatan yang sama. Sambil diwarnai senda gurau mereka tampak asyik mencuci baju tanpa ada beban sedikitpun.
Namun tanpa ada yang menyadari, ternyata ada sepasang mata yang mengamati mereka semua dari balik semak tak jauh dari seberang sungai itu. tatapan mata itu nyalang penuh nafsu menatap tajam serombongan perempuan desa yang sedang mencuci baju dan juga mandi, terutama pada Sundari.
Sebelum matahari bersinar terik, nampak beberapa orang telah meninggalkan sungai untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Menyisakan Sundari dan tiga orang perempuan lainnya yang belum menyelesaikan kegiatan mereka.
“Aku pulang dulu, Ndari. Kamu masih lama?” Ucap Yati, salah satu perempuan yang ikut mencuci baju yang juga sebaya dengan Sundari.
“Sebentar lagi selesai kok, Yati. Yasudah kamu duluan saja” Jawab Ndari.
Sepeninggal Yati, dua orang lainnya juga ikut meninggalkan sungai karena pekerjaan mereka sudah selesai. Tersisa Sundari sendirian yang masih mengucek beberapa baju yang tersisa. Sembari mencuci baju, Ndari bersenandung beberapa lagu jawa dengan suaranya yang merdu.
Selain pandai menari, Sundari juga memiliki suara yang merdu. Beberapa saat ketika dia sedang asyik menikmati kegiatannya, tiba-tiba perasaannya berubah menjadi tidak nyaman. Dia merasa diawasi oleh seseorang.
Beberapa kali dia memandang kesana kemari, namun tidak menemukan seorangpun. Sundari pun bergegas menyelesaikan cuciannya dan segera beranjak dari sungai. Ketika dia hendak melangkah, sudut matanya melihat sekelebat bayangan melintas menjauh dari seberang sungai.
Seketika tubuh Sundari merinding. Tak mau menduga lebih jauh, Sundari memilih untuk segera meninggalkan tempat itu. Dia teringat cerita yang selama ini berhembus bahwa sekitaran sungai itu merupakan tempat wingit dimana banyak bersemayam bangsa jin.
Sundari mengayun langkahnya cepat meninggalkan sungai itu. Perasaannya kian tidak menentu sebab sepanjang perjalanan dia merasa ada yang mengikuti. Beberapa kali dia menoleh untuk memastikannya, namun lagi-lagi dia tidak mendapati siapapun.
Jantungnya semakin berdebar karena takut diikuti orang jahat atau rampok yang memang masih banyak berkeliaran dan bersembunyi di hutan dekat sungai tadi. Atau bisa juga diikuti bangsa jin penghuni sungai besar yang mengalir di pinggiran desanya itu.
Sesampainya di pemukiman, Sundari sedikit bisa bernafas lega. Sebab dia mulai menemui penduduk lain yang beraktifitas di sekitar rumah mereka masing-masing. Setidaknya jika memang ada orang yang berniat jahat, akan ada orang yang bisa dimintai tolong.
“Seko ngendi, Ndari? Kok ketok pucet ngono (Dari mana, Ndari? Kok terlihat pucat seperti itu)” Sapa seorang pria paruh baya yang melihat Sundari sedikit tergesa-gesa ketika memasuki desa.
“Saking lepen, Pakde Ranto (Dari sungai, Pakde Ranto)” Jawab Sundari sambil mengatur nafasnya.
“Lho kok dewe? Koncone ngendi? (Lho kok sendirian? Temannya mana?)” Tanya Ranto.
“Sampun wangsul riyin, Pakde. Ndari keri piyambakan (Sudah pulang duluan, Pakde. Ndari tertinggal sendirian)” Jawab Sundari.
“Wah lha kok kewanen awakmu. Wis kene mampir sek ngombe wantah sek (Wah terlalu berani kamu. Sudah sini mampir dulu minum air putih dulu)” Ucap Ranto mengajak Sundari mampir ke rumahnya yang terletak paling ujung desa itu.
“Nggih, matur suwun, Pakde (Iya terima kasih, Pakde)” Jawab Sundari mengiyakan tawaran Ranto.
Sundari pun duduk di lincak yang ada di teras rumah Ranto. Tak berapa lama seorang wanita paruh baya yang merupakan istri Ranto keluar dengan membawa sebuah kendi dan gelas dari bambu.
Dia menuang isi kendi tersebut dan memberikannya kepada Sundari. Sundari pun menerima dan segera menenggak isinya sampai tandas.
“Ono opo, nduk? Kok ketoke kowe keweden ngono (Ada apa, nduk? Kok sepertinya kamu ketakutan begitu)” Ucap Mbok Sri, istri Ranto.
Sundari pun mencceritakan apa yang dialami dan dirasakannya tadi. Mbok Sri dan Pakde Ranto mendengarkannya dengan seksama.
“Sesuk meneh ojo dewean ning kali yo nduk. Yen koncone mulih, awakmu yo kudu melu mulih,senajan gaweanmu durung rampung (Lain kali jangan sendirian disungai ya nduk. Kalau temanmu pulang,kamu juga harus ikut pulang,meskipun pekerjaanmu belum selesai)” Ucap Pakde Ranto menasehati.
“Nggih, Pakde. Ndari nggih mboten ngiro, soale tasih siang (Iya, Pakde. Ndari juga tidak mengira, karena masih siang)” Ucap Sundari.
“Demit kono kui ora mandang awan utowo wengi nduk. Yen ngerti ono menungso dewean ning panggone, yo bakal tetep diganggu. Durung meneh yen sing moro rampok. Iso tambah ciloko awakmu
(Demit situ tidak peduli siang atau malam, nduk. Kalau tahu ada manusia sendirian di wilayahnya, ya bakal tetap diganggu. Belum lagi kalau yang datang rampok. Bisa semakin celaka kamu).” Ucap Pakde Ranto lagi.
“Nggih Pakde (Iya Pakde)” Jawab Sundari.
“Wes wes. Sing penting awakmu selamet. Saiki muliho(Sudah sudah. Yang penting kamu selamat. Sekarang pulanglah)” Ucap Pakde Ranto.
“Nggih pakde, matur suwun (Iya pakde, terima kasih)” Ucap Sundari.
Sundari pun segera meninggalkan rumah Pakde Ranto untuk pulang. Meski sudah merasa lega, namun perasaannya masih tetap mengganjal. Dia masih merasa ada yang mengawasinya dari kejauhan.
Sundari pun berusaha menenangkan dirinya dengan berpikir positif dan membuang perasaan ragu serta takutnya. Hingga sesampainya di rumah dia sudah merasa jauh lebih tenang. Dia tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada ibunya karena tidak mau membuat ibunya khawatir.
***
Sore harinya, Sundari kembali berlatih menari seperti biasa di sanggar seni yang dipimpin seorang dalang di desanya. Sanggar seni ini tidak hanya menampilkan kesenian wayang kulit saja, tetapi berbagai kesenian lainnya, seperti wayang orang, ketoprak, karawitan, dan seni tari.
Sanggar seni ini cukup terkenal di wilayah ini. Mereka sering disewa oleh istana kerajaan dan beberapa pejabat penting lainnya untuk tampil dalm perayaan tertentu. Dan Sundari tentu saja termasuk salah satu personil yang kerap ikut tampil jika mereka meminta ada pertunjukan tari.
Ketika Sundari sedang berlatih, tampak seorang pemuda menunggunya di salah satu sudut pendopo. Pemuda itu memang sangat sering melihat sundari berlatih. Tampak jelas di raut wajahnya bahwa pemuda itu sangat mengagumi Sundari.
Sundari bukannya tidak mengetahui kehadiran pemuda itu. Dia tahu jika sedang ditonton oleh seseorang dengan rasa kagum. Namun hal itu tidak membuat Sundari risih, sebab mereka memang sudah saling mengenal.
Pemuda itu merupakan anak dari Ki Wongso, pemimpin sanggar seni ini. Sesekali Sundari melemparkan senyum manisnya ketika tanpa sengaja tatapan mata mereka beradu. Begitu pula dengan pemuda itu. Setelah menyelesaikan satu tarian, Sundari segera menghampiri tempat pemuda itu duduk.
“Ngapain lihat aku sampai begitunya, Mas Damar? Nanti terpesona lho. Hihihi” Ucap Sundari sedikit menggoda pemuda bernama Damar itu.
“Aku memang sudah terpesona kok, Ndari. Kamunya saja yang tidak mau menanggapi” Jawab damar sembari sedikit memonyongkan bibirnya.
“Bukannya begitu, Mas Damar. Kamu pasti sudah paham alasanku kan?” Ucap Sundari sambil sedikit tertunduk.
“Aku paham kok. Sudah tidak perlu dipikirkan. Bisa terus melihatmu menari saja aku sudah sangat bersyukur” Ucap Damar sambil tersenyum.
Sundari hanya menghela nafas panjang usai mendengar ucapan Damar tadi. Hatinya bergemuruh dengan perasaan yang bercampur aduk. Jika boleh mengakui, sesunggguhnya Sundari memiliki perasaan yang sama dengan perasaan Damar kepadanya.
Namun ada satu hal yang menjadi penghalangnya untuk mengakui bahkan menerima perasaan Damar. Satu hal yang tidak mungkin diungkapkannya kepada orang lain. Satu hal yang akan membawa bencana bagi siapapun yang nantinya menjadi pasangannya.
“Kamu mau lanjut latihan atau mau pulang, Ndari?” Ucap Damar lagi memecah lamunan Sundari.
“Eeeh.. Aku mau ngelatih anak-anak dulu, Mas Damar” Jawab Sundari.
“Baiklah, aku tinggal dulu ya” Ucap Damar lalu beranjak memasuki ruangan khusus untuk berlatih mendalang.
***
𝘋𝘪 𝘚𝘶𝘥𝘶𝘵 𝘚𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘛𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘒𝘰𝘵𝘢, 𝘋𝘪 𝘗𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘫𝘶𝘯𝘨 𝘛𝘢𝘩𝘶𝘯 2004
Terik matahari ini semakin lama semakin menyengat di kepala. Aku yang sejak pagi duduk di pinggir taman ini masih malas untuk beranjak.
Menyendiri di taman setiap pagi memang sudah menjadi kebiasaanku sejak lama, tepatnya kapan aku sendiri sudah lupa dan enggan untuk mengingatnya. Yang pasti aku selalu dapat menikmati kesendirianku di pinggir taman ini, dengan segelas kopi dan sebuah surat kabar pagi.
Tapi pagi ini aku benar-benar enggan untuk beranjak. Padahal hari benar-benar sudah terik dan aku harus segera berangkat ke kantor. Tapi aku tak peduli, anganku sudah terlanjur berlari, entah kemana, aku sendiri tak mengerti.
Aku bertemu dengan seorang perempuan,aku seperti mengenalnya, tapi aku benar-benar tak bisa mengingatnya. Entah bagaimana aku bisa begitu akrab dengannya,bercanda, tertawa, bersajak bersama. Aku dan dia, benar-benar seperti sepasang kekasih, tapi aku tak tahu siapa perempuan itu.
Dia memanggilku dengan sebutan yang aneh. Damar… Damar… dia memanggilku Damar… Padahal yang aku tahu dan yang pernah ku baca di KTP, akta kelahiran, ijasahi-jasahku, dan surat-surat yang lain namaku adalah Burhan, bukan Damar.
Tapi entah mengapa panggilan itu benar-benar akrab di telingaku.
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘋𝘢𝘯 𝘨𝘦𝘮𝘦𝘳𝘭𝘢𝘱 𝘳𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘶𝘴 𝘳𝘦𝘭𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪𝘬𝘢𝘪𝘢𝘯
𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨
𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘫𝘶𝘵 𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘩𝘢𝘳𝘪
𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘫𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘫𝘢𝘮
𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘢𝘺𝘶𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘺𝘢𝘮-𝘢𝘯𝘺𝘢𝘮 𝘤𝘪𝘳𝘳𝘶𝘴
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘤𝘪𝘵 𝘤𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘪𝘳𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪…
Seperti itu, aku benar-benar mengucapkan sajak itu. Padahal aku belum pernah menulis atau pun membaca sajak yang seperti itu. Aku semakin tak bisa mengerti tentang apa yang ku alami. Hingga tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara ponselku dan membuyarkan anganku.
Ternyata bos menelponku dan menyuruhku agar segera ke kantor karena banyak sekali pekerjaan menumpuk yang belum ku selesaikan. Aku melangkah meninggalkan taman itu, meninggalkan sesuatu yang benar-benar tak kumengerti di taman itu.
***
𝘋𝘪 𝘚𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘥𝘪 𝘗𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘳 𝘈𝘭𝘢𝘴 𝘒𝘪𝘥𝘶𝘭, 𝘡𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘏𝘪𝘯𝘥𝘶
Malam sunyi, seperti malam-malam sebelumnya di desa ini. Suasana yang sangat wajar di masa itu, apalagi di daerah pedesaan yang jauh dari keramaian kota kerajaan.
Aktifitas penduduk kebanyakan hanya ketika siang hari. Sedangkan pada malam hari mereka memilih untuk berdiam di rumah. Begitu pula dengan Sundari yang saat ini masih duduk di sebuah kursi di sudut kamarnya.
Remang cahaya lampu teplok menemaninya menggores lontar dengan untaian sajak yang menunjukkan isi hatinya.
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘋𝘢𝘯 𝘨𝘦𝘮𝘦𝘳𝘭𝘢𝘱 𝘳𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘶𝘴 𝘳𝘦𝘭𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪𝘬𝘢𝘪𝘢𝘯
𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨
𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘫𝘶𝘵 𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘪𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘩𝘢𝘳𝘪
𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘫𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘫𝘢𝘮
𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘢𝘺𝘶𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘺𝘢𝘮-𝘢𝘯𝘺𝘢𝘮 𝘤𝘪𝘳𝘳𝘶𝘴
𝘉𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩…
𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘤𝘪𝘵 𝘤𝘢𝘮𝘢𝘳 𝘪𝘳𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘴𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪…
Usai menulis sebait sajak untuk menggambarkan kegelisahannya sekaligus sebagai penyemangat diri untuk menerima apapun nasib dan takdir yang diberikan Tuhan kepadanya, Sundari mulai merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang kecil dengan beralaskan tikar pandan.
Matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya dan angannya menembus batas dimensi melukiskan kebahagiaan ciptaan angannya untuk menenangkan sukmanya sebelum memasuki alam mimpi yang tidak selalu indah menghiasi tidurnya setiap malam.
Sundari sudah sangat terbiasa akan hal itu. hampir setiap malam dia mengalami mimpi yang buruk dan selalu terbangun dengan deru nafas memburu dan keringat bercucuran sebelum pagi menjelang.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo iro kang gadhah manunggaling pusaka kembang maya
Kalimat itu selalu terngiang dalam mimpi Sundari. Terkadang terlihat sosok makhluk menyeramkan berwujud buto dengan ukuran sangat besar yang mengucapkannya, terkadang tanpa terlihat wujud sama sekali.
Namun untaian kalimat itu selalu didengarnya berulang-ulang bersamaan dengan penglihatan sebuah bencana mengerikan berupa kematian mengenaskan orang-orang yang dikenalnya dengan cara yang aneh dan misterius. Dan semua itu terjadi setelah Sundari menjalani sebuah pernikahan.
Seperti juga malam ini, Sundari mengalami sebuah mimpi sedang duduk di kursi pelaminan bersanding dengan Damar. Raut kebahagiaan terlihat dari wajah kedua pasangan itu. pun dari sanak saudara serta semua tamu undangan yang menghadiri acara itu.
Namun rasa bahagia itu tidak berlangsung lama, tanpa terlihat sosok yang mengucapkannya, terdengar kalimat yang sama diucapkan berulang-ulang yang hanya di dengar oleh Sundari. Seketika Sundari panik menyadari akan datangnya bencana seperti pada mimpi-mimpi sebelumnya.
Tepat seperti yang diperkirakannya, Damar yang sebelumnya duduk tenang dan tersenyum ramah kepada semua tamu undangannya tiba-tiba jatuh menggelepar di hadapan Sundari. Matanya melotot dan kedua tangannya menekan bagian dada menandakan merasakan sakit yang tak terkira.
Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya erangan kesakitan yang mengiringi muntahan darah kental dari mulutnya. Tak berapa lama semua orang yang berada di tempat itu pun mengalami hal yang sama.
Satu persatu mereka jatuh menggelepar, bahkan sebagian telah meregang nyawa dengan sangat mengenaskan. Tak ada yang bisa Sundari lakukan. Dalam mimpinya dia sepenuhnya sadar jika sedang berada di alam mimpi, namun dia tidak memiliki kuasa untuk mengendalikannya.
Sundari hanya bisa memandang nanar. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mengalami mimpi serupa seperti ini.
Adegan itu terus berlangsung hingga terlihat sesosok pria di kejauhan berdiri memandang ke arah Sundari. Jarak yang cukup jauh membuat Sundari tidak bisa melihat dengan jelas wajah dari sosok tersebut.
Sundari mengabaikannya lalu kembali memandang orang-orang yang sedang menggelepar menunggu ajal mendatangi mereka. Hingga tiba-tiba Sundari merasakan ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Kepala seseorang itu mendekat ke arah telinga Sundari lalu membisikkan sesuatu.
“Tidak akan ada satu pun manusia yang bisa memilikimu. Kau hanya milikku. Aku akan menunggu kedatanganmu di Alas Kidul saat tanda di punggungmu berubah memerah. Jika kau tidak datang, maka aku yang akan menjemputmu sekaligus meminta tumbal dari orang-orang yang kau sayangi”
Seketika Sundari langsung terbangun dari mimpinya dengan tubuh basah kuyup oleh keringat dan nafas yang memburu. Masih dalam perasaan kalut dan panik, hawa dingin dan lembab tiba-tiba datang menyelimuti dirinya.
Sundari masih berusaha menahan suaranya supaya tidak berteriak dan membangunkan Ibunya. Sebab terakhir kali hal itu terjadi, keesokan harinya Ibunya jatuh sakit hingga beberapa hari. Sundari tidak mau membuat Ibunya takut dan khawatir hingga mempengaruhi kesehatannya.
Sundari menahan perasaan mencekam ini seorang diri, perlahan air matanya meleleh membasahi pipinya. Rasa takut kali ini melebihi malam-malam sebelumnya. Dia merasa ada makhluk yang mendatanginya dan menunggu di luar rumahnya.
Perlahan terdengar suara langkah kaki dari sisi luar dinding kamarnya. Langkah kaki itu berjalan mondar mandir lalu berhenti tepat di depan jendela. Tok… tok… tok… Terdengar daun jendela kamarnya diketuk pelan.
Ada sedikit rasa penasaran untuk mengetahui siapa yang sedang berada di luar kamarnya. Namun ketika Sundari mengingat kejadian mengerikan dalam mimpinya, dia mengurungkan niatnya untuk memeriksa keluar.
Rasa takut semakin besar menjalari jiwanya. Sundari hanya bisa menarik selimut dari kain jarik lusuh dan menutupi seluruh tubuhnya untuk memberikan sugesti rasa aman dari terror yang mendatanginya malam ini.
Meski hal itu sia-sia belaka,sebab sosok di luar sana masih terus berjalan mondar mandir dan sesekali mengetuk daun jendela kamar Sundari. Hingga di penghujung malam menjelang fajar,sosok itu tiba-tiba mengucapkan kalimat yang selama ini hanya di dengar Sundari di dalam mimpinya.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo iro kang gadhah manunggaling pusaka kembang maya
Sundari semakin ketakutan dibuatnya. Selama ini terkadang dia masih menganggap mimpinya hanyalah bunga tidur semata. Namun ternyata dia malam ini mendengar secara langsung kalimat itu di alam nyata yang entah diucapkan oleh siapa di luar sana.
Tepat ketika sosok di luar usai mengucapkan kalimat itu, suasana berubah menjadi sunyi. Tidak lagi terdengar suara langkah kaki, pun ketukan di daun jendela.
Namun Sundari masih tak bergeming dan tetap berlindung di balik selimut kain jarik lusuh pemberian Ibunya itu hingga pagi menjelang dan pintu kamarnya diketuk berbarengan dengan suara Ibunya yang membangunkannya.
“Kamu mimpi buruk lagi, nduk?” Ucap Suprapti ketika melihat wajah pucat Sundari usai membukakan pintu kamarnya.
“Ndak kok, Bu. Ndari hanya kurang tidur saja semalam karena memikirkan gerakan baru tari yang akan Ndari latih nanti” Ucap Sundari tiak mau membuat Ibunya khawatir.
“Ya sudah kamu mandi saja biar segar. Sudah Ibu siapkan air hangat” Ucap Suprapti lagi masih dengan nada khawatir.
“Baik, Bu” Jawab Sundari lalu segera bergegas menuju bilik kamar mandi di belakang rumahnya.
***
“Nduk, ibu semakin khawatir dengan kondisimu. Ibu tahu kamu masih sering mimpi buruk kan?” Ucap Suprapti ketika menemani Sundari sarapan seusai mandi.
“Ibu tidak perlu khawatir atau sedih. Ndari tidak apa-apa kok, Bu” Jawab Sundari.
“Tanda lahir di punggungmu itu membawa malapetaka, nduk. Sejak kamu lahir, Mbah Sumi dukun bayi yang membantu kelahiranmu sudah memperingatkan Ibu.
Dan sejak kamu kecil, kamu sering sekali mengalami kejadian aneh dan janggal. Seolah-olah kamu itu sangat disukai bangsa lelembut” Ucap Suprapti lagi.
“Ibu jangan mudah percaya dengan hal seperti itu.Ndari sudah jarang sekali mimpi buruk kok Bu.Kalau kejadian sewaktu Ndari kecil,Ndari anggap itu hanya kebetulan saja karena kecerobohan Ndari sendiri yang suka main di tempat-tempat sepi” Sundari masih berusaha menenangkan Ibunya.
“Apa tidak sebaiknya kamu coba tanya ke Ki Wongso, nduk? Selain dalang, beliau kan juga mengerti soal klenik” Ucap Suprapti.
“Sebaiknya jangan, Bu. Ndari khawatir nanti banyak orang yang tahu soal Ndari. Sementara Ibu sendiri terus berusaha merahasiakannya. Selain Ibu, Bapak dan Ndari sendiri, hanya Mbah Sumi dan Mas damar yang tahu soal ini.
Mbah Sumi dan Bapak sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedangkan Mas Damar bisa kupercaya tidak akan menceritakan kepada siapapun” Ucap Sundari.
“Ibu paham kan, pertanda-pertanda seperti yang dimiliki Ndari ini dianggap aib oleh orang-orang. Ndari tidak mau terjadi apa-apa sama Ibu kalau orang-orang mengetahui kondisi Ndari yang pasti dianggap pembawa sial dan malapetaka” Sambungnya.
Suprapti menunduk lalu terisak usai mendengar ucapan Sundari. Dia tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Dia kembali teringat kejadian dua puluh tahun silam ketika Sundari dilahirkan.
Mbah Sumi yang membantu kelahiran Sundari terperanjat ketika melihat bayi yang dilahirkan Suprapti masih terbungkus selaput rahim. Ketika bayi itu dikeluarkan dari bungkusnya, Mbah Sumi semakin terperanjat ketika melihat tanda lahir berupa titik hitam di punggung bayi itu.
“Anakmu ini akan membawa malapetaka, Nduk” Ucap Mbah Sumi.
“Ada apa dengan anak saya, Mbah?” Tanya Suprapti sambil meringis masih menahan rasa sakit akibat melahirkan.
“Dia lahir bungkus dan di punggungnya ada tanda setan. Dia juga memiliki getih anget. Dia akan disukai bangsa lelembut untuk dijadikan tumbal.
Kalau dia berhasil tumbuh dewasa, dia akan kesulitan mendapatkan jodoh, karena sudah diincar raja iblis untuk dijadikan istrinya. Kalau dia menikah dengan manusia, suaminya akan mati sebelum menyentuh tubuhnya” Ucap Mbah Sumi.
Suprapti langsung menangis mendengar ucapan Mbah Sumi. “Lantas apa yang harus saya lakukan, Mbah? Saya sangat menyayangi anak saya”
“Dia bisa saja diselamatkan. Jika ada yang memiliki pusaka sakti untuk mengalahkan raja iblis itu. Tapi aku tidak tahu pusaka apa dan siapa yang memilikinya. Semoga saja ada keajaiban yang bisa menolong anakmu sebelum malapetaka itu terjadi” Jawab Mbah Sumi.
“Saya minta tolong rahasiakan soal anak saya ini, Mbah. Jangan sampai orang-orang tahu dan mencelakai anak saya” Ucap Suprapti memelas.
“Baiklah, aku akan merahasiakannya. Aku janji akan kubawa rahasia ini sampai datang ajalku. Tapi aku tidak mau ikut bertanggung jawab jika malapetaka itu nantinya benar-benar terjadi” Ucap Mbah Sumi.
Mbah Sumi pun menepati janjinya hingga ajal menjemputnya, tak satupun orang lain yang mendengar mengenai kondisi Sundari ketika dilahirkan. Suprapti pun membesarkan Sundari dengan sangat hati-hati dan penuh kasih sayang.
Tak pernah sekalipun dia memperlihatkan tubuh Sundari kecil kepada orang lain, terutama bagian punggungnya. Sebab dia tahu, jika sampai ada orang lain yang tahu, mereka pasti akan membunuh Sundari supaya tidak menimbulkan malapetaka kepada penduduk desa, nantinya.
Atau minimal mengusir keluarga Sundari untuk meninggalkan desa ini.
“Ibu jangan bersedih yaa. Ndari percaya pasti nantinya akan ada yang bisa menolong Ndari” Ucap Sundari yang sudah beranjak dari tempatnya duduk untuk memeluk Ibunya.
***
Pagi itu matahari bersinar sangat cerah. Kicau burung liar di pinggiran hutan terdengar sangat merdu menyambut sesosok pemuda yang berjalan pelan memasuki hutan untuk berburu. Di tangan kirinya menggenggam erat sebuah busur yang terlihat kokoh.
Di punggungnya tersemat beberapa anak panah dengan ujung sangat tajam siap menghujam jantung hewan buruan untuk dijadikan santapan serta persediaan makanan nantinya.
Sedang di pinggangnya menggantung sebilah golok yang cukup besar lengkap dengan warangkanya. Tubuhnya tegap dan kekar terlihat sangat gagah. Tangannya yang berotot bergerak menyibak semak-semak untuk melacak pergerakan hewan yang akan menjadi target buruannya.
“Tumben tidak ada kancil atau kijang terlihat di sekitar sini. Padahal biasanya mereka berkeliaran sampai di kebun penduduk” Gumamnya pelan.
“Mungkin aku harus masuk lebih dalam ke hutan” Sambungnya bermonolog.
Dia terus berjalan ke dalam hutan. Sama sekali tidak ada rasa takut dalam benaknya, meski hutan ini dipercaya sangat wingit oleh penduduk desa. Hal itu karena dia sudah sangat terbiasa berburu hingga masuk ke dalam hutan bernama alas kidul ini.
Tentu saja dia tidak sendirian. Dia bersama kedua temannya, namun mereka sepakat mengambil jalur terpisah dan akan bertemu di satu titik yang mereka sepakati yaitu sebuah pohon besar di dalam hutan yang masih berjarak beberapa ratus meter dari tempatnya saat ini.
Beberapa waktu dia berjalan, akhirnya pohon besar yang akan dijadikan sebagai titik pertemuan sudah terlihat. Nampak kepulan asap tipis menyeruak dari balik batang pohon berdiameter lima depa orang dewasa.
Nampaknya salah satu atau bahkan mungkin kedua temannya telah sampai di titik pertemuan tersebut.
“Apa yang kalian dapatkan?” Ucapnya setelah benar memastikan bahwa kedua temannya telah sampai di titik pertemuan dan sedang membakar ayam hutan hasil tangkapan mereka.
“Cuma dua ekor ayam, Mar. Entah kenapa kijang dan kancil sama sekali tidak terlihat di sekitar sini” Jawab salah satunya yang bernama Wiryo.
“Aku malah ga dapat apa-apa. Bahkan ayam pun sama sekali tidak terlihat di jalurku” Ucap Damar.
“Sama, Mar” Sahut Darno.
“Sepertinya ada yang aneh. Tidak biasanya hewan-hewan itu tidak terlihat di pinggiran hutan. Apa sebaiknya kita coba periksa lebih ke dalam?” Ucap Damar.
“Boleh. Tapi sebaiknya kita jalan bersama-sama. Karena setelah dari sini hutan ini jauh lebih wingit” Ucap Darno.
“Aku setuju. Kita jalan bersama saja” Wiryo menambahkan.
Usai menikmati ayam panggang hasil buruan, mereka bertiga pun segera beranjak masuk lebih dalam ke alas kidul yang dikenal sangat wingit.
Mereka memutuskan tidak mengambil jalur terpisah karena untuk menghindari resiko jika ada gangguan dari lelembut penghuni alas kidul. Dengan berjalan bersama, setidaknya mereka bisa saling menjaga satu sama lain.
Beberapa jam berjalan, Damar yang memimpin rombongan tiba-tiba memberikan kode untuk berhenti dan tidak membuat suara gaduh.
“Aku melihat seekor kijang” Bisiknya sambil menunjuk ke salah satu arah.
Darno dan Wiryo pun melihat ke arah yang ditunjuk Damar lalu mengangguk menyetujui apa yang dilihatnya.
Sesuai arahan dari Damar, mereka mengendap-endap mendekati tempat kijang itu berdiri. Nampaknya hewan itu belum menyadari kehadiran ketiga pemburu itu karena sedang asyik menikmati pucuk dedaunan untuk dijadikan santapan.
Ketika jarak mereka semakin dekat, mereka memutuskan berpencar untuk menyergap kijang itu dari tiga arah yang berbeda. Setelah mendapatkan tempat yang cocok, mereka pun membidik kijang itu dengan busur dan panah mereka masing-masing.
Namun sesaat sebelum anak panah mereka melesat, tiba-tiba kabut tebal datang menyelimuti tempat ini dan mengganggu pandangan mereka. Merasa kesulitan membidik karena jarak pandang yang terbatas, mereka memutuskan kembali bergerak mendekati kijang itu.
Tapi ketika siluet kijang itu mulai samar terlihat, mereka dikejutkan dengan datangnya sosok mirip manusia namun dengan postur lebih besar melesat ke arah kijang itu. Terdengar suara ringikan hewan lalu tercekat dan kembali sunyi diikuti kembali melesatnya sosok itu menjauh.
Perlahan kabut yang mengganggu pandangan mereka memudar. Mereka bertiga kembali bergerak mendekati tempat kijang tadi berada. Ketika mereka sampai, mereka sangat terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka.
Kijang yang hendak mereka buru tadi kini sudah tergeletak di tanah bersimbah darah dengan kepala telah lenyap dari badannya.
“Apa-apaan ini” ucap Damar masih terperangah.
“Ini benar-benar gila, Mar. Baru kali ini aku melihat yang seperti ini” Ucap Wiryo.
“Melihat dari bekasnya, kepala hewan ini sepertinya tidak dipotong menggunakan gaman. Tidak ada bekas potongan rapi seperti bekas tebasan golok atau pun parang.
Bekas luka di leher hewan ini berantakan lebih mirip dipelintir kepalanya lalu dicabut” ucap Darno sambil memeriksa bangkai kijang itu.
“Sebaiknya kita pergi dari sini. Entah ini ulah siapa, yang jelas aku merasakan tempat ini berbahaya. Nampaknya lelembut di sini suka memangsa makhluk hidup. Bisa jadi kita pun akan dijadikan mangsa juga kalau bertemu mereka” Ucap Damar.
Mereka bertiga pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan bersama menuju arah pohon besar tempat mereka berkumpul tadi. Tapi setelah sekian lama berjalan, mereka tak juga menemukan pohon itu. padahal mereka yakin mereka sudah mengambil arah yang benar.
Rasa bingung dan takut mulai menjalari jiwa mereka. Mereka khawatir keberadaan mereka telah diketahui lelembut yang tinggal di alas kidul ini dan membuat mereka tersesat hingga tidak bisa keluar dari hutan.
Ketiga pemuda itu masih terus berjalan berusaha mencari jalan keluar dari hutan ini. Namun semakin jauh mereka berjalan, mereka merasa semakin asing dengan tempat yang mereka datangi. Mereka merasa belum pernah menjejakkan kaki di tempat saat ini mereka berada.
Alas kidul ini memang sangat luas. Selama ini mereka menjelajahi tidak lebih dari seperduabelasnya saja.
“Kita ke arah mana lagi, Mar?” Ucap Darno yang semakin bingung dan takut.
“Aku juga tidak tahu. Tapi kalau kita tidak bergerak,kita juga tidak akan bisa keluar dari sini” Jawab Damar.
“Sebentar lagi malam, aku belum pernah masuk ke hutan ini sampai malam hari. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menakutkannya hutan ini ketika malam hari” Ucap Wiryo.
“Sama, aku pun juga belum pernah. Jadi sebaiknya kita terus bergerak mencari jalan keluar. Kalian tetap perhatikan sekitar, pasti akan ada petunjuk, terutama dari bekas jejak yang kita tinggalkan tadi” Ucap Damar mengajak kedua temannya kembali berjalan.
Mereka bertiga kembali berjalan menyusuri hutan ini untuk mencari jalan keluar.Tapi tanpa mereka sadari sesosok makhluk mengikuti mereka dari atas pohon.Makhluk itu melesat dari satu pohon ke pohon lainnya terus mengikuti ketiga pemuda yang sedang tersesat di dalam alas kidul itu
Ketika langit mulai memerah menandakan hari akan segera berakhir dan berganti malam, mereka bertiga menemukan sebuah rumah gubuk berdiri di tengah-tengah hutan. Rasa heran bercampur bingung memenuhi otak mereka.
Sebab baru kali ini mereka mengetahui ada bangunan berdiri di sini, tandanya ada seseorang yang tinggal di sini. Mereka belum memutuskan untuk mendatanginya. Mereka berniat mengamatinya lebih dulu dari kejauhan.
Terlihat asap putih keluar dari sela-sela atap rumbia rumah gubuk itu. Tandanya memang ada orang yang tinggal di situ. Perlahan pintu rumah itu terbuka lalu keluar seseorang dari sana.
Seorang wanita tua dengan tubuh bungkuk berjalan keluar lalu berdiri di halaman rumah itu menatap ke arah ketiga pemuda bersembunyi. Wajah wanita tua itu sangat menyeramkan dengan beberapa bagian kulit mengelupas.
Senyum seringai mulai terpampang di wajahnya menunjukkan deretan gigi yang semuanya menghitam.
Damar dan kedua temannya bergidik ngeri ketika melihat sosok wanita tua itu. apalagi kedua tangannya yang sejak tadi disembunyikan di balik tubuhnya kini telah bergerak memperlihatkan kepala seekor kijang lalu dilemparkan ke hadapannya.
“Ambil makananmu, lalu tangkap tiga orang itu dan bawa kepadaku. Aku akan mempersembahkan mereka kepada paduka prabu kolosetro untuk mempercepat kebangkitannya” Ucapnya.
Damar,Darno dan Wiryo seketika tercekat ketika mendengar ucapan sosok wanita tua itu.Artinya keberadaan mereka bertiga memang sudah diketahuinya.Apalagi tak lama setelah kepala kijang itu dilempar muncul beberapa makhluk menyeramkan memakan kepala kijang itu dengan cara berebutan
Makhluk-makhluk itu berbentuk mirip manusia namun berjalan merangkak. Wajahnya sangat menyeramkan dengan kulit berwarna merah kehitaman.
Telinganya runcing ke atas dan ada sepasang tanduk kecil di kepalanya. Bentuk mulutnya memanjang mirip mulut anjing dengan deretan gigi tajam di dalamnya.
Merasa adanya bahaya yang semakin mengintai, ketiga pemuda itu tak mau membuang waktu menunggu makhluk-makhluk itu mengejar. Merasa masih punya sedikit kesempatan ketika makhluk-makhluk itu sedang menikmati santapannya, ketiga pemuda itu langsung berlari meninggalkan tempat itu.
Mereka terus berusaha menjauh dan berharap bisa segera keluar dari hutan ini, meski harapan itu masih tipis sebab mereka masih bisa mendengar tawa wanita tua tadi seolah mengejeknya.
***
Malam kini telah sempurna menyelimuti sisi bumi ini. Suara hewan malam bersahutan menyenandungkan kidung kesunyian menandakan telah benar-benar usai aktifitas manusia dengan berbagai kebutuhannya. Sebagaian besar telah terbuai dalam alam mimpi masing-masing.
Namun hal itu tidak terjadi pada Sundari. Dia masih merenung di atas dipan reot kamarnya. Pikirannya mengembara entah kemana.
Satu sisi dia akan bersiap menghadapi mimpi buruk yang hampir setiap malam selalu memberikan teror pada tidurnya, di sisi lain dia memikirkan Damar yang dia dengar belum juga kembali dari pergi berburu di hutan bersama kedua temannya.
Beberapa waktu sebelumnya memang terjadi sedikit kegemparan di desanya karena tiga orang pemuda yang diketahui pergi berburu di hutan belum kembali hingga malam hari. Padahal sebelumnya tidak pernah sekalipun mereka atau pun warga lainnya berani berada di hutan hingga malam tiba.
Apalagi dari beberapa kali kejadian sebelumnya, warga yang tidak keluar dari hutan hingga malam tiba, mereka selamanya tidak pernah kembali. Untuk menyusul dan mencari keberadaan mereka di dalam hutan pun tak ada seorang pun yang berani.
Ketika Sundari masih terlarut dalam lamunannya, tiba-tiba perasaannya berubah menjadi gelisah. Hawa dingin dan lembab tiba-tiba menelusup ke dalam ruangan sempit kamarnya ini. Tanpa dia sadari, suara-suara hewan malam yang sebelumnya bersahut-sahutan kini tidak lagi terdengar.
Hanya kesunyian yang benar-benar mencekam kini menemani kegelisahannya. Perlahan Sundari menarik selimut kain jarik lusuhnya menutupi tubuh hingga kepalanya. Sundari sadar, dalam suasana seperti ini biasanya akan datang bangsa lelembut menerornya.
Meski sudah sangat sering terjadi, tapi rasa takut masih selalu menjalarinya setiap kali gangguan bangsa lelembut ini datang menerornya.
“ktutuk krutuk krutuk….”
Tiba-tiba terdengar suara seperti kerikil dilempar ke atas atap rumahnya.
Tak berapa lama disusul dengan suara dinding kamarnya yang terbuat dari kayu seperti digaruk-garuk dari luar. Sundari semakin ketakutan dan mulai menangis.
Tapi dia tetap menahan suaranya supaya tidak terdengar oleh ibunya. Masih dalam ketakutannya, sayup-sayup Sundari mendengar seseorang menyenandungkan kidung jawa dari luar kamarnya.
Nalikaning wayah lingsir wengi
Tyasing rasa katresnan mukti
Santika Bawana sewu warsa
Hametag sira kelawan hyang paduka
Sengkala teka kalabendu nyata
Aja wani ginulah rasa marang manungsa
Kejaba rasaning ati ketaman tineluh
Mring kemanjing japa mantra
Tubuh Sundari bergetar hebat karena ketakutan mendengar kidung yang mirip mantra itu berulang ulang. Namun pelahan tanpa sadar dia bergerak seolah ada yang mengendalikan tubuhnya.
Kontrol atas panca inderanya kini benar-benar telah terlepas darinya, namun kesadaran masih sepenuhnya ada padanya. Perlahan tangan Sundari meraih kunci jendela lalu membukanya.
Dia berusaha melawan untuk tidak melakukannya, namun semua sia-sia belaka. Bahkan untuk menutup mata saja dia tidak mampu melakukannya. Tatapannya mengarah keluar ke arah tanah kosong di luar kamarnya.
Di sana berdiri sesosok perempuan tua sedang menatapnya tajam sambil menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang semuanya hitam. Sundari semakin ketakutan, namun tidak ada yang bisa dilakukannya.
Perlahan aroma wangi melati menguar lalu berganti dengan bau busuk bangkai menusuk penciumannya.
“Sedelok meneh wis wayahe sliramu sesandingan karo gusti prabu, nduk (Sebentar lagi sudah waktunya kamu bersanding dengan gusti prabu, nduk)” ucap wanita tua itu pelan namun terdengar sangat menyeramkan.
Sundari hanya bisa menangis tercekat mendengar ucapan itu. berarti apa yang dikatakan Mbah Sumi dulu kepada Ibunya adalah sebuah kebenaran. Bahwa dirinya adalah pembawa malapetaka bagi semua orang.
Misteri Toh Jiwo
“Wingi pas umbah-umbah ning kali ora sengaja aku weruh gegere Sundari, Yu (kemarin sewaktu sedang mencuci baju di sungai tidak sengaja aku lihat punggungnya Sundari, Yu)” Ucap Marsinah di sela kegiatan sekelompok perempuan di pinggir sungai.
“Terus kenopo gegere Sundari, Nah? (Terus kenapa punggungnya Sundari, Nah?)” Sahut Surti.
“Koyo ono titik ireng, nanging samar, wong aku mung weruh sekilas (Seperti ada titik hitam, tapi samar, orang aku cuma lihat sekilas)” Jawab Marsinah
“Halah paling mung regetan nempel kui. Iso suwekan godhong utowo regetan liyane (Halah paling cuma kotoran nempel kui. Bisa sobekan daun kering atau kotoran lainnya)” Ucap Sumarni.
“Tapi opo kowe-kowe ora eling Sundari kui piye? Awit cilikane wis disenengi demit. Aku wis tau krungu mbok Suli pernah weruh cilikane Sundari pas diadusi ning gegere ono tanda titik ireng kui.
(Tapi apa kalian tidak ingat Sundari itu bagaimana? Sejak masih kecil sudah disukai demit. Aku sudah pernah dengar Mbok Suli pernah lihat bayinya Sundari ketika dimandikan di punggungnya ada tanda titik hitam itu)” Marsinah masih berusaha meyakinkan.
“Opo meneh ning omahe saben wengi sering ono demit ngetok (Apa lagi di rumahnya setiap malam sering ada demit muncul)” Sambungnya.
Beberapa perempuan lainnya manggut-manggut mulai percaya ucapan Marsinah tersebut, sedangkan yang lainnya tidak peduli. Mereka masih asyik dengan kegiatannya mencuci baju.
“Wis ojo mikir sing ora-ora. Sundari kui bocahe apik. Sopan, sumeh. Ora ijir nulung liyan, senajan deweke yo podo kesusahan.
(Sudah jangan mikir yang tidak-tidak. Sundari itu anaknya baik. Sopan, ramah. Tidak sungkan menolong orang lain, meskipun dia sendiri juga kesusahan)” Kali ini Mbok Tini, yang terlihat paling tua di antara mereka mencoba menengahi.
“Tapi, mbok. Akhir-akhir iki desane dewek iki soyo kerep diganggu demit. Opo meneh winginane Mas Damar putrane Ki Dalang Wongso ilang ning alas kidul telung dino. Iso mulih nanging pikirane koyo bingung. Semono ugo Wiryo lan Darno sing ilang bareng Mas Damar. (Tapi, mbok.
Akhir-akhir ini desa kita semakin sering diganggu demit. Apa lg tempo hari mas Damar anaknya Ki Dalang Wongso hilang di alas kidul 3 hari. Bisa kembali pulang tp pikirannya linglung. Begitu jg dengan Wiryo dan Darno yang hilang bersama Mas Damar)” Marsinah masih terus bergunjing.
“Opo koyo ngono kui mergo Sundari? (Apa seperti itu disebabkan Sundari?)” Sahut Mbok Tini.
“Mbok, sampeyan mestine ngerti opo kui toh jiwo kan? (Mbok, sampeyan pasti mengerti apa itu toh jiwo kan?)” Marsinah meletakkan baju yang dikuceknya lalu menghadap ke arah Mbok Tini.
Mbok Tini seketika memandang wajah Marsinah usai mendengar kalimatnya yang terakhir. Begitu juga beberapa perempuan lainnya yang sedari tadi hanya menyimak obrolan mereka.
“Ati-ati karo lathimu, Nah. Ojo sembarangan ngucap yen durung ngerti tenan. Toh Jiwo iku kutukan sing ora baen-baen bahayane. Selama iki cerita toh jiwo mung sekedar cerita sing durung pernah kedaden.
Ojo nganti mung mergo ucapanmu gawe gegerane warga lan ngerugike wong sing ora salah. (Hati-hati dengan lidahmu, Nah. Jangan sembarangan berucap jika belum tahu betul. Toh Jiwo itu kutukan yang tidak terkira bahayanya.
Selama ini cerita toh jiwo hanya sekedar cerita yang belum pernah terjadi. Jangan sampai hanya karena ucapanmu membuat ributnya warga dan merugikan orang yang tidak bersalah)” Ucap Mbok Tini dengan nada sangat serius dan tatapan tajam ke arah Marsinah.
“Pokoke arep tak selidiki dewe, mbok. Aku kudu ngerti dewe Sundari pancen duwe tanda kui utowo ora! (Pokoknya akan kuselidiki sendiri, mbok. Aku harus tahu sendiri Sundari memang punya tanda itu atau tidak!)” Tegas Marsinah dengan tatapannya yang tak kalah tajam.
Mbok Tini hanya bisa menghela nafas lalu berucap “Sak karepmu, Nah (Terserah kamu, Nah)”
Menjelang siang, sekelompok perempuan desa itu pun beranjak meninggalkan sungai untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.
***
Beberapa hari berlalu begitu saja. Kasak-kusuk warga mengenai Sundari kini semakin santer terdengar. Meski belum mendapatkan bukti secara jelas,
namun mulut pedas Marsinah yang suka bergunjing tak pernah berhenti mempengaruhi warga mengenai Sundari yang diduga memiliki tanda iblis di tubuhnya.
Warga yang sebelumnya tidak percaya atau pun tidak peduli kini mulai berpikir sebaliknya. Sebab apa yang dikatakan Marsinah begitu meyakinkan. Apalagi mereka pun tahu sejak kecil Sundari memang diketahui sering sekali bersinggungan dengan bangsa lelembut.
Di sisi lain, Damar yang sebelumnya sempat linglung akibat kejadian tersesat di alas kidul dan mendapatkan teror dari penghuninya kini berangsur pulih. Bahkan dia mulai mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke kotaraja kerajaan untuk mengabdi menjadi prajurit.
Hal itu terpaksa dilakukannya karena permintaan ayahnya. Kerajaan yang menguasai wilayah ini saat ini sedang berperang. Paduka Raja memberikan titah kepada desa-desa di wilayahnya untuk mengirimkan pemudanya untuk menjadi prajurit dan berjuang di medan perang.
Damar sebetulnya merasa keberatan karena dia tidak berminat menjadi prajurit. Selain itu dia juga merasa keberatan meninggalkan Sundari. Namun karena desakan dari ayahnya akhirnya dia pun tak bisa berbuat apa-apa selain menurut.
“Mas Damar kapan akan berangkat?” Tanya Sundari seusai berlatih menari.
“Mungkin dua atau tiga hari lagi, Ndari” Jawabnya dengan nada lesu.
“Aku yakin Mas Damar pasti sangat gagah jika sudah menjadi prajurit nanti” Ucap Sundari sembari tersenyum.
Damar lalu menoleh kepada Sundari dan ikut tersenyum. “Tapi aku tidak menginginkannya, Ndari. Aku ingin tetap di sini”
“Bukankah dulu cita-cita Mas Damar ingin menjadi prajurit, bahkan menjadi panglima?”
“Itu dulu, sebelum perasaanku begitu kuat tertancap di sini. Di desa ini, di hatimu, Ndari”
Sundari seketika tertunduk mendengar kalimat yang terucap dari mulut Damar.
“Maafkan aku, Mas Damar. Tapi aku tidak bisa. Mas Damar tahu kan alasanku?” Ucap Sundari dengan nada bergetar.
“Aku tidak peduli, Ndari. Aku akan mencari cara menyelamatkanmu dari kutukan itu. Lalu menikahimu” Damar kini tak lagi menahan perasaannya, membuat Sundari semakin bersedih.
“Tidak perlu, Mas Damar. Aku tidak mau kamu menjadi korban atas takdir burukku ini. Biarkan aku menjalani apa yang harus kujalani tanpa membuat orang lain menjadi celaka” Sundari tak mampu lagi menahan tangisnya.
“Tidak ada takdir yang buruk di dunia ini, Ndari. Setiap orang berhak atas hidupnya sendiri. Jika kita tidak bisa meraih kebahagian kita dengan usaha kita sendiri, maka kita membutuhkan orang lain untuk mewujudkannya.
Dan aku ada di sini untuk memberikan kebahagiaan itu padamu” Ucap Damar sambil memegang kedua pundak Sundari.
“Tunggu aku di sini. Jangan pernah pergi dari desa ini. Aku berjanji akan tetap hidup dan kembali padamu untuk membebaskanmu dari kutukan itu” Lanjutnya.
Sundari hanya bisa menunduk mendengar ucapan Damar. Tubuhnya bergetar hebat menahan batinnya yang bergemuruh. Seketika tangisnya pecah tak mampu lagi menahan perasaannya. Antara bahagia, sedih, takut dan haru bercampur menjadi satu.
“Berjanjilah kau akan kembali, Mas Damar” Ucap sundari ketika sudah sedikit tenang.
Damar lalu kembali menatap Sundari dan tersenyum. “Pegang janjiku. Aku pasti kembali”
Kali ini Damar memberanikan diri menggenggam tangan Sundari. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Sundari sedikit tersentak, namun tidak menolak perlakuan Damar. Angin dingin sedikit berhembus membelai tengkuk Sundari. Lalu sebuah suara terdengar berbisik di telinga Sundari.
“Wis wancine, nduk. Ojo wani-wani ngelawan garise pinesthi. Yen ora pengen agawe patining bocah lanang iki (Sudah waktunya, nduk. Jangan berani melawan garis takdir. Jika tidak ingin pemuda ini mati)”
Seketika Sundari tersentak dan langsung menepis genggaman tangan Damar.
“Ada apa, Ndari?” Damar pun ikut terkejut dengan sikap Sundari.
“Ti- tidak, Mas. Maaf, aku harus pulang sekarang” Ucap Sundari tergagap lalu segera pergi meninggalkan pendopo. Damar pun hanya bisa tertegun melihat kepergian Sundari.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo ira kang gadhah manunggaling pusoko kembang maya
Sepanjang perjalanan pulang, Sundari terus menerus mendengar sayup seseorang mengucapkan bait kalimat mirip mantera itu. Perasaan Sundari semakin tidak menentu. Dia mempercepat langkahnya supaya bisa segera sampai di rumahnya.
Suara itu masih terus terdengar olehnya. Sundari semakin panik hingga menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Langkahnya kini semakin cepat, lebih tepatnya berlari. Dia berharap suara itu segera hilang ditinggalkannya.
Namun harapannya tak juga menjadi nyata. Meski sudah berusaha berlari sambil menutup telinga, namun suara itu masih tetap didengarnya. Seolah mengikuti setiap ayunan langkahnya.
Marsinah yang tidak sengaja melihat tingkah Sundari itu pun terheran-heran. Dia semakin curiga dengan keanehan yang ada pada diri Sundari.
Sesampainya di rumah, Sundari langsung berhambur menuju kamarnya dan menutup rapat pintu serta jendelanya.
Dia meringkuk di kasurnya dengan tetap menutup kedua telinganya. Air matanya meleleh mengiringi rasa takutnya yang tak terhingga. Hingga sebuah suara ketukan pada pintu kamarnya membuatnya terkejut seketika.
Tok tok tok
Tok tok tok
Sundari berusaha tidak memperdulikan suara ketukan itu. Dia tetap meringkuk ketakutan karena mengira itu ketukan dari bangsa lelembut yang akan mengganggunya.
Tok tok tok
Tok tok tok
Suara ketukan kembali terdengar semakin keras dan cepat.
“Ndari… Nduk… ini Ibu, nduk. Tolong buka pintunya” Terdengar suara ibunya mengiringi suara ketukan pada pintu kamarnya itu.
Sundari sedikit merasa lega, sebab ternyata Ibunya yang mengetuk pintu kamarnya. Dia pun segera beranjak dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu kamarnya. Namun ketika pintu telah terbuka, Sundari tidak mendapati siapapun berada di sana.
Hanya hembusan angin sedikit kencang menerpa wajahnya membawa aroma wangi melati yang menguar begitu kuat lalu berganti dengan anyir darah. Sundari tersentak lalu seketika pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya lunglai dan roboh tepat di depan pintu kamarnya.
Setitik cahaya mulai membangkitkan kesadaran Sundari. Perlahan dia membuka matanya. Pandangannya sedikit kabur tak mampu melihat dengan jelas di sekitarnya. Beberapa kali dia mengerjap untuk mengfokuskan penglihatannya.
Ketika mulai bisa melihat dengan normal, dia tertegun melihat apa yang ada di sekitarnya. Dia kini berada di tempat yg asing. Kakinya berpijak pd tanah basah sedikit becek. Di sekitarnya terdapat banyak sekali pohon berukuran sangat besar berdiri menjulang seolah menggapai langit
Sundari celingukan kesana kemari berusaha mengenali tempatnya berdiri saat ini. Namun sekuat dia mengingat, dia tetap tidak mampu mengenali tempatnya berada.
“Dimana ini?” gumamnya bermonolog.
“Bagaimana aku bisa sampai di sini?” Kebingungan semakin melanda batinnya.
“Ibuuuuuuuu!!!!” Teriaknya memanggil Ibunya.
Namun hanya hembusan angin dingin yang memberinya jawaban. Sebuah hembusan yang tidak biasa. Seolah membawa hawa mencekam di dalamnya. Seketika bulu kuduknya meremang hebat.
Gemerisik dedaunan mulai mengusik pendengarannya. Seolah disibak oleh seseorang di kejauhan sana. Tak ada suara binatang apapun di sini. Tempat ini sunyi. Sangat sunyi. Bahkan terlalu sunyi.
“Aku harus pergi dari sini” Ucapnya dalam hati.
Meski tak tahu arah mana yang harus diambil, Sundari tetap bergerak mengikuti nalurinya. Dia merasa harus segera pergi karena merasakan ada bahaya yang mengincarnya di tempat ini.
Entah sudah berapa lama dia berjalan, Sundari belum juga menemukan jalan keluar dari hutan lebat yang mengurungnya. Bahkan petunjuk adanya jalan atau orang lain pun tidak didapatkannya. Sekujur tubuhnya sudah merasakan keletihan yang luar biasa.
Sundari kini jatuh bersimpuh karena merasa sudah tidak kuat lagi berjalan.
“Sliramu sampun ditunggu Gusti Prabu, Nduk (Dirimu sudah ditunggu Gusti Prabu, Nduk)”
Tiba-tiba Sundari mendengar suara perempuan tua di telinganya. Suara itu pelan namun terasa begitu dekat seolah persis berada di samping telinganya. Seketika dia tersentak lalu menoleh ke arah suara tadi. Namun dia tak menemukan siapapun di sekitarnya.
Sundari berlari tak tentu arah. Dia tak tahu kemana tujuan yang harus ditempuhnya. Yang dia tahu dia harus segera meninggalkan tempat ini sejauh mungkin.
“Mboten usah mlayu. Sliramu mboten saget medal saking panggonan iki (Tidak perlu lari. Dirimu tidak akan bisa keluar dari tempat ini)”
Suara perempuan tua itu kembali terdengar ketika Sundari masih terus berlari berusaha lepas dari teror menakutkan ini.
Sundari semakin panik dibuatnya. Namun dia tak menghentikan usahanya untuk terus berlari meninggalkan tempat menakutkan ini. Hingga langkah kakinya membawanya sampai di sebuah tempat luas terbuka namun tandus.
Sundari menghentikan langkahnya. Nafasnya memburu tidak beraturan. Peluhnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam kondisinya yang serba kacau, tiba-tiba Sundari merasakan hembusan angin pelan menerpa tubuhnya. Perlahan hembusan angin itu semakin kencang hingga tak lama berubah menjadi angin ribut membawa debu tebal yang menyesakkan nafas dan mengganggu penglihatan.
Dalam segala keterbatasan, Sundari berusaha melihat apa yang ada di depannya. Dalam pekatnya debu yang terbawa angin kencang ini terlihat setitik cahaya merah di kejauhan. Perlahan setitik cahaya merah itu membesar dan terus membesar hingga seukuran depa orang dewasa.
Cahaya itu bergerak pelan ke kanan dan kiri. Lalu ke atas dan kembali ke bawah, lalu berhenti. Gumpalan debu yang bergulung-gulung lalu mengelilingi bola cahaya itu. debu itu terus bergulung-gulung lalu membentuk tubuh makhluk besar, sebesar tiga kali ukuran orang dewasa.
Seiring dengan terbentuknya sosok itu, perlahan bola cahaya tadi meredup hingga benar-benar padam seolah tertelan tubuh sosok yang baru terbentuk dari gumpalan debu tadi.
Sundari berusaha berbalik arah meninggalkan fenomena menakutkan di hadapannya. Namun tubuhnya seolah kaku tak bisa digerakkan. Bahkan matanya pun tak mampu berkedip hingga terasa perih akibat banyaknya debu yang memasuki indera penglihatannya.
Sundari seolah dipaksa untuk terus melihat makhluk yang baru muncul di hadapannya itu.
Sosok makhluk itu tidak terlihat jelas. Makhluk itu hanya terbentuk dari gumpalan debu dan kabut hitam serta masih disamarkan oleh debu yang berterbangan dibawa angin kencang. Namun Siluet itu jelas memperlihatkan ukurannya yang besar dan adanya tanduk di kepalanya.
“Grrroooooooaaaaaagggghhrrr”
Makhluk itu mengeluarkan suara seperti menggeram. Membuat sundari tak mampu lagi menahan lelehan air matanya karena sangat ketakutan.
Sundari yang masih terpaku dan dipaksa melihat kemunculan makhluk itu merasakan tubuhnya semakin lemas. Kesadarannya sedikit demi sedikit memudar. Dia sudah pasrah jika harus mati dimangsa makhluk di hadapannya itu.
Dalam sisa kesadarannya, Sundari melihat mulut makhluk itu terbuka lebar lalu memuntahkan sesuatu. Beberapa benda terlempar dan tergeletak di sekitar kaki Sundari.
Tanpa kontrol dari pikirannya, kepala Sundari dengan sendirinya menoleh ke arah benda-benda yang dimuntahkan makhluk itu. Jasad. Ya, makhluk itu memuntahkan jasad manusia yang telah rusak dan membusuk. Perlahan bau anyir bercampur busuk menguar menusuk penciumannya.
Sundari yang semakin takut disertai mual akibat melihat banyak jasad membusuk itu semakin kehilangan kesadarannya. Dan ketika ujung kesadarannya telah tiba, dia mendengar seseorang dengan suara berat dan serak mengucapkan kalimat.
“Wis wancine aku bangkit. Golekno tumbal sing akeh. Pengantenku wis ngenteni aku teko. Hahahahaha (Sudah waktunya aku bangkit. Carikan tumbal yang banyak. Pengantinku sudah menunggu kedatanganku. Hahahahaha)”
Seketika gelap menguasai penglihatan Sundari dan kesadaran sepenuhnya meninggalkan dirinya.
“Ndari…. Nduk bangun nduk”
“Bangun Nduk… hik hik hik”
Terdengar suara wanita memanggil-manggil Sundari diiringi tangisnya yang memilukan.
“Nduk bangun nduk… kamu kenapa nduk… hik hik hik”
Sundari yang mulai sadar perlahan membuka kedua matanya. Dia mengerjap beberapa kali hingga sedikit demi sedikit mampu melihat dengan jelas.
“I-Ibu….” Ucap Sundari lemas ketika menyadari dia telah terbaring di pangkuan ibunya.
“Ka kamu sudah sadar Nduk? Ibu takut sekali” Ucap Suprapti ketika melihat anaknya mulai sadar.
“Apa yang terjadi, Bu” Ucap Sundari sambil berusaha bangkit.
“Jangan bergerak dulu, Nduk. Kamu tadi pingsan” Suprapti lalu meraih gelas bambu berisi air putih untuk diminumkan kepada Sundari.
“Minumlah dulu perlahan supaya badanmu cepat pulih” Sambungnya.
Usai meminum air pemberian ibunya hingga tandas, Sundari perlahan bangkit lalu duduk bersandar pada dinding kamarnya.
“Ibu menemukanmu pingsan di pintu kamarmu, nduk. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apa kamu Sakit?” Tanya Suprapti.
“Ndari juga tidak tahu, Bu. Tadi Ndari mau keluar kamar untuk ambil minum. Tiba-tiba kepala Ndari pusing lalu jatuh dan tidak ingat apa-apa lagi sampai Ibu membangunkan Ndari” Jawab Sundari usai berpikir sejenak.
Sundari sengaja tidak meceritakan apa yang sebenarnya dialaminya karena tidak mau membuat ibunya khawatir.
“Tapi ibu melihatmu gelisah saat pingsan tadi, nduk. Kamu bahkan sempat meronta sampai ibu kuwalahan menahan tubuhmu. Apa kamu bermimpi sesuatu” Tanya suprapti lagi.
“Ndari tidak mimpi apa-apa, bu. Mungkin Ndari hanya kecapekan karena terlalu banyak berlatih menari” Sundari masih berusaha meyakinkan ibunya.
“Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Ini sudah larut malam. Panggil saja ibu kalau ada apa-apa” Ucap Suprapti lalu membimbing Sundari kembali merebah di tempat tidurnya.
Sundari hanya berusaha tersenyum untuk mengiringi kepergian ibunya meninggalkan kamarnya. Dia tetap berusaha untuk tidak membuat ibunya khawatir, meski harus berbohong kepada wanita yang sangat disayanginya itu.
Sepeninggal ibunya dari kamarnya, Sundari yang masih merasa sangat letih kembali berusaha tidur untuk mengistirahatkan tubuh dan jiwanya. Meski bayangan mimpi buruk yang bisa saja kembali datang tetap menghantuinya.
Di ujung kesadarannya sebelum terlelap, sayup dia kembali mendengar syair yang akhir-akhir ini sering didengarnya dan membuatnya ketakutan.
Nalikaning wayah lingsir wengi
Tyasing rasa katresnan mukti
Santika bawana sewu warsa
Hametag sira kelawan hyang paduka
Sengkala teka kalabendu nyata
Aja wani ginulah rasa marang manungsa
Kejaba rasaning ati ketaman tineluh
Mring kemanjing japa mantra
Sundari sedikit tersentak, namun rasa kantuk yang tak terkira tetap memupus kesadarannya untuk membawanya ke alam mimpi yang entah kali ini datang indah atau buruk.
***
Dua hari berlalu semenjak kejadian Sundari pingsan itu. Selama dua hari ini pula Sundari tidak mengalami mimpi buruk. Sedikit kelegaan dirasakannya, meski dia tahu hal itu hanyalah sementara saja.
Rintik hujan mulai membasahi desa di sisi alas kidul ini. Bulan hujan tahun ini kembali datang memenuhi janjinya memenuhi takdir musim. Di antara guyuran ringan rinai pagi ini Sundari berlari kecil menuju ke rumah Ki Wongso.
Bukan tanpa alasan dia rela menembus hujan untuk menuju kesana. Hari ini Damar akan berangkat menuju kotaraja untuk memenuhi kewajibannya mengabdi di kerajaan sebagai prajurit.
Sundari berniat ikut melepas kepergian Damar bersama beberapa warga lain yang anggota keluarganya juga ikut berangkat bersama Damar. Memang sudah disepakati bahwa rumah Ki Wongso dijadikan tempat berkumpul sebelum para calon prajurit itu berangkat.
Alasannya selain rumah Ki Wongso memiliki halaman paling luas, dia juga dianggap sebagai sesepuh desa yang disegani oleh warga.
Sesampainya di depan rumah Ki Wongso, Sundari mengibaskan rambutnya yang sedikit basah sebelum memasuki pendopo dan menemui Damar.
Nampak beberapa warga sudah terlebih dahulu datang dan saling bercengkrama sebelum melepas anggota keluarga mereka yang akan berangkat menuju ke kotaraja.
“Kamu mau tetap berdiri di sini atau mau menemui pria gagah ini sebelum dia benar-benar pergi dari sini?” ucap seseorang dari belakang Sundari yang sukses membuatnya terkejut.
Sundari yang mengenali suara itu langsung menoleh dan tersenyum manis. Pemilik suara itu tidak lain adalah Damar, pemuda tampan dan gagah yang banyak menjadi primadona gadis desa ini.
“Aku tadi mencarimu, mas. Ternyata ramai sekali di sini sampai aku tidak bisa melihatmu” Ucap Sundari.
“Ayo ke belakang saja. Biar bisa lebih enak ngobrolnya” Ajak Damar.
Sundari pun mengikuti langkah Damar menuju ke belakang pendopo yang terdapat bangunan yang merupakan rumah utama keluarga Ki Wongso.
“Eh Sundari wis teko. Kene mlebu nduk (Eh Sundari sudah datang. Sini masuk nduk)” Sapa seseorang ketika sampai di rumah itu.
“Njih Nyi Harti. Matur suwun (Iya Nyi harti. Terima kasih)” Jawab Sundari sopan kepada orang yang menyapanya yang merupakan Ibu dari Damar.
Sundari pun duduk di atas tikar pandan yang telah di gelar di ruang tamu rumah itu bersisian dengan Nyi Harti. Tak lama Ki Wongso pun keluar dan ikut duduk di situ.
“Wis lilo ngeculke Damar, nduk? (Sudah ikhlas melepas Damar, nduk?)” Ucap Nyi Harti mengawali pembicaraan, sedangkan Ki Wongso hanya tersenyum tipis.
Sundari yang mendengar kalimat itu pun kaget. Dia tidak menyangka Nyi Harti mengetahui hubungan antara Sundari dan anaknya, Damar.
“Wis ora usah kaget. Katresnan iku nugraha saking hyang widhi. Manjing ing jero ati senajan netra ora bisa pirsa. Nanging kowe uga kudu siap kelangan. Amarga pinesthi hyang widhi ora ono sing bisa ngerteni
(Sudah tidak perlu kaget. Rasa cinta itu anugerah dari hyang widhi. Merasuk ke dalam hati meski mata tidak bisa melihat. Tapi kamu juga harus siap kehilangan. Karena takdir hyang widhi tidak ada yang bisa mengetahui)” Ucap Nyi Harti.
Sundari hanya bisa menunduk mendengar ucapan nasehat dari Nyi Harti tersebut. Memang benar apa yang diucapkan wanita yang melahirkan Damar itu. kita sebagai manusia tidak akan bisa menolak datangnya rasa cinta kepada seseorang.
Namun kita juga harus bisa mengendalikan diri jika rasa cinta kita saat ini tidak bisa memberikan kebahagiaan seperti yang kita inginkan jika memang takdir sang pencipta tidak menggariskan untuk itu.
Sundari benar-benar kagum wanita ini memiliki hati yang begitu tangguh hingga mampu setegar ini hendak melepas anak lelakinya untuk berjuang di medan perang tanpa jaminan akan bisa kembali dalam keadaan hidup.
“Kono nek meh ngobrol wong loro. Tak tinggal mlebu sek. Ayo pak (Sana kalau mau ngobrol berdua. Ibu tinggal masuk dulu. Ayo pak)” Ucap Nyi Harti lagi lalu mengajak Ki Wongso meninggalkan Damar dan Sundari berdua supaya mereka bisa lebih leluasa mengobrol.
“Jangan terlalu dipikirkan ucapan Ibu tadi” Ucap Damar memecah keheningan.
“Aku sendiri bingung apa yang sedang kupikirkan saat ini, mas. Aku sudah berusaha menyangkal dan mengabaikan perasaanku padamu. Tapi rasa cinta ini justru berkembang semakin besar tanpa bisa kukendalikan” Ucap Sundari.
“Di satu sisi aku harus berhadapan dengan takdir mengerikan di hidupku yang kapanpun bisa merenggut nyawamu dan semua orang.Sedangkan di sisi lain kau harus bertaruh nyawa di medan perang nanti” Sambungnya
Damar hanya bisa terdiam mendengar kalimat yang keluar dari bibir Sundari
“Tapi aku merasa senang, Mas. Setidaknya aku sudah pernah merasakan apa itu mencintai dengan tulus. Jika nantinya kau kembali dan aku sudah tidak di sini lagi tolong relakan, Mas” Ucap Sundari lagi.
“Tidak Sundari! Kau harus berjanji akan tetap di sini menungguku kembali. Aku juga berjanji akan tetap hidup untuk menemuimu lagi” Sergah Damar.
Sundari hanya bisa tertunduk sedih usai mendengar ucapan Damar. Perlahan air matanya mengalir membasahi pipinya tanpa diiringi isak tangis.
“Tolong berjanjilah, Sundari” Ucap Damar lagi.
Sundari masih tertunduk tanpa mengucapkan apapun. Damar pun terdiam beberapa saat. Kedua insan itu membiarkan pikiran mereka masing-masing melayang liar tak tentu arah.
“Sudah waktunya aku berangkat. Aku berharap kau tetap menungguku di sini, meski kau tidak mengucapkannya.
Percayalah, dengan mempercayai bahwa kau masih menungguku di sini, akan membuat semangat hidupku terus bangkit, Sundari” Damar mengakhiri pembicaraan itu lalu beranjak untuk bersiap berangkat ke kotaraja.
Mendengar ucapan Damar yang terakhir, Sundari pun mengangkat wajahnya. Dia berusaha kuat menahan kesedihan mendalam yang dirasakannya.
“Aku berjanji akan menunggumu, Mas Damar” ucap Sundari lirih.
Damar pun hanya tersenyum mendengar ucapan Sundari tadi.
Seluruh pemuda yang hendak berangkat menuju kerajaan pun telah bersiap di depan pendopo rumah Ki Wongso. Usai Ki Wongso memberikan beberapa patah kata untuk menyemangati dan melepas kepergian mereka, mereka pun segera berangkat menuju ke kotaraja dengan berjalan kaki.
Terdengar isak tangis dari keluarga mereka masing-masing. Meski memiliki kebanggaan, namun rasa sedih tak urung mereka rasakan juga. Sebab tidak akan ada jaminan mereka bisa kembali dalam keadaan hidup.
***
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004
Senja kembali merayapi langit. Menghapus jejak-jejak matahari yang seharian tadi benar-benar menyengat sekian juta kepala yang sibuk dengan pikiran-pikirannya masing-masing.
Baik pikiran cerdas, cerdik, bodoh, licik, aneh, dan segala macam pikiran yang dimiliki manusia.
Langit semakin kelam, sebab bulan hujan mulai mendaki hari-harinya. Dan membuat suasana di taman itu menjadi semakin lengang dan suram. Taman itu memang sudah lama di tinggalkan oleh orang-orang.
Mereka sudah tak pernah lagi kesana. Mungkin karena pengelolaan dari pemerintah yang kurang bagus. Hal ini terlihat dari kebersihannya yang kurang terjaga.
Di sana sini banyak tercecer rontok-rontok daun kering, kotoran binatang, ceceran sisa alat kontrasepsi bekas di pakai oleh para muda-mudi yang di mabuk asmara tapi tak punya uang untuk menyewa kamar hotel, hingga mereka memanfaatkan taman itu yang memang gelap dan sepi.
Penghuni taman itu hanyalah pepohonan yang entah sudah berapa ratus tahun usianya, terlihat dari batang-batangnya yang benar-benar besar, bagaikan tubuh raksasa yang siap menerkam siapa saja,
beberapa jenis satwa seperti bajing, burung, dan juga seorang perempuan berkebaya hitam dengan bawahan jarik serta selendang merah di pundaknya yang setiap malam selalu menari di taman itu.
Malam semakin menyelubungi tirai langit. Malam ini benar-benar gelap dan sunyi, sebab awan bulan hujan yang sedari senja menggumpal di langit enggan untuk beranjak.
Seperti malam-malam sebelumnya, perempuan itu kembali menari, meruntut jejak-jejak, dengan beriring gemerisik dedaun dibelai angin, juga siulan hewan-hewan malam.
Dia menari, sambil bersajak. Sesekali menjerit, mengerang, merintih, menangis, lalu tertawa, bercanda, sesekali dia duduk di kursi taman, berbicara seakan ada seseorang di sampingnya, bercerita seakan ada seseorang yang memeluknya,
lalu tiba-tiba menjerit, tertawa lagi, menangis, kembali bercerita, tak pernah peduli entah ada yang mendengar atau pun tidak. Tapi dia benar-benar seperti berbincang dengan seseorang.
Part 2 selesai sampai di sini yaa..
Part 3 kita upload minggu depan. Atau kalau mau baca duluan sekalian beri dukungan sudah tersedia di @Kar
Bulan hujan, kekasih…
Benarkah kau akan datang
Seperti janji malam kepada siang
Purnama ini seperti saat itu
Kau pasti akan datang
Saat cumulus menyergap butiran bintang-bintang
Aku akan menunggu engkau menyalami purnama
Meniup sisa-sisa rindu
Bulan hujan, kekasih…
Aku akan terus menari menjejaki takdir…
Aku akan terus menari untuk menunggumu…
Lalu dia kembali menari. Kali ini tariannya berbeda, dia menari sambil terus berlari-lari mengelilingi taman, menggambarkan kegetiran dan kesedihan yang begitu mendalam. Disertai dengan tangis dan sajak, dia terus menari menembus batas ruang, waktu, takdir, mimpi, kenyataan.
Dia masih saja menari meski rinai mencoba menghentikannya dengan menghujamkan butir-butir kesedihan di seluruh tubuhnya.
Tapi dia tetap menari, menari untuk sebuah penantian, membelai puncak-puncak angan, memapas sudut-sudut malam. Dia masih menari membungkam tawa rembulan, terus menari hingga fajar tiba dan dia kembali berlari ke sudut taman diantara belukar dan lenyap di telan sunyi.
Perburuan Tumbal
Di Sebuah Desa di Pinggir Alas Kidul, Zaman Kerajaan Hindu
Hujan deras yang mengguyur sejak sore tadi membuat suasana desa semakin sunyi. semua warga memilih berdiam diri di rumah masing-masing.
Selain udara dingin bulan hujan yang menusuk, mereka juga merasakan hawa berbeda dibandingkan malam-malam sebelumnya.
“Bengi iki kok rasane ono sing beda yo, pakne (Malam ini kok rasanya ada yang beda ya, Pak)” Ucap Martini, salah satu warga yang tinggal tidak jauh dari rumah Sundari.
“Beda piye to Bune?(Beda gimana to Bu?” Jawab Karso.
“Sampeyan opo ora ngrasake to, Pakne? Sepine wingi iki ora koyo wengi-wengi liyane. Hawa atis iki yo ora koyo biasane. Ditambah udan kawit sore ora terang-terang agawe ndhedhep giris.
(Sampeyan apa tidak merasakan to, pakne? Sepinya malam ini tidak seperti malam-malam yang lain. Hawa dingin ini juga tidak seperti biasanya. Ditambah hujan sejak sore tidak kunjung reda membuat suasanya sunyi semakin mengerikan)” Sungut Martini.
“Iyo aku ugo ngrasake, Bune. Wis gegenen ngene yo rasane isih prindang-prinding wae. (Iya aku juga merasakan, Bune. Sudah ada perapian begini rasanya masih terus merinding saja)”. Karso menimpali.
“Sampeyan opo uwis mireng biwara babagan Sundari, Pakne? (Sampeyan apa sudah dengar berita tentang Sundari, Pakne?)” Tanya Martini dengan suara lirih.
“Sundari anake Yu Prapti?” Karso bertanya balik.
“Iyo”
“Sundari kenopo, Bune?”
“Jare wong-wong, Sundari iku duwe toh jiwo (Kata orang-orang, Sundari itu mempunyai toh jiwo)” Ucap Martini seketika membuat Karso terperanjat bahkan hampir terjengkang dari dingklik yang di dudukinya.
“Sing ngati-ati nek ngucap, bune. iso-sio lambemu dikampleng demit mengko. (Hati-hati kalau bicara, bune. bisa-bisa mulutmu ditampar demit nanti)” Ucap Karso usai memperbaiki posisi duduknya supaya lebih nyaman.
“Aku iki mung nyampeke biwara lha kok malah disumpahi dikampleng demit to pakne (Aku ini cuma menyampaikan berita lha kok malah disumpahi ditampar demit to pakne)” Sungut Martini sambil memonyongkan mulutnya.
“Ora ngono maksudku, Bune. lha sampeyan iki nek ngomong kok yo sembarangan. Sampeyan opo ora ngerti opo iku toh jiwo? Opo meneh kok ngomongke wong liyo duwe kui. Iso dadi geger gedhen iki ngko desane dewe.
(Bukan begitu maksudku, Bune. Lha sampeyan kalau bicara kok ya sembarangan. Sampeyan apa tidak tahu apa itu toh jiwo? Apa lagi kok membicarakan seseorang punya itu. bisa-bisa jadi rusuh ini nanti desa kita)” Ucap Karso.
“Aku mung nyampeke opo sing wis dadi omongane warga, pakne. (Aku cuma menyampaikan apa yang sudah jadi bahan omongan warga, pakne)” Jawab Martini.
“Opo wis ono buktine? (Apa sudah ada buktinya)” Tanya Karso.
“Yoo aku ora ngerti, pakne. (Yaa aku tidak tahu, pakne)” Jawab Martini
“Opo meneh durung ono buktine. Ojo sampe mengko dadi maekani. Wis ora usah melu-melu! (Apa lagi belum ada buktinya. Jangan sampai nanti jadi fitnah. Sudah tidak usah ikut-ikutan!)” Tegas Karso.
“Tapi pak…”
“Wis ora usah diteruske! (Sudah tidak usah diteruskan!)” Potong Karso.
Martini pun terdiam usai karso mengucapkan kalimat terakhirnya setengah membentak diiringi dengan tatapan matanya yang tajam.
“Mbok… aku kebelet” Ucap seorang gadis kecil yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu yang menghubungkan dapur dan ruangan utama rumahnya.
“Yo kono ning mburi to Sih. (Ya sana ke belakang to Sih)” Ucap Martini.
“Darsih wedi mbok. Terke. (Darsih takut mbok. Antarkan)” Rengek gadis berusia sepuluh tahun itu.
“Wis kono anake diterke sik ning larik. Ndak ngising ning kene malah mambu kabeh. (Sudah sana anaknya diantar dulu di sungai kecil/parit. Nanti kalau buang air besar di sini malah bau semua)” Ucap Karso.
“Karo sampeyan wae, Pakne. (Sama sampeyan saja, Pakne)” Ucap Martini.
“Kesel aku, bune. Pegel kabeh sikilku iki mau sedino bar macul. Sampeyan wae kono. (capek aku, bune. Pegel semua kakiku ini tadi seharian habis mencangkul. Sampeyan saja sana)” Ucap karso.
“Ayo mbok selak metu iki. (Ayo mbok keburu keluar ini)” Rengek Darsih lagi.
“Wis ayo. Bapakmu iki pancen keset. (Sudah ayo. Bapakmu ini memang pemalas)” Ucap Martini sembari menyambar obor yang terselip di dinding dapur lalu menyalakannya.
Ketika pintu dapur dibuka, seketika angin dingin menusuk menyeruak masuk menerpa tubuh mereka dan membuat bulu tubuh mereka meremang seketika.
“Ngising kok yo wengi-wengi ngene to nduk. Opo ora iso sesuk wae. (Buang air besar kok ya malam-malam begini to nduk. Apa tidak bisa besok saja)” gerutu Martini sembari menggandeng tangan anaknya itu. Tidak ada jawaban dari Darsih maupun Karso.
Beberapa waktu berlalu sepeninggal Martini dan anaknya, Darsih yang ingin membuang hajat di sungai kecil belakang rumahnya. Mayoritas warga memang masih menggunakan sungai untuk keperluan buang hajat. Hanya beberapa rumah yang sudah memiliki bilik kamar kecil sendiri.
Sudah cukup lama kedua Ibu dan anak itu pergi, Karso mulai merasakan gelisah sebab istri dan anaknya belum juga kunjung kembali. Seharusnya mereka sudah selesai, kenapa belum juga kembali? Ucapnya dalam hati.
Membarengi perasaan gelisah, suasana mencekam kini mulai menyergap dirinya. Karso yang merasa semakin tidak tenang berniat menyusul mereka. Namun belum sempat dia membuka pintu, suara teriakan tiba-tiba terdengar olehnya.
“Aaaaaaaaaaaaa….. Toloooooong”
Karso yang meyakini pemilik suara itu adalah istrinya bergegas keluar untuk menyusul mereka. Dia lari tergopoh-gopoh menembus kegelapan menuju tempat biasanya mereka membuang hajat.
Suasana gulita akibat tidak adanya penerangan tidak menyurutkan semangatnya, dia cukup hafal jalan setapak menuju ke sungai kecil itu, meski sesekali kakinya tersandung akar ataupun batu karena jarak pandang yang sangat terbatas.
Hujan ringan masih mengiringi suasana malam yang mulai mencekam ini ketika Karso sampai di sungai kecil itu.
Dia menoleh kesana kemari sambil berteriak memanggil istri dan anaknya karena dia tidak mendapati keberadaan mereka di tempat itu. dia hanya menemukan sebatang bambu pendek yang tadi digunakan sebagai obor oleh istrinya yang kini telah padam nyala apinya.
“Buuuuuu…. Buuuuuneeeee… Darsiiiiiihhh…” Teriaknya memanggil kedua orang yang disayanginya itu.
“Buuuneeeeeee…. do ning endi to iki… Darsiiiiihhh… Nduuukkkk… (Buuuneeeeee… Pada dimana to ini… Darsiiiiiihhh… Nduuukkkk…)” Teriaknya lagi.
Teriakannya kembali tidak terbalas. Karso yang mulai dilanda kekalutan berlari kembali ke rumah untuk mengambil golok. Dia berniat menyusuri sekitaran sungai kecil itu yang berupa kebun tak terurus dan hutan kecil.
Berbekal sebilah golok dan sebuah obor Karso kembali mencari keberadaan istri dan anaknya di sekitar tempat mereka membuang hajat.
Timbul penyesalan didalam hatinya, kenapa dia tadi menolak ketika diminta mengantarkan Darsih. Setidaknya jika dia yang mengantar, dia lebih bisa menjaga anaknya itu.
Karso masih berusaha mencari istri dan anaknya di setiap sisi kebun yang berukuran cukup luas itu. Namun sebesar apapun usahanya, nampaknya keberhasilan belum berpihak kepadanya.
Hingga tanpa dia sadari, dia sudah berjalan cukup jauh sampai ke pinggiran alas kidul. Karso yang sudah menyadari dimana dia berada mulai merasakan takut. Namun hal itu tidak menyurutkan usahanya untuk terus mencari istri dan anaknya yang kini entah berada dimana.
Di sela usaha pencariannya, sekilas Karso melihat sosok seseorang berdiri di kejauhan. Gelapnya malam dan guyuran hujan ringan yang masih setia menemaninya membiaskan penampakan sosok itu. Namun Karso tetap yakin bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di depan sana.
Belum terlintas kecurigaan terhadap sosok tersebut. Karso meyakini itu adalah salah satu warga desanya. Terkadang memang ada warga yang keluar malam-malam untuk mencari ikan di sungai besar. Dan lokasi sosok itu berdiri juga tidak jauh dari sungai tersebut.
“Kaaaang… kaaaaanggg” Panggilnya kepada sosok yang masih terlihat berdiri mematung itu.
Merasa tidak ada jawaban dan menganggap suaranya terbias hujan dan gemericik air sungai, Karso pun mendekati sosok yang masih tetap berdiri mematung di kejauhan itu. langkah demi langkah dia ayun menuju ke tempat sosok itu.
Tapi ketika dia semakin dekat, tiba-tiba sosok itu menghilang entah kemana. Karso yang masih diliputi rasa heran berusaha mencari sosok itu. Dia celingukan mencari kesana kemari.
“Kok ilang…” Ucapnya sendiri.
“Kaaaanggg… Sampeyan ning endi… (Kaaaaang… Sampeyan dimana…)” Teriaknya lagi memanggil sosok tadi. Namun hanya keheningan yang menjawabnya.
Sinuhun ingkang ngiwasani tlatah
Dhela malih nangi nagih panamaya
Panamaya saking kamanungsan
Ingkang sampun nrungku atma
Jroning ngalam yamani
Bebendhu pinesthi sengkala pinesthi
Ira sedaya ora bisa lindhung dhelik
Ira sedaya bakal tinemu yamadipati
Sukma ira bakal dadi begondal sinuhun
Di sela keheningan, sayup terdengar lantunan syair mirip mantera menelusup ke dalam pendengaran Karso. Meski sangat pelan, namun kata demi kata terekam sangat jelas di pendengaran Karso. Seketika tubuhnya bergetar akibat rasa takut yang tak terkira.
Tak hanya sekali, bekali-kali syair itu terus diperdengarkan kepada Karso. Berulang-ulang hingga membuat pikirannya terganggu. Karso yang telah disergap ketakutan dan kepanikan bergegas lari tak tentu arah. Dia melupakan niatnya semula yang hendak mencari istri dan anaknya.
Karso masih terus berlari hingga tanpa dia sadari dia telah sampai di bibir alas kidul. Karso menghentikan langkahnya. Dia menelisik keadaan sekitarnya.
Sayup-sayup lantunan syair tadi masih terus didengarnya. Meski dia berusaha menahan dengan menutup telinganya dengan kedua tangannya, tapi suara itu seolah berasal dari dalam kepalanya.
Masih dalam kepanikannya, perlahan obor yang dibawanya mulai padam akibat kehabisan bahan bakar. Kegelapan kini semakin sempurna menyergap pandangannya. Karso semakin bingung harus pergi kemana.
“Sinuhun sampun angsal wadal”
Kembali terdengar kalimat lain di sela lantunan syair tadi. Karso yang semakin panik tak tahu lagi harus berbuat apa. Hingga tiba-tiba aroma wangi melati bercampur kenanga menguar menelusup indera penciumannya.
Perlahan aroma itu memudar lalu berganti bau busuk bangkai yang menusuk bercampur anyir darah.
Lalu seketika muncul seraut wajah menyeramkan di hadapannya berjarak hanya sejengkal saja. Wajah mirip wanita tua yang sangat keriput dengan beberapa bercak darah dan kulitnya yang mengelupas di beberapa bagiannya. Karso masih termangu dengan penampakan di hadapannya itu.
Hingga perlahan mulut penampakan wanita tua menyeramkan itu bergerak menyunggingkan senyum menyeringai memperlihatkan giginya yang hitam kemerahan. Karso langsung tersentak dan seketika pandangannya gelap. Dia kehilangan kesadaran.
***
Keesokan harinya warga digemparkan dengan penemuan Karso di pinggir alas kidul dalam kondisi pingsan. Beberapa orang warga yang hendak berburu tidak sengaja menemukan Karso yang tergeletak di sela semak-semak.
Mereka langsung membawanya ke desa dan segera memanggil tetua desa yaitu Ki Wongso. Warga lain yang melihatnya pun langsung gempar dan memenuhi rumah Karso karena penasaran dengan cerita di balik penemuan Karso tersebut.
“Karso iki mung semaput. Wis ora usah ribut lan nyimpulke dewe. Enteni Karso tangi ben crita dewe. (karso ini cuma pingsan. Sudah tidak perlu ribut dan menyimpulkan sendiri. Tunggu Karso sadar dan cerita sendiri)” Ucap Ki Wongso menenangkan warga.
“Bojone Karso ngendi? (Istrinya Karso mana?)” Tanya Ki Wongso lagi.
“Mboten ketingal saking wau, Ki. (Tidak terlihat dari tadi, Ki)” Jawab salah seorang warga.
“Anake? (Anaknya?)”
“Nggih mboten ketingal, Ki. (Juga tidak terlihat, Ki)” Sahut warga lainnya.
“Niku wau griyane Karso kuncinan, Ki. Namung lawang wingking ikang kebuka. (Itu tadi rumahnya Karso terkunci, Ki. Hanya pintu belakang yang terbuka)” Ucap warga lainnya.
Ki Wongso pun manggut-manggut mencoba mencerna keterangan dari warganya.
Tak berapa lama terlihat gerakan dari tangan Karso. Menyusul matanya yang terbuka perlahan. Karso mulai sadar dari pingsannya. Ketika kesadarannya mulai pulih, Karso langsung tersentak dan berdiri.
“Buneeeee… buneeeee… kowe ning ngendi? Darsiiih… Nduuuukkkk… (Buneeeee… buneeee… kamu dimana? Darsiiiiih… Nduuuukkkk….)” Teriak Karso seketika yang belum menyadari situasi di sekitarnya.
“Lungguh sek, Le… Iki ngombe disik. Cerita alon-alon ono opo sebenere. (Duduk dulu, Le… Ini diminum dulu. Cerita pelan-pelan apa yang sebenarnya terjadi)” Ucap Ki Wongso berusaha menenangkan Karso.
Karso menuruti perintah Ki Wongso. Perlahan dia meminum air yang diberikan oleh orang yang paling dihormati di desanya itu. Usai menenggak air minum itu hingga tandas, Karso mulai bercerita kejadian yang menimpanya.
Berawal dari hilangnya istri dan anaknya hingga bertemu sosok mengerikan di pinggir alas kidul. Semua diceritakannya tanpa ditutupi sama sekali. Meskipun mulutnya terasa berat dan sesekali dia terisak ketika memikirkan nasib istri dan anaknya.
“Iki mesti lelakune lelembut ingkang ngiwasani alas kidul, Ki. Lelembut iku golek wadal saking desa iki, Ki (Ini pasti perbuatan lelembut yang menguasai alas kidul, Ki. Lelembut itu mencari tumbal dari desa ini, Ki)” Seloroh salah satu warga.
“Ojo sembarangan yen ngucap. Durung ono buktine yen iki lelakune lelembut alas kidul. Ojo sembarangan nyimpulke babagan sing kowe durung ngerti.
(Jangan sembarangan kalau bicara. Belum ada buktinya kalau ini perbuatan lelembut alas kidul. Jangan sembarangan menyimpulkan sesuatu yang kamu belum memahami)” Ucap ki Wongso Tegas. Dan semua warga yang berada di situ pun terdiam.
“Mengko bojo lan anakmu digoleki bareng-bareng, So. Saiki apike awakmu leren sik. Nanging opo wae hasile, awakmu kudu ikhlas. (Nanti istri dan anakmu dicari bersama-sama, So. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu. Tapi apapun hasilnya, kamu harus ikhlas)” Ucap Ki Wongso.
Karso hanya bisa menuruti ucapan Ki Wongso. Meski di dalam hatinya masih belum bisa tenang sebelum mendapatkan kejelasan mengenai nasib istri dan anaknya. Ki Wongso pun membubarkan warga yang masih berkerumun.
Mereka meninggalkan rumah Karso diiringi kasak-kusuk mengenai kejadian yang menimpa Karso beserta istri dan anaknya. Tak sedikit pula yang menghubung-hubungkan kejadian ini dengan Sundari.
Sebab desas-desus mengenai Sundari sebagai titisan iblis sudah semakin merebak di kalangan warga. Beberapa warga masih tetap bertahan di rumah Karso, terutama yang masih memiliki hubungan keluarga. Selain rasa prihatin, mereka juga berniat merawat dan menemani Karso.
Menjelang sore, beberapa warga yang semuanya laki-laki berkumpul di halaman rumah Karso. Mereka akan memulai pencarian istri dan anak Karso dengan dipimpin oleh Ki Wongso.
Mereka memulai pencarian dari belakang rumah Karso, menyusuri kebun sampai di sungai kecil yang biasa digunakan membuang hajat. Sampai di sungai kecil itu pencarian mereka belum membuahkan hasil. Bahkan sedikit petunjuk pun tidak mereka dapatkan.
Tidak mau menyerah, mereka pun melanjutkan menyusuri sekitar area itu hingga sampai di pinggiran alas kidul tempat Karso ditemukan pingsan pagi tadi. Namun lagi-lagi pencarian mereka tidak mendapatkan petunjuk apapun.
“Pripun niki, Ki? Sampun dugi mriki tapi mboten wonten tanda-tanda bojo lan anake Karso. (Bagaimana ini, Ki? Sudah sampai sini tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan istri dan anak Karso)” Ucap salah satu warga.
“Digoleki mlebu alas. (dicari masuk ke hutan)” Ucap Ki Wongso.
Beberapa warga saling berpandangan usai mendengar ucapan Ki Wongso. Bukan tanpa alasan mereka ragu untuk mencari keberadaan istri dan anak Karso hingga masuk ke dalam hutan.
Saat ini sudah memasuki waktu sandikala atau menjelang malam. Tentunya mereka merasa takut jika harus masuk ke dalam hutan yang terkenal sangat wingit itu.
“Ora usah wedi. Mlebu alas karo aku. Nanging aku ora mekso. Yen ono sing ora wani, ngenteni kene wae utowo mulih ora po-po. Yen ora ono sing wani, aku mlebu dewe.
(Tidak udah takut. Masuk hutan bersamaku. Tapi aku tidak memaksa. Jika ada yang tidak berani, menunggu di sini atau pulang tidak apa-apa. Jika tidak ada yang berani, aku masuk sendiri)” Ucap Ki Wongso.
“Kulo nderek, Ki. (Saya ikut, Ki)” Ucap Dirman.
Beberapa warga lainnya pun ikut memberanikan diri untuk ikut masuk hutan bersama Ki Wongso. Sedangkan sebagian lainnya menyatakan tidak berani dan menunggu di pinggir hutan itu.
Ki Wongso bersama beberapa warga itu segera memasuki alas kidul untuk mencari keberadaan Martini dan anaknya,Darsih. Dengan berbekal obor sebagai penerangan dan golok sebagai senjata,mereka menyusuri sejengkal demi sejengkal hamparan hutan yg sangat luas,gelap dan menyeramkan itu
Pohon-pohon besar menjulang dan tumbuh dengan rapat membuat suasana mencekam semakin terasa. Tanpa sedikitpun petunjuk, mereka hanya sekedar mencari sesuai dengan naluri mereka saja.
Hingga pencarian mereka semakin dalam memasuki alas kidul, mereka masih belum juga mendapatkan petunjuk keberadaan Martini dan anaknya.
“Pripun niki, Ki? Sampun dugi mriki tasih dereng wonten pitedhah. (Bagaimana ini, Ki. Sudah sampai sini masih belum ada petunjuk)” Ucap salah satu warga dengan nada cemas.
“Awake dewe uwis usaha nganti ngene. Yen pancen tetep ora ketemu, ora usah dipeksake. Mergane iso wae nyawane dewe sing kaincim.
(Kita sudah berusaha hingga seperti ini. Jika memang tetap tidak ketemu, tidak usah dipaksakan. Karena bisa jadi nyawa kita sendiri yang terancam)” Ucap Ki Wongso pelan sambil melihat di sekitar, seolah menyadari akan datangnya bahaya.
“Wis ayo metu seko kene. (Sudah ayo keluar dari sini)” Sambungnya.
Ki Wongso mengajak warga yang mengikutinya untuk keluar dari alas kidul. Namun belum lama mereka berjalan, salah seorang di antara mereka melihat kelebatan sosok melintas di depan mereka menembus kegelapan.
Tak hanya sekali, kelebatan bayangan itu beberapa kali melintas di sekitar mereka, seolah tak hanya satu sosok yang mulai menampakkan diri dan menebarkan teror kepada serombongan warga desa itu.
selain itu, tak hanya satu orang saja yang melihat, hampir semua orang yang sedang berada di tengah alas kidul itu melihat kelebatan sosok yang melintas itu.
“Opo kui?? (Apa itu??)” teriak salah satu warga dengan panik.
“Kene yo ono. (Di sini juga ada)” Sahut yang lainnya.
Kepanikan mulai menggerayangi jiwa mereka. Hanya Ki Wongso seorang yang masih terlihat tenang memperhatikan kemunculan sosok-sosok itu.
“khikhikhikhi… ono uwong gendheng ngeterno nyowo. (Khikhikhikhi… ada orang bodoh mengantarkan nyawa)” Tiba-tiba terdengar suara menggema seperti suara nenek-nenek dengan nada serak dan berat, namun tidak terlihat sosoknya.
“Khekhekhekhe… Sinuhun Gusti Prabu soyo bungah. (Khekhekhekhe… Sinuhun Gusti Prabu semakin senang)” Kali ini berganti suara kakek-kakek yang terdengar.
“Pripun niki, Ki? Kulo mboten purun pejah sakniki. (Bagaimana ini, Ki? Aku tidak mau mati sekarang)” Ucap salah seorang warga ketakutan.
“Atmo nira bakal dadi begondale Sinuhun. Khekhekhekhe… (Sukma kalian akan jadi budaknya Sinuhun. Khekhekhekhe…)” Suara menyeramkan itu terdengar lagi.
“Ojo dirungoke, wis ayo mlaku meneh. Ndang cepet metu seko kene. (Jangan didengarkan, sudah ayo jalan lagi. Segera keluar dari sini)” Ucap Ki Wongso tegas.
Mereka kembali bergerak menyusuri hutan itu untuk keluar dari sana. Namun belum jauh mereka melangkah, tiba-tiba salah satu warga berhenti dan menunjuk ke arah atas pohon.
“Opo kae?? (Apa itu??)” Teriaknya.
Ki Wongso dan warga lainnya pun melihat ke arah yang ditunjuk orang itu. Nampak di kejauhan seperti ada benda yang tergantung di dahan pohon besar itu.
Setelah diperhatikan dengan seksama, mereka meyakini bahwa benda yang tergantung itu adalah jasad manusia. Tak hanya satu, ternyata ada banyak jasad yang tergantung di sana dengan kondisi sangat mengenaskan.
Sebagian telah membusuk, sebagian lagi tinggal tulang belulang, dan ada pula jasad yang tidak lengkap, entah itu tanpa kepala maupun tanpa bagian tubuh lainnya.
Suasana semakin panik dan kacau, bahkan ada beberapa orang yang lari tak tentu arah karena merasa sangat takut dan ingin segera pergi dari tempat ini. Ki Wongso berusaha menenangkan warga yang bersamanya, namun mereka tetap tidak bisa menguasai kepanikan dan ketakutan itu.
“Matek iki aku. Matek tenan ning kene. (Mati ini aku. Mati beneran di sini)” Ucap mereka.
“Tenang-tenang ojo sembrono. Kumpul kabeh dadi siji ning kene. (Tenang-tenang jangan sembrono. Kumbul semua jadi satu di sini)” Ucap Ki Wongso menenangkan.
“Karjo, Sanip, kalih Dirman ilang, Ki. (Karjo, Sanip, sama Dirman hilang, Ki)” Ucap salah satunya.
“Ning endi arahe mlayu? (Kemana arah mereka lari?)” Tanya Ki Wongso.
Salah satu warga yang sempat melihat Karjo, Sanip dan Dirman lari tadi menunjuk ke salah satu arah berupa rerimbun pohon-pohon besar disertai semak-semak di sekitarnya.
Namun tak lama terdengar teriakan dari arah yang di tunjuk tadi.
“Aaaaaaaaaaaaaaa……”
“Aaaaaaaaarrrrrrhhhh….”
“Aaaaaargrgggghhh….”
Terdengar beberapa kali teriakan dari orang yang berbeda. Teriakan itu terus terdengar bersahut-sahutan beberapa saat hingga diakhiri dengan erangan yang terdengar mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya.
Tanpa mempertimbangkan lebih jauh lagi, Ki Wongso bergegas menuju ke arah suara tadi dan diikuti semua warga yang tersisa. Mereka berjalan cepat diselingi lari kecil mencari sumber suara yang diyakini milik Karjo, Sanip dan Dirman yang tadi berlari meninggalkan rombongan.
Hingga beberapa ratus meter mereka berjalan, mereka menemukan tanah sedikit lapang yang tidak terlalu luas. Di tempat itu mereka disambut dengan pemandangan yang sangat mengerikan.
Mereka menemukan tiga tubuh yang diyakini sebagai Karjo, Sanip dan Dirman tergeletak dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuh ketiga orang itu bersimbah darah dengan kepala tak lagi berada di tempatnya.
Seketika mereka semua panik dan ketakutan. Sebagian masih sedikit waspada dengan menggenggam erat gagang golok siap memberikan perlawanan.
Setali tiga uang, Ki wongso pun mencabut keris yang dibawanya dari warangkanya dan bersiap menghunuskan kepada siapapun atau apapun yang mengancam.
Dalam kekalutan dan suasana mencekam itu, tiba-tiba gumpalan kabut datang bergulung-gulung memenuhi tempat itu membuat pandangan mereka menjadi buram. Perlahan obor yg mereka bawa pun padam semuanya. Suasana mencekam dan gelap gulita kini menguasai perasaan mereka dan tempat ini.
Chraaaaasssssshhhhh….
“Aaaaaaarrrhhhhhhhh”
Terdengar suara sabetan golok mengenai sesuatu diikuti teriakan dan erangan.
Chraaaaasssssshhhhh….
Chraaaaasssssshhhhh….
“Aaaaaaarrrhhhhhhhh”
“Aaaaaaarrrhhhhhhhh”
Lagi-lagi terdengar suara teriakan dan sabetan golok bersahut-sahutan. Hingga beberapa waktu berlalu dan seketika kini suasana menjadi hening. Kabut tebal yang sebelumnya memenuhi tempat ini perlahan menguar dan menipis hingga hilang sepenuhnya.
Dengan menghilangnya kabut tebal itu, penglihatan kini menjadi sedikit lebih baik. Terlihat banyak tubuh tergeletak tak beraturan di tempat ini. Semua tubuh itu tak lagi bergerak, kecuali satu tubuh yang tangan kanannya masih menggenggam erat sebilah keris, yaitu Ki Wongso.
Ki Wongso memandang nanar di sekitarnya. Semua warga yang ikut dengannya memasuki alas kidul ini telah meregang nyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan.
Luka akibat sabetan benda tajam menghiasi sekujur tubuh mereka, bahkan ada beberapa yang kepalanya pecah dan leher hampir terputus. Kondisi Ki Wongso sendiri pun tak beda jauh. Beberapa luka bacokan menghiasi lengan dan punggungnya.
Namun dia masih sedikit beruntung krn masih terbebas dari maut. Ki Wongso berusaha bangkit dgn sisa tenaganya. Dia sempatkan memeriksa satu persatu tubuh warganya utk memastikan kondisi mereka. Namun harapannya utk menemukan warga yang masih hidup ternyata tidak menuai kenyataan.
Sinuhun ingkang ngiwasani tlatah
Dhela malih nangi nagih panamaya
Panamaya saking kamanungsan
Ingkang sampun nrungku atma
Jroning ngalam yamani
Bebendhu pinesthi sengkala pinesthi
Ira sedaya ora bisa lindhung dhelik
Ira sedaya bakal tinemu yamadipati
Sukma ira bakal dadi begondal sinuhun
Sayup-sayup pendengaran Ki Wongso menangkap suara seseorang mendendangkan syair itu dengan nada yang sangat menyeramkan. Berulang-ulang semakin lama semakin terdengar sangat mengerikan.
Ki Wongso segera duduk bersila mengabaikan rasa sakit akibat luka yang dideritanya. Matanya mengatup rapat berusaha untuk fokus meski sangat sulit dilakukannya.
Nana yoni kang ngladuki Hyang Widhi
Jajah lelembut nedya winastha
Kawula nraya dinehi yoni
Konjuk ngingsahake agkara sengkala
Ngingge yoni keris niki
Muga Ngalam mangestuni
Komat-kamit mulut Ki Wongso membaca barisan mantera berulang-ulang sambil meletakkan bilah keris di keningnya. Hingga cahaya keemasan perlahan muncul dari ujung kerisnya lalu merambat ke seluruh permukaan bilah dan menyebar menyelimuti tubuhnya.
Perlahan dia membuka mata lalu mengarahkan kerisnya ke atas. Ledakan cahaya seketika memenuhi tempat ini, lalu perlahan memudar dan menghilang. Berbagai sosok lelembut yg sedari tadi mengelilingi tempat ini pun menghilang diikuti dengan Ki Wongso yg kehilangan kesadarannya.
***
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004
“Hari baru menggeliat kau sudah berangkat. Pagi benar? Ada lembur?” seseorang menyapaku saat aku baru keluar dari rumah kontrakanku.
“Sepertinya ada yang ketinggalan di taman kemarin” aku menjawab sekenanya, berharap dia tidak bertanya lagi.
Aku memang orangnya cenderung tertutup, jarang berbincang dengan orang lain jika hanya sekedar basa-basi. Malas membicarakan hal yang tidak ada gunanya. Aku lebih suka menyeendiri, membaca koran sambil mencari peluang bisnis, atau sekedar menulis puisi.
Aku memang dikenal seorang pekerja keras dan ulet, tapi kurang pandai dalam hal pergaulan. Tapi aku tak pernah memperdulikan hal itu.
Orang hidup kan untuk dirinya sendiri. Untuk kebutuhan perutnya sendiri. Apalagi di jaman yang serba bayar ini. Jika aku terlalu sibuk memikirkan orang lain, maka urusanku sendiri jadi terbengkalai. Setidaknya begitulah pemikiranku.
“Kau masih suka menyendiri di sana?” dia bertanya lagi.
“hati-hati lho kata orang di taman itu banyak hantunya. Dan katanya ada hantu seorang perempuan cantik yang suka menangis dan nembang jawa setiap malam. Hii… ngeri deh…” sambungnya.
Kali ini aku benar-benar muak dengan apa yang dikatakannya. Tanpa memperdulikannya aku terus saja keluar menyusuri ruas-ruas jalan.
Pikiranku hanya tertuju pada taman itu. Entah apa aku sendiri tidak mengerti. Seperti ada seseorang yang memanggilku dari sana. Seperti ada kekuatan yang menarikku untuk pergi kesana.
Aroma pertikor sisa rinai semalam masih menyergap penciumanku. Langkahku terhenti di sudut taman ini. Aku seperti teringat sesuatu. Sesuatu yang benar-benar pernah kualami.
Entah kapan aku sendiri masih bingung, sebab kenangan-kenangan yang bermunculan seperti rentetan peluru dari senapan mesin seorang serdadu. Begitu cepat, begitu tajam.
Aku masih saja terpaku di sudut taman ini, di depan sebuah kursi panjang di bawah temaram lampu. Hingga tiba-tiba kulihat seseorang duduk di sana. Seorang perempuan berkebaya hitam dan jarik coklat tua.
Dari guratan wajah yang benar-benar cantik terlihat pancaran kecemasan dan kesedihan yang begitu mendalam. Dia seperti menunggu seseorang. Mungkin kekasihnya. Bibirnya yang sedari tadi terkatup perlahan bergerak.
Bulan hujan. Kekasih…
Temaram rembulan kini enggan bercanda
Sebab dia lelah… sangat lelah…
Memacu bingkai-bingkai malam
Mendendang rindu pada garis-garis mimpi
Bulan hujan, kekasih…
Kutunggu kau mengoles jejak
Di sini…
Selalu di sini…
Aku begitu termangu mendengar sajak yang baru saja diucapkan perempuan itu. Aku seperti mengenal sajak itu. Aku seperti pernah mendengarnya bahkan mengucapkannya. Tapi kapan? Dimana? Sesaat kemudian seorang lelaki setengah berlari mendatangi perempuan itu.
Di sudut taman, di sebuah kursi dengan lampunya temaram. Aku terperangah tidak percaya… Lelaki itu… Aku… Wajahnya mirip sekali denganku, bahkan hampir tidak ada bedanya.
Hanya pakaiannya saja yang membedakan dia denganku. Baju mirip prajurit jaman dulu dengan sebilah golok tersemat di pinggang dan sebuh keris terselip di atas pinggulnya. Dia mendatangi perempuan itu lalu memeluknya.
“Mas Damar… Kenapa lama sekali…Bulan hujan ini sungguh membawa cemas yang menusuk. Aku tak sanggup menghadapinya, Mas Damar…
Tetaplah di sini untukku, sampai matahari bosan memberikan kepedihan. Peluklah hatiku, Mas Damar… Sukmaku luruh di pelataran jiwamu…” Perempuan itu menghamburkan tangisnya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sundari… ya… pasti namanya Sundari… Mereka kemudian duduk bersama di kursi taman itu.
“Bulan hujan ini aku harus pergi. Jangan kau cumakan tangismu. Sebab akan kutinggalkan sebagian jiwaku untuk selalu memelukmu, Sundari… Tunggulah aku di sini. Pada tujuh purnama, saat tebasan keris terbungkam kekalahan. Saat tombak prajurit patah berkalang.
Saat lesatan anak panah mampat oleh pengakhiran. Tetaplah di sini, sebab aku akan selalu mendatangimu pada malam-malam bulan hujan.” Sesaat mereka berpelukan dan lelaki itu pergi meninggalkan taman dengan lampunya temaram dan seorang perempuan di sudutnya.
Aku masih termangu menyaksikan kejadian itu. Sepertinya aku pernah mengalaminya. Sepertinya aku yang mengalaminya, tapi kapan… Aku benar-benar bingung dan tak mengerti. Taman – aku – perempuan – bulan hujan – purnama – Damar – Sundari.
Tapi aku bukan Damar, aku benar-benar bingung, hingga tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Sekilas aku hanya melihat sekelompok orang membawa tombak, pedang, keris. Mereka mengejarku, membacokku, menusuk, dan segalanya benar-benar gelap. Aku tak sadarkan diri.
Perlahan aku membuka mataku. Terang… benar-benar menyilaukan. Aku berada di ruangan yang berbalut kain putih. Aku masih mencoba mengumpulkan segala kesadaranku. Mencoba mengingat apa yang telah kualami.
Lagi-lagi ingatanku tertuju pada sosok perempuan berkebaya hitam di sudut taman dengan lampunya temaram. Aku hampir beranjak ketika tiba-tiba seseorang masuk ruangan ini.
Mandaka Birawa
Semenjak kejadian menghilangnya istri dan anak Karso tanpa petunjuk apapun, juga pembantaian di tengah alas kidul yang merenggut beberapa nyawa warga, kini suasana mencekam semakin terasa di dalam desa pinggir alas kidul itu.
Ki Wongso sendiri akhirnya berhasil selamat setelah seharian pingsan usai menggunakan ilmunya untuk melawan gerombolan lelembut yang meneror mereka. Ketika tersadar, Ki Wongso memandang nanar jasad warganya yang tergeletak di sekitarnya yang sebagian sudah tidak utuh lagi.
Beberapa orang mengalami luka bacokan serius, bahkan ada yang tangan dan kakinya sampai terputus. Aroma anyir darah menguar memenuhi tempat itu. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Ki Wongso. Untuk menguburkan mereka pun rasanya tidak mungkin.
Sebab tinggal dia sendiri yang masih hidup. Sedangkan tenaganya sudah habis terkuras akibat melawan bangsa lelembut yang menerornya sebelumnya. Akhirnya terpaksa Ki Wongso meninggalkan jasad warganya setelah menatanya alakadarnya.
Sesampainya di desa, beberapa warga yang masih menunggu pun terkejut melihat Ki Wongso keluar dari hutan sendirian dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Mereka segera menolong Ki wongso yang berjalan sempoyongan dan hampir pingsan lagi. Mereka langsung membawa Ki Wongso menuju rumahnya.
“Sanesipun pundi, Ki? (Yang lainnya mana Ki?)” Tanya salah satunya.
“Ora ono sing selamet. Mati kabeh. (Tidak ada yang selamat. Mati semua)” Jawab Ki Wongso lirih.
Setelah Ki Wongso mendapatkan perawatan dan sedikit pulih, dia memanggil beberapa warga dan menjelaskan kejadian yang menimpanya di tengah alas kidul. Warga yang mendengar cerita Ki Wongso langsung ternganga.
Begitu pula dengan sanak keluarga warga yang menjadi korban pembantaian itu. Mereka histeris ketika mendengar berita duka tersebut. Terlebih lagi mereka tidak bisa membawa jasad mereka yang ditinggalkan di dalam hutan.
Beberapa orang berniat masuk ke hutan untuk mengambil jasad keluarganya, namun Ki Wongso melarangnya. Karena alas kidul sangat berbahaya. Tidak menutup kemungkinan mereka yang menyusul masuk ke dalam hutan pun akan menjadi korban berikutnya.
“Wis pirang-pirang mongso urip ning kene ora tau ono kejadian koyo ngene. Iki mestine ono jaglarane. (Sudah beberapa musim hidup di sini tidak pernah ada kejadian seperti ini. Ini pasti ada penyebabnya)” Ucap salah satu warga mulai berkasak-kusuk.
“Bener kang. Kawit jaman bopo biyung, simbah, buyut ora tau ono crita ngene iki. Yen alas kidul wingit, kabeh uwis ninga. Nanging lelembut kono ora nganti nyilakani. Palingan digawe ilang terus dibalikke meneh, yen ora yo digawe edan.
(Betul kang. Sejak jaman Bapak Ibu, Kakek/nenek, Buyut tidak pernah ada cerita seperti ini. Jika alas kidul angker,semua juga sudah paham. Tapi lelembut sana tidak sampai mencelakai. Paling dibuat hilang kemudian dikembalikan lagi, kalau tidak ya dibikin gila)” Sahut yang lainnya
“Opo iki ono kaitane karo ceritane Marsinah wingi? (Apa ini ada kaitannya dengan cerita dari Marsinah kemarin?)”
“Huss… ojo sembarangan, kang. Aku isih durung percaya omongane Marsinah yen durung ono buktine. (Huss… Jangan sembarangan, kang. Aku masih belum percaya omongan Marsinah sebelum ada buktinya)”
“Aku ugo gamam. Nanging kejadian iki yo ora baen-baen lho. Amarga uwis gowo nyawa. (Aku juga ragu. Tapi kejadian ini juga tidak main-main. Karena sudah membawa nyawa)”
“Wis kang, sing penting jaga awake dewe lan batihe dewe. Yen pancen ono musabab seko desa iki, mestine mengko kaubal. (Sudah kang, yang penting jaga diri kita sendiri dan keluarga kita. Jika memang ada sebab dari desa ini, pasti nanti akan terkuak dengan sendirinya)”
***
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Bulan hujan kini mulai memasuki puncaknya. Hampir setiap malam desa ini selalu basah oleh butiran air yang menghujam dari langit. Menambah suasana mencekam di dalam desa yang belum lama ada kejadian mengerikan itu.
Ditambah lagi beberapa rumah warga setiap malam juga mendapatkan teror misterius. Entah itu suara orang mengetuk pintu, suara ranting yang digesekkan di dinding rumah atau pun suara-suara misterius lainnya.
Namun setiap kali warga yang kedatangan tamu misterius itu memeriksa keluar, mereka hanya menemui kesunyian tanpa ada siapapun di luar. Hal itu otomatis membuat mereka semakin ketakutan.
“Ndari lihat akhir-akhir ini ibu sering murung. Ada apa, bu?” Ucap Sundari yang mendapati ibunya sedang duduk merenung sendirian di depan tungku pawon.
Suprapti sedikit tersentak dari lamunannya ketika mendengar ucapan Sundari.
“Duduk sini nduk. Ibu mau bicara” Ucap Suprapti.
Sundari pun menghampiri ibunya dan duduk di dingklik kayu persis di samping Suprapti.
“Ibu mau tanya, tapi tolong kamu jawab dengan jujur” Ucap Suprapti mengawali pembicaraan.
Sundari sedikit tersentak “Sekalipun Sundari tidak pernah berani berbohong pada ibu”
Suprapti sedikit tersenyum terpaksa lalu kembali berucap “beberapa hari ini warga desa ini banyak membicarakan kamu, Ndari. Mereka menuduh kamu sebagai titisan iblis. Semua kejadian aneh dan mengerikan yang terjadi sebelumnya juga dihubungkan dengan kamu, nak”
“Apa beberapa waktu terakhir ini kamu juga mengalami kejadian aneh?” Tanya Suprapti.
Sundari terdiam dan menunduk usai mendengar ucapan ibunya.
Satu sisi dia ingin sekali menceritakan semua yang dialaminya, mulai dari mimpi buruk sampai penampakan-penampakan yang selalu menghantuinya setiap malam. Namun di sisi lain dia khawatir hal itu akan mempengaruhi kesehatan ibunya.
“Katakan saja nduk. Jangan sampai kamu menyimpan semua beban ini sendirian.” Ucap Suprapti lagi.
Sundari perlahan mengangkat wajahnya. Nampak buliran bening meleleh dari sudut kedua matanya. Isakan lirih pun terdengar mengiringi kesedihan yang mendalam. Suprapti yang melihat putrinya seperti itu pun langsung memeluknya.
Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari keduanya. Suprapti masih menunggu Sundari sedikit lebih tenang sebelum menceritakan semua yang dialaminya.
“Rasanya Ndari sudah tidak saggup lagi menjalani semua ini, bu.”
Sundari kembali terisak. Pelan-pelan dia menata hatinya supaya bisa mengungkapkan semua yang dirasakannya. Sementara Suprapti masih terdiam. Dia bisa memahami apa yang dirasakan oleh putri semata wayangnya itu.
“Mungkin sebaiknya Ndari pergi dari desa ini saja, bu. Ndari khawatir dengan keselamatan Ibu” Sundari kembali tercekat.
“Tidak, nak. Kamu harus tetap di sini. Ibu akan menjagamu apapun yang terjadi” Ucap Suprapti.
“Tapi warga sini sepertinya sudah tidak bisa menerima Ndari lagi, bu. Bahkan Ndari sempat mendengar mereka akan mengusir kita. Jadi sebaiknya Ndari saja yang pergi. Ibu tetap di sini” Ungkap Sundari.
“Jangan dengarkan mereka, nak. Ibu yakin ada yang menghasut. Ibu akui memang sejak kecil kamu sering bersinggungan dengan bangsa lelembut,
tapi itu bukanlah alasan mereka menghubungkan semua kejadian tempo hari dengan dirimu. Ibu tidak percaya kamulah sumber semua malapetaka ini” Sergah Suprapti.
“Kita akan mencari cara untuk membuktikan bahwa kamu tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi saat ini” Sambungnya.
“Tapi Ndari juga sering mengalami kejadian aneh, Bu. Selain melalui mimpi, mereka juga sekarang mendatangi Ndari. Dan semua itu berkaitan dengan malapetaka di desa kita” Ucap Ndari.
“Sudah, tidak perlu kamu lanjutkan. Sebaiknya kamu tenang dulu, nak. Ibu akan mencari cara untuk menolongmu” Ucap Suprapti.
“Tapi bagaimana caranya, bu? Apalagi tanda lahir di punggung Ndari sekarang mulai berubah sedikit memerah. Apa benar Ndari terkena kutukan Toh Jiwo bu?”
Suprapti sedikit terperangah mendengar ucapan terakhir Sundari. Firasat buruk yang selama ini dirasakannya mulai menunjukkan kenyataannya.
“Cukup, nak! Tidak ada yang namanya kutukan toh jiwo. Itu hanyalah dongeng karangan leluhur kita supaya kita berhati-hati dalam bertindak dalam hidup ini.” Ucap Suprapti.
Sundari menunduk lesu. Ingin hatinya mempercayai ucapan ibunya. Namun kenyataan yang ada selalu menunjukkan bahwa dia adalah orang yang dikutuk dan akan membawa malapetaka bagi semua orang.
Malam jatuh semakin legam. Rintik butiran air yang menghujam dari langit belum sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Suasana kelam dan mencekam terasa semakin pekat menyelubungi seluruh desa pinggir alas kidul. Sebagian besar warga telah lelap dalam peraduannya.
Meski berselimut rasa takut dan khawatir akan kembali datangnya teror, namun mereka tetap berusaha untuk mengistirahatkan raga yang telah letih seharian beraktifitas.
Sementara itu di sela kegelapan alas kidul, dua sosok berjalan pelan keluar dari dalam hutan menuju ke desa. Aura kengerian terpancar dari kedua sosok itu yang tidak berhenti menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang hitam kemerahan.
Tidak jauh di belakangnya mengikuti berbagai makhluk berwujud mengerikan. Diantaranya makhluk tinggi besar berbulu lebat dengan taring panjang dan mata merah menyala yang biasa disebut gandarwo (genderuwo),
makhluk mirip gandarwo berambut panjang yang biasa disebut jejengklek suka sekali mengurai rambutnya membuatnya terlihat semakin mengerikan,
setan perempuan dengan payudara menggantung panjang hampir menyentuh tanah yang biasa disebut wewe yang sambil menggendong bayi setan berjuluk anak bajang,
bayi setan itu gemar menghisap darah manusia maupun binatang, bola api melayang atau disebut banaspati, makhluk tinggi besar menakutkan yang mengeluarkan suara aneh dan menakutkan mirip suara burung hantu yang disebut buto dhengen,
tendhas buntik yang berwujud kepala tanpa badan yang suka sekali menghisap darah manusia, setan laweyan yang memiliki lubang di punggungnya penuh dengan belatung mirip sundel bolong di masa sekarang namun tanpa kepala,
serta berbagai jenis makhluk lainnya seperti kamangmang, bandalungan, tengis, pepe’an, tongtongsot, popoting komara, hencok, kuku bawil, huci-huci yang wujudnya tak kalah mengerikan. Mereka perlahan memasuki desa untuk kembali mencari tumbal.
“Nalika netra sampun erem. Kawula teka dhem nidira atma ira. Khi khi khi… (Ketika mata sudah terpejam. Kami datang hendak menculik jiwa kalian. Khi khi khi…)” Ucap salah satu sosok yang berwujud perempuan tua.
“Upetya wadal kagem sinuhun prabu kolosetro kedah angsal saben wengi. Konjuk gelak ngeda-eda ipun (Persembahan tumbal untuk paduka prabu kolosetro harus didapatkan setiap malam. Untuk mempercepat kebangkitannya)” Sahut sosok berwujud kakek-kakek dengan wajah menyeramkan.
“Ugi kangge kasekten lan himawanipun ira, Ki Sentani. (Juga untuk kesaktian dan kegagahanmu, Ki Sentani)” Ucap sosok perempuan tua lagi.
“Ugi kangge anindya lan lalitaning ira, Nyai Robloh. Khe khe khe khe… (Juga untuk kecantikan dan kemolekan tubuhmu, Nyai Robloh)” Sahut sosok kakek-kakek bernama Ki Sentani itu.
Sejatinya kedua sosok bernama Ki Santani dan Nyi Robloh tersebut adalah manusia, namun mereka berdua telah lama bersekutu dan memuja iblis bernama kolosetro untuk mendapatkan berbagai kesaktian, kegagahan dan kecantikan.
Mereka telah hidup sangat lama menunggu saat kebangkitan kolosetro dengan mempersembahkan tumbal kepada junjungan mereka itu. Sebagai imbalannya, mereka akan hidup abadi meski raga mereka semakin renta dan rusak.
Namun ketika saatnya kolosetro bangkit, mereka akan kembali menjadi muda, gagah dan cantik seolah baru berusia kurang dari tiga puluh tahun.
Sundari yang masih terjaga di kamarnya merasakan hawa kengerian yang luar biasa. Dia seolah mengetahui adanya teror yang akan memasuki desanya. Perlahan dia beringsut di atas amben dan merapatkan selimutnya. Dia berusaha untuk terlelap namun ternyata sia-sia.
Rasa takut yang menyergap tak juga bisa menenangkan jiwanya untuk bisa menyelami alam mimpi.
“Ampun sumelang ndoro ayu. Dereng wancinipun panjenengan neba sinuhun. Khi khi khi… (Jangan khawatir, ndoro ayu. Belum waktunya kamu menghadap paduka. Khi khi khi…) Sayup telinga Sundari mendengar ucapan dengan nada mengerikan dari luar sana.
Getih anget katresnan lelembut
Sukmo wangi penganten gusti baginda prabu
Rogo elok kunjoroning jiwo
Ora ono menungso kang biso nyanding
Kejobo iro kang gadhah manunggaling pusoko kembang maya
Menyusul kemudian terdengar lantunan kidung yang akhir-akhir ini sering didengarnya.
Nalikaning wayah lingsir wengi
Tyasing rasa katresnan mukti
Santika bawana sewu warsa
Hametag sira kelawan hyang paduka
Sengkala teka kalabendu nyata
Aja wani ginulah rasa marang manungsa
Kejaba rasaning ati ketaman tineluh
Mring kemanjing japa mantra
Tubuh Sundari bergetar semakin hebat. Rasa takut yang semakin tak terkira menyergap jiwanya. Lelehan air mata tak lagi dapat terbendung. Namun tangisan yang keluar hanyalah isakan tercekat yang tak dapat terucap.
“Ampun ajrih, ndoro ayu. Atma ira sampun kasunting. Samita wancining niku rektaning toh jiwo. Khe khe khe. (Jangan takut, ndoro ayu. Sukmamu sudah terpilih. Tanda waktunya adalah memerahnya toh jiwo. Khe khe khe.) Kali ini suara kakek-kakek yang menggema menembus pendengarannya.
Sundari seketika tersentak. Tak dapat dibantah lagi, ternyata kutukan toh jiwo adalah sebuah kenyataan, bukan sekedar dongeng turun temurun semata. Dan dia adalah orang yang mendapatkan kutukan itu.
Tubuh Sundari seketika lunglai usai mengetahui kenyataan ini. Tak ada jalan lain yang dapat dipikirkannya selain harus pergi meninggalkan desa tempat dia lahir dan tumbuh demi keselamatan ibunya dan warga lainnya.
Keheningan kini merambati sisa malam di desa tempat Sundari tinggal. Tidak terdengar lagi suara-suara mencekam yang hampir setiap malam menerornya. Netranya kini semakin berat mengiringi keletihan yang mendera tubuhnya.
Namun belum juga lelap menyambangi, sayup pendengarannya mendengar teriakan warga dari kejauhan. Desis suara rinai yang masih menghujam atap rumahnya sedikit menyamarkan suara teriakan itu. Namun perlahan suara itu terdengar semakin jelas.
Tak hanya satu, kini diikuti teriakan lainnya yang saling bersahutan. Nampaknya terjadi kegemparan di desanya. Entah apa yang sedang terjadi.
Perlahan Sundari turun dari amben dan berjalan menuju pintu kamarnya. Ketika dia keluar dari kamar, ternyata ibunya sudah lebih dulu terjaga dan berdiri di ruang tengah rumahnya.
“Apa yang sedang terjadi, bu? Ndari mendengar suara teriakan warga”
“Ibu juga terbangun gara-gara mendengar suara teriakan itu, Ndari” Ucap Suprapti.
Tak berapa lama, suara teriakan itu terdengar semakin jelas dan riuh mendekati rumah Suprapti. Suara kecipak langkah yang menerjang beceknya jalanan pun semakin jelas terdengar.
Suprapti sedikit mengintip dari sela tirai untuk melihat apa yang sedang terjadi. Namun ketika pandangannya semakin jelas melihat keluar, Suprapti seketika tersentak dan kembali menutup tirai jendela rumahnya.
“Banyak warga berkumpul di depan rumah kita, Ndari” Ucap Suprapti dengan nada bergetar.
“Apa yang akan mereka lalukan, bu?” Ucap Sundari khawatir.
“Ibu juga tidak tahu. Sebaiknya kamu masuk ke kamar, biar ibu yang menemui mereka”
“Tidak bu! Ndari tidak mau terjadi apa-apa dengan ibu” Tolak Sundari.
“Tenanglah. Tidak akan terjadi apapun dengan ibu. Lagi pula kita tidak tahu apa yang sedang terjadi. Biar ibu bicara dengan mereka” Ucap Suprapti menenangkan putrinya.
Dengan terpaksa Sundari mengikuti perintah ibunya. Dia memasuki kamarnya lalu mengunci pintunya dari dalam. Namun di dalam kamar Sundari tetap berusaha mendengar dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di luar.
“Wonten nopo niki, kon sami kempal wonten mriki? (Ada apa ini kok pada berkumpul di sini?)” Tanya Suprapti kepada warga yang telah memenuhi halaman rumahnya.
“Endi Sundari? (Mana Sundari?)” Ucap salah satu warga setengah berteriak.
“Sundari wonten griya nembe tilem, kang. Wonten nopo to niki? (Sundari ada di rumah sedang tidur, kang. Ada apa to ini?)” Jawab Suprapti sedikit gusar sebab warga yang sedang berkumpul terlihat emosi.
“Anake Kang Pardi digondol jejengklek, pas dioyak arahe mrene, yu. Warga curiga jejengklek itu kongkonane Sundari. Sebab wis akeh sing curiga yen Sundari iku titisan iblis.
(Anaknya Kang Pardi diculik jejengklek, ketika dikejar arahnya kesini, yu. Warga curiga jejengklek itu utusannya Sundari. Sebab sudah banyak yang curiga kalau sundari itu titisan iblis)” ucapnya penuh amarah.
“Gusti pangeran… Aku wani sumpah yen Sundari ora ono kaitane karo setan kui, kang. Wong kawit sore Sundari ning omah karo aku.
(Gusti pangeran… Aku berani sumpah jika Sundari tidak ada kaitannya dengan setan itu, kang. Wong sejak sore Sundari ada di rumah bersamaku)” Ucap Suprapti sedikit terisak.
“Bocahe kon metu sek. Ben buktike dewe!! (Anaknya suruh keluar dulu. Biar membuktikan sendiri!!) Teriak warga lainnya.
“Yen ora gelem metu, langsung mlebu wae goleki ning omah!!! (Jika tidak mau keluar, langsung masuk saja kita cari di dalam rumah!!!) Sahut warga lainnya.
“Wes-wes. Tenang sek. Ojo gegabah!! (Sudah-sudah. Tenang dulu. jangan gegabah!!) Ucap seseorang dengan nada penuh wibawa dari belakang kerumunan warga.
“Ono opo iki? (Ada apa ini?) Sambungnya.
“Larene Kang Pardi ilang digondol jejengklek, Ki Wongso. Nalika dioyak mlayune arahe mriki, Ki (Anaknya Kang Pardi hilang diculik jejengklek, Ki Wongso. Ketika dikejar larinya arahnya kesini, Ki)” Salah seorang warga menceritakan kejadian sebelumnya.
“Terus kenopo geger ning omahe Prapti? (terus kenapa ribut di rumahnya Prapti?)”
“Warga sampun curiga kalihan Sundari, Ki. Wonten ingkang sanjang yen Sundari gadhah tanda toh jiwo wonten gegere. (Warga sudah curiga dengan Sundari, Ki. Ada yang bilang kalau Sundari memiliki tanda toh jiwo di punggungnya)”
“Terus karepanmu pengen buktike langsung ngono? (Terus maksud kalian ingin membuktikan langsung begitu?)” Tanya Ki wongso lagi dengan sorot mata tajam.
“Nggih, Ki (Iya, Ki)” Sahut mereka serempak.
“Kui jenenge kowe kabeh nglecehke Sundari. Jajal yen kowe duwe anak wedok terus dikon buka klambine ning ngarepe wong akeh ngene opo kowe lilo?
(Itu namanya kalian melecehkan Sundari. Coba jika kalian punya anak perempuan terus disuruh buka bajunya di depan orang banyak seperti ini apa kalian rela?)” Ucap Ki Wongso seketika membungkam para warga, sedangkan Suprapti semakin tersedu.
“Wes ngene wae, aku sing mlebu karo perwakilan salah siji warga sing wadon wae sing arep buktike. Kowe kabeh nunggu ning kene. Ayo Sumi melu aku!
(Sudah begini saja, aku yang akan masuk bersama perwakilan salah satu warga perempuan saja yang akan membuktikan. Kalian tunggu di sini. Ayo Sumi ikut aku!)”
Ucap Ki Wongso memberi solusi sekaligus mengajak salah satu warga perempuan yang ikut di kerumunan itu untuk membuktikan ada atau tidaknya tanda yang mereka curigai di punggung Sundari.
Sebelum masuk ke dalam rumah, terlebih dahulu Ki Wongso menghampiri Suprapti dan berbicara dengannya.
“Prapti, aku jaluk idimu kanggo buktike omongan warga. Tulung kowe melu mlebu lan ngomong karo Sundari (Prapti, aku minta ijinmu untuk membuktikan omongan warga. Tolong kamu ikut masuk dan bicara dengan Sundari)” Ucap Ki Wongso.
Dengan berat hati terpaksa Suprapti memberikan ijin kepada Ki Wongso dan Sumi untuk melihat punggung Sundari. Semoga apapun yang mereka lihat, mereka bisa memberikan sikap bijaksana kepada Sundari.
Semoga mereka bisa menahan warga supaya tidak mencelakai anak kesayangannya itu. Sedangkan Sundari yang sejak tadi ikut mendengarkan dari dalam kamar pun ikut gelisah.
Jika mereka melihat punggungnya benar-benar ada tanda itu, maka nasib buruk pasti akan menimpanya dan ibunya. Sempat dia berpikir untuk kabur melalui jendela kamarnya, namun dia urung melakukannya, sebab dia khawatir warga akan mencelakai ibunya jika dia melarikan diri.
Tok tok tok
Terdengar pintu kamarnya diketuk pelan dari luar. Sundari semakin merasa gelisah dan takut. Sejenak dia menenangkan diri sebelum membuka pintu kamarnya. Dia sudah pasrah dengan apapun yang terjadi nantinya. Yang terpenting tidak terjadi hal buruk apapun kepada ibunya
Setelah pintu kamar terbuka, Suprapti terlebih dahulu masuk ke dalam kamar sundari, sedangkan Ki Wongso dan Sumi masih menunggu di depan kamar.
“Ndari sudah dengar semuanya, bu. Suruh saja Ki Wongso dan Yu Sumi masuk.” Ucap Sundari sebelum ibunya mengutarakan niat Ki Wongso mewakili warga.
Sejenak Suprapti memeluk Sundari erat dan kembali tersedu. “Sing sabar ya, nduk. Ibu bakal tetep nglindungi awakmu senajan nyawane ibu sing dari ajone. Mugi gusti hyang widhi paring dalan nodheg.
(Yang sabar ya, nduk. Ibu akan tetap melindungimu meskipun nyawa ibu yang jadi taruhannya. Semoga gusti hyang widhi memberi jalan yang terbaik)”
“Nggih, bu. (Iya, bu) Jawab Sundari lirih.
Suprapti mengendurkan pelukannya lalu beranjak keluar kamar untuk menyuruh masuk Ki Wongso dan Sumi. Perlahan mereka berdua pun memasuki kamar. Sundari yang sudah pasrah hanya duduk di bibir amben sambil termenung.
“Nduk, aku karo Sumi sing makili warga arep delok gegermu kanggo buktike omongane warga bener utowo ora yen awakmu duwe tanda toh jiwo iku. Opo awakmu lilo?
(Nduk, aku dan Sumi yang mewakili warga mau melihat punggungmu untuk membuktikan omongan warga bnar atau tidak jika dirimu memiliki tanda toh jiwo itu. apa kamu rela?) Ucap Ki Wongso.
“Kulo lilo, Ki. (Saya rela, Ki)” Jawab sundari lirih.
“Awakmu madhep gedhek, nduk. Prapti, kowe sing buka klambine. Ora usah kabeh, cukup nggon geger wae. Sumi, delok sing cetho!
(Kamu menghadap dinding, nduk. Prapti, kamu yang buka bajunya. Tidak perlu semuanya, cukup bagian punggung saja. Sumi, dilihat dengan jelas!) Ucap Ki Wongso memberi perintah.
Tak menunggu lama, Sundari langsung menggeser tubuhnya dan memposisikan diri menghadap dinding. Suprapti perlahan menyibak baju Sundari di bagian punggung, sedangkan Sumi memperhatikan dengan seksama.
Seluruh bagian punggung Sundari telah terlihat. Sumi melihat dengan sangat teliti tanpa melewatkan sejangkalpun. Usai memperhatikan beberapa menit, Sumi sedikit tertegun lalu menghela nafas panjang.
“Kepiye, Sum? (Bagaimana, Sum?) Tanya Ki Wongso.
“Mboten wonten, Ki. (Tidak ada, Ki)” Jawabnya lirih.
“Piye? Sing cetho nek ngomong! (Bagaimana? Yang jelas kalau bicara!) Tegas Ki Wongso.
Sumi tersentak lalu kembali menjawab dengan gelagapan. “Mboten wonten Ki (Tidak ada, Ki)”
Sundari dan Suprapti yang mendengar jawaban Sumi pun kaget dan heran. Sebab mereka yakin Sundari memang memiliki tanda di punggungnya sejak lahir. Apa mungkin Sumi salah lihat?
Tapi apapun itu, mereka kini merasa lega. Bergegas Suprapti menutup kembali punggung Sundari dengan bajunya, jangan sampai Sumi mengulang melihat lagi dan menemukan tanda itu.
“Kowe wes delok dewe kan? Wes buktike dewe yen ning gegere Sundari ora ono tanda toh jiwo. Saiki awakmu sing ngomong karo warga ning jobo kono!
(Kamu sudah melihat sendiri kan? Sudah membuktikan sendiri kalau di punggung Sundari tidak ada tanda toh jiwo. Sekarang kamu yang menyampaikan kepada warga di luar sana!) Ucap Ki Wongso.
“Nggih, Ki. (Iya, Ki) Ucap Sumi lalu bergegas meninggalkan kamar Sundari.
Ki Wongso juga ikut meninggalkan kamar Sundari. Namun sebelum dirinya berlalu, Ki Wongso terlihat tersenyum kecil dan sempat ditangkap oleh penglihatan Sundari.
“Piye Sum? (bagaimana, Sum?)”
“Ono ora Sum? (Ada tidak, Sum?)”
Riuh suara warga bersahut-sahutan ketika Sumi keluar dari rumah Suprapti.
Mereka begitu penasaran dengan apa yang dilihat Sumi dari punggung Sundari. Bahkan beberapa yang sejak tadi geram sudah mulai mempersiapkan gamannya jika jawaban Sumi memang sesuai dengan yang mereka kira.
“Wes meneng sek! Ben Sumi jelaske opo sing deweke delok! (Sudah diam dulu! Biarkan Sumi menjelaskan apa yang dia lihat sendiri!)” Ucap Ki Wongso tegas yang seketika membuat seluruh warga terdiam.
“Ning gegere Sundari ora ono tanda toh jiwo koyo sing diomongke wong-wong. (Di punggungnya Sundari tidak ada tanda toh jiwo seperti yang dibicarakan orang-orang)” Ucap Sumi.
“Sing bener Sum? (Yang betul Sum?)”
“Opo wis mbok delok tenanan? (Apa sudah kamu lihat betul-betul?)”
“Wah berarti selama iki awake dewek diapusi (Wah berarti selama ini kita dibohongi)”
“Sakjane sopo sing ngawali ujar? (Sebetulnya siapa yang mengawali menyebar berita?”
Riuh warga kembali terdengar. Sebagian masih belum mempercayai ucapan Sumi dan mempertanyakan kembali, sebagian lainnya mulai sadar jika telah termakan berita bohong.
“Wes wes ora usah geger. Sumi wis ngomongke opo sing di delok dewe. Aku saksine sing melu delok gegere Sundari. Pancen ora ono tanda koyo sing kowe kabeh omongke.
Toh jiwo iku ora ono! Kui amung cerita dongeng sing ora kanti kedaden tenan. Ojo gampang kepangan biwara ngayuwara. Saiki podo mulih kabeh kono!
(Sudah-sudah tidak perlu ribut. Sumi sudah menyampaikan apa yang dilihatnya sendiri. Aku saksinya yang ikut melihat punggung Sundari. Memang tidak ada tanda seperti yang kalian maksud.
Toh jiwo itu tidak ada! Itu hanya cerita dongeng yang tidak akan pernah terjadi. Jangan mudah termakan isu yang tidak jelas. Sekarang semuanya pulang sana!)” Ucap Ki Wongso sekaligus membubarkan kerumunan warga.
Perlahan warga pun membubarkan diri dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Meski masih menyisakan ganjalan yang berkecamuk di dalam diri mereka. Pasalnya kejadian mengerikan sekaligus menggemparkan akhir-akhir ini masih belum ada petunjuk apapun mengenai penyebabnya.
Hilangnya warga hampir setiap malam, kejadian pembantaian di tengah hutan, teror yang menyambangi rumah warga dan yang terakhir yang baru saja terjadi salah satu warga diculik sosok lelembut menakutkan yang mereka kenal dengan sebutan jejengklek.
Kesunyian seketika menyergap sisa malam ini sepeninggal warga yang telah kembali ke rumahnya masing-masing. Menyisakan desis hujaman air langit disertai suara-suara makhluk yang tidak begitu jelas entah berada di mana.
Suprapti sedikit merasa lega meski rasa heran tak juga luruh dari benaknya. Sebab sebelumnya sangat jelas sekali ada tanda titik hitam yang sekarang mulai memerah di punggung Sundari. Namun ketika tadi Ki Wongso dan Sumi memeriksanya, tanda itu tiba-tiba sirna tanpa bekas.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Sundari. Bahkan sebelumnya dia sudah pasrah dengan perlakuan apapun oleh warga usai mereka mengetahui akan adanya tanda itu. Entah bagaimana semua itu urung terjadi.
“Aku oleh ngomong karo kowe lan Sundari, Ti? (Aku boleh bicara denganmu dan Sundari, Ti)” Ucap Ki Wongso yang tidak ikut pulang sedikit membuyarkan lamunan Suprapti.
“Nggih, Ki. Monggo mlebet mawon. (Iya, Ki. Mari masuk saja)” Jawab Suprapti sembari mengajak masuk Ki Wongso ke dalam rumahnya.
“Monggo pinarak rumiyin, Ki. Kulo celuk Sundari riyin. (Silahkan duduk dulu, Ki. Saya panggil Sundari dulu)” Suprapti mempersilahkan Ki Wongso untuk duduk lalu bergegas menuju kamar Sundari.
“Lungguh kene, nduk. (Duduk sini, nduk)” Ucap Ki Wongso ketika melihat Sundari dan Suprapti keluar dari kamar.
Tanpa menjawab apapun kedua perempuan itu pun duduk di hadapan Ki Wongso.
“Sejatine aku wus ngerti kabeh opo kang iro alami. Semono ugo babagan tanda sing ono ning gegermu. Nanging aku njarag nutupi netrane Sumi supayane ora weruh nggunakake digdayaku supayane ora dadi kisruh lan geger.
(Sebetulnya aku sudah tahu semua apa yang kamu alami. Begitu juga tentang tanda yang ada di punggungmu. Tapi aku sengaja menutup penglihatan Sumi menggunakan kemampuanku supaya tidak terjadi ribut dan rusuh) Ucap Ki Wongso.
Suprapti dan Sundari seketika tersentak usai mendengar ucapan Ki Wongso itu. Mereka tidak menyangka bahwa ternyata Ki Wongso sudah mengetahui perihal keanehan Sundari.
Dan yang semakin mengejutkan, ternyata Ki Wongso-lah yang menolong Sundari tadi dengan cara menutup penglihatan Sumi supaya tidak bisa melihat adanya tanda di punggungnya. Namun merka bertanya-tanya apa tujuan Ki Wongso menolong Sundari.
Dan siapa pula yang memberi tahu Ki Wongso perihal keanehan Sundari. Apa mungkin Damar? Tapi rasanya tidak mungkin, sebab Sundari paham betul bagaimana Damar.
Dia tidak akan membocorkan rahasia apapun yang dia janji untuk menjaganya, meskipun kepada orang tuanya sendiri, dan Sundari mempercayai itu.
“Nyuwun pangapunten, Ki. Saking sinten Ki Wongso ngertos? (Mohon maaf, Ki. Dari mana Ki Wongso mengetahuinya)” Ucap Sundari lirih.
Ki Wongso tersenyum tipis lalu kembali berucap. “Aku wis ngerti suwe, kawit awakmu isih piyik. Bapakmu kang cerita karo aku. Aku sudah tahu sejak lama, Sejak kamu masih sangat kecil. Bapakmu yang cerita kepadaku)”
“Bapakmu kui sejatine ora wong sembarangan, nduk. Duwe digdaya kang murdha. Diwedeni bongso lelelmbut. Nanging kabeh digdayane kui diuwalake nalika ngrabeni ibumu lan milih urip prasaja.
(Bapakmu itu sebetulnya bukan orang sembarangan, nduk. Punya kekuatan yang sangat besar. Ditakuti bangsa lelembut. Tapi semua kekuatannya itu ditinggalkan ketika menikahi ibumu dan memilih hidup sederhana)” Sambungnya.
“Nanging jaman biyen bapakmu tau keno welak nalika ngalahake gegedhug lelembut. Deweke diwalak bakal duwe keturunan kang bakal dadi nganten narapati lelembut lumantar tenger toh jiwo.
(Akan tetapi jaman dulu bapakmu pernah terkena kutukan ketika mengalahkan pimpinan bangsa lelembut. Dia dikutuk akan memiliki keturunan yang akan menjadi pengantinnya raja lelembut melalui tanda toh jiwo)”
Sundari dan Suprapti kembali tersentak. Jadi cerita toh jiwo itu memang bukan bualan semata. Cerita itu nyata dan terjadi kepada Sundari sendiri. Perasaan campur aduk berkecamuk di dalam benak kedua perempuan itu.
“Nuwun sewu, Ki. Nanging menopo Kangmas Sarto mboten nate cerita babagan puniku kaliyan kulo? (Mohon maaf, Ki. Tapi kenapa Kangmas Sarto tidak pernah cerita perihal itu (masa lalunya) kepada saya?)” Ucap Suprapti.
“Iki yen tak critake kabeh yo dowo. Nanging ora ono salahe kowe kabeh ngerti. Tur eneh Sarto utowo Mandaka wes tau pesen karo aku yen wis wancine, kowe lan Sundari kudu ngerti mongso lawase deweke.
(Ini kalau diceritakan semua ya bakal panjang. Tapi tidak ada salahnya kalian semua tahu. Lagi pula Sarto atau Mandaka sudah pernah berpesan kepadaku kalau sudah waktunya, kamu dan Sundari harus tahu masa lalunya.) Ucap Ki Wongso.
“Wong sing mbok kenal jenenge Sarto kang dadi bojomu lan bapake Sundari iku biyene duwe jeneng Mandaka Birawa. Mandaka iku duwe trah Birawa, salah sawijine trah seko Dhatulaya Amandhika. Nanging kawit cilikane, Mandaka ora seneng urip ning antapura.
Mandaka milih meguru kaliyan Resi Wisesa nyinauni kanuragan lan kawasisthan ning tengah alas sak walike alas kidul. Aku ugi meguru kaliyan Resi Wisesa nanging isih sak adine mandaka.
(Orang yang kamu kenal sebagai Sarto yang menjadi suamimu dan bapaknya Sundari itu dulu memiliki nama Mandaka Birawa. Mandaka itu punya trah Birawa, salah satu trah dari Kerajaan Amandhika. Tetapi sejak kecil, Mandaka tidak menyukai hidup di istana.
Mandaka memilih berguru dengan Resi Wisesa mempelajari ilmu kanuragan dan kebijaksanaan hidup di tengah hutan di balik alas kidul. Aku juga berguru dengan Resi Wisesa tapi sebagai adik seperguruannya.)”
Ki Wongso menghentikan ceritanya sejenak lalu menyesap wedang rempah yang sudah mulai mendingin.
“Mandaka dadi murid sing paling pinter lan migunani. Kabeh ilmu kang diajarke iso dikuwasani kanthi sampurna. Nalika rampung meguru, Mandaka pamit nglelana kanggo nyebarake kawasisthan lan numpas angkara embuh iku seko menungsa utawa lelembut.
Aku melu ndherekake Mandaka senajan ilmuku durung sampurna.
(Mandaka menjadi murid yang paling pintar dan berguna. Semua ilmu yang diajarkan bisa dikuasai dengan sempurna. Ketika selesai berguru, Mandaka pamit untuk berkelana untuk menyebarkan kebijaksanaan dan menumpas kejahatan, entah itu dari manusia maupun lelembut.
Aku pun mengikuti Mandaka meskipun ilmuku belum sempurna.)”
“Ora perlu tak ceritake kepiye sepak terjange Mandaka. Sing cetho bongso lelembut keweden yen ketekan Mandaka. Sebab Mandaka iso nganguske lelembut kanthi gampang senajan iku gegedhuge.
(Tidak perlu kuceritakan bagaimana sepak terjang Mandaka. Yang jelas bangsa lelembut ketakutan jika kedatangan Mandaka. Sebab Mandaka bisa menghanguskan lelembut dengan mudah meskipun itu pimpinannya)”
“Cekak wicacarita, salah sijine gegedhug lelembut tau sumbar yen suk Mandaka bakal duwe turunan kang bakal dadi ngantene narapati lelembut. Deweke nyebut iku walak toh jiwo. Nanging Mandaka ora percaya lang nganggep sumbaring lelembut iku amung ucap kangge weweden bae.
(Singkat cerita, salah satu lelembut pernah sumbar bahwa suatu saat nanti Mandaka akan mempunyai keturunan yg akan jadi pengantinnya raja lelembut. Dia menyebut itu sebagai kutukan toh jiwo. Tetapi Mandaka tdk percaya dan menganggap ucapan lelembut itu hanya untuk menakuti saja)”
“Sawijining dino, nglelananing Mandaka nganti ing deso iki. Lan kapeneran aku ugo asli seko deso iki. Nalikaning aku ngajak Mandaka mampir ing griyane rama lan biyung, Mandaka weroh wong wadon ayu lan lalita yoiku awakmu, Prapti.
Mandaka nulya kesengsem karo kowe. Nulya nyengaja ngrabeni awakmu lan nuwalake kadigdayane anjur dadi wong kang prasaja.
(Suatu hari, pengembaraan Mandaka sampai di desa ini. Dan kebetulan aku juga asli berasal dari desa ini. Ketika aku ngajak Mandaka mampit ke rumah Ayah dan Ibuku, Mandaka melihat perempuan cantik dan molek yaitu dirimu, Prapti.
Mandaka kemudian jatuh cinta denganmu. Kemudian berniat menikahimu dan meninggalkan semua kekuatannya lalu menjadi orang sederhana)”
“Nemaha Mandaka lan awakmu dhaup lan urip bebrayan koyo sing diarep. Nanging nalika awakmu mbobot, Mandaka entuk ngelamat olo. Ngelamat iku nemaha kedaden tenan nalika Sundari lair. Yoiku anane tenger toh jiwo ning gegere.
Mandaka criyos arep golek cara kanggo ngruwat awakmu seko welak iku. Aku wis naring menggak sebab Mandaka wis ora duwe kadigdayan. Nanging deweke nekat, nemaha kepaten koyo sing awakmu ngerteni.
(Akhirnya Mandaka dan kamu menikah dan hidup berumah tangga seperti yang diharapkan. Tapi ketika kamu hamil, Mandaka mendapatkan firasat buruk. Firasat itu akhirnya benar-benar terjadi ketika Sundari lahir. Yaitu adanya tanda toh jiwo di punggungnya.
Mandaka cerita ingin mencari cara untuk membebaskanmu dari kutukan itu. Aku sudah berusaha mencegah sebab Mandaka sudah tidak memiliki kekuatan. Tapi dirinya nekat, akhirnya tewas seperti yang kalian ketahui)”
Sejenak Ki Wongso terdiam lalu menghela nafas. Nampak jelas terlihat raut kesedihan dari ekspresinya.
“Banjur sakniki kepripun, Ki? Nopo kulo kedah lungo saking deso niki? (Lantas sekarang bagaimana, Ki? Apa saya harus pergi dari desa ini?)” Ucap Sundari.
“Ora perlu. Aku wis ngerti carane ngaruwat awakmu seko welak iku. Yoiku nganggo pusoko keris kembang maya. Damar wis tak kei dedamel kanggo golek keris kui nggunake pitedha kang wis kaweruh.
(Tidak Perlu. Aku sudah tahu caranya membebaskanmu dari kutukan itu. yaitu menggunakan pusaka keris kembang maya. Damar sudah kutugaskan untuk mencari keris itu menggunakan petunjuk yang sudah diketahui)”
“Perkoro kepiye nasib warga deso iki, awakmu ora perlu narnaran. Aku sing bakal nglindungi seko anceman lelembut alas kidul sing lagi golek wadal kanggo ngedaake narapati lelembut iku.
(Tentang bagaimana nasib warga desa ini, kamu tidak perlu khawatir. Aku yang akan melindungi dari ancaman lelembut alas kidul yang sedang mencari tumbal untuk membangkitkan raja lelembut itu). Ucap Ki Wongso lagi menjawab kekhawatiran Sundari yang bahkan belum terucap.
Usai bercerita panjang lebar dan meyakinkan Suprapti serta Sundari, Ki Wongso pun berpamitan. Sedikit kelegaan mulai dirasakan oleh keduanya. Meski belum sepenuhnya menjamin mereka akan terbebas dari nasib buruk ini.
Setidaknya sedikit harapan mulai terbangun dan mereka juga berharap secepatnya Damar dapat menemukan keris pusaka kembang maya itu untuk membebaskan Sundari dari kutukan toh jiwo.
Di sisa malam yang tinggal seperempatnya ini Sundari merenung seorang diri di dalam kamarnya. Pikirannya melayang jauh ketempat Damar kini berada. Tanpa dia ketahui, ternyata Damar sedang berjuang untuk membebaskannya dari kutukan itu.
Dia berharap Damar akan baik-baik saja dan segera menemukan pusaka yang dimaksud itu. Rasa rindu yang tak terkira pun seketika membuncah dari dalam sanubarinya.
***
Di Sudut Sebuah Taman Kota, Di Penghujung Tahun 2004
Senja ini begitu layu. Kelabu langit bulan hujan enggan merangkak. Matahari pun malas teriak. Dan cakrawala masih terlelap.
Langkahku gontai meninggalkan kantor yang seharian menguras isi otakku. Segera kembali ke rumah dan merebahkan tubuh adalah impian terbesarku hari ini.
Tapi isi kepalaku telah jauh menerawang menembus batas mimpi. Tersesat entah kemana. Langkah masih kupacu, hingga tiba aku di mulut taman ini. Sesaat aku berhenti, memandang kursi di sudut taman yang membeku.
Seperti kebekuanku pada diriku sendiri. Aku masih termangu ketika langkahku kembali merayap menuju sudut taman ini. Aku masih malas untuk berfikir mengenai apa yang sedang kulakukan. Ku ikuti saja arah angan dan pandangku.
Bulan hujan, kekasih
Mengecap hari-hari
Semakin membawa inginku untuk membasuh wajahmu
Langkah-langkah ini membiru
Membawa titik akhir pada pertikaian
Apa kau masih di sini
Memeluk rembulan dalam redup kabut
Sayu wajah menghias kelam
Mendendang syair pada malam-malam bulan hujan
Bulan hujan, kekasih…
Kubunuh raguku untuk berdatang
Menjawab rindu dalam teriak serdadu
Selalu kubawa detik-detik dirimu
Untuk dihenti oleh satunya kita
Anganku masih saja berlari seusai aku mengucap sajak itu. Mendadak aku tergagap ketika kulihat sosok perempuan yang keluar dari balik semak.
Perempuan itu begitu anggun dengan balutan kebaya putih bersih, dengan tariannya yang melenggang mampu membius seisi taman untuk memandang dan mengaguminya.
Baca: Cerita Horor Wangi Pandan
Mungkinkah dia hantu yang selama ini dibicarakan orang? Aku rasa tidak mungkin. Di jaman yang serba komputer apa masih ada hantu? Jika dia memang hantu, apa mungkin bias secantik dan seanggun ini.
Dia masih saja menari di depanku hingga membuat aku tak mampu bergerak. Sesaat dia berhenti. Memandangku yang masih duduk di sini, lalu kembali menari. Aku jadi tak mengerti. Apa dia tak melihatku atau tak mau memperdulikan kehadiranku di sini.