Blog Detail

  • Home
  • Cerita Horor Langgar Tanah Tulah

Cerita Horor Langgar Tanah Tulah

SlotRaja777 – “Ada yang menghuni bangunan bekas langgar itu, tapi bukan manusia. Pagar bambu kuning sengaja ditanam di sana agar makhluk itu tidak keluar…”

Cerita ini sebenarnya sudah cukup lama diceritakan oleh narasumber yang merupakan warga setempat. Namun ternyata saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menyusun cerita ini agar bisa menjadi sebuah cerita untuk dibagikan.

Sebelumnya saya sampaikan terlebih dahulu bahwa tidak ada niat dari cerita ini untuk menyinggung pihak, agama, atau siapapun. Murni sebagai penggambaran cerita sang narasumber saja.
Mohon terima cerita ini sebagai hiburan saja dan diambil baiknya saja.

Selamat membaca..
PROLOG

“Asih! Pulang! Sudah Maghrib!” Teriak seorang ibu yang memanggil anaknya untuk segera pulang sebelum matahari terbenam.
“Iyo, Bu. Sebentar! Aku panggil Didit dulu!” Teriak Asih yang menyempatkan diri untuk memanggil teman mainnya yang sedari tadi bermain petak umpet bersamanya.
Asih berteriak memanggil nama Didit, namun tak ada jawaban. Asih mengira Didit masih bersembunyi karena menganggap permainan belum selesai.

“Dit! Ayo pulang! Aku sudah dipanggil ibu!” Teriak Asih. Walau begitu, sama sekali tidak ada jawaban dari Didit.
Asih terus mencari ke kebun hingga lapangan, namun tidak menemukan Didit. Ia pun memutuskan untuk pulang mengira Didit sudah pulang lebih dulu karena disuruh orang tuanya.

Namun sebelum sempat untuk kembali, Asih melihat sesuatu yang tidak biasa ia lihat.
Ada seseorang di sebuah langgar yang sudah lama tidak digunakan untuk beribadah. Ia mendekat dan melihat Didit berada di sana.

“Dit! Ngapain kamu disana, Dit! Kan ndak oleh dolan mrono!” Teriak Asih sambil segera menghampiri Didit untuk mengajaknya keluar.
Saat itu langit sudah memerah. Ia melihat langgar yang sudah tua itu benar benar sudah rapuh seolah bisa hancur kapan saja. Ia melihat Didit berdiri di sana menatap langit-langit ruangan kecil yang sangat rapuh itu.
Wajah Didit pucat. Ia menoleh ke arah asih dengan tubuh gemetar.

“Tolong aku, Asih…”

Mendengar itu, Asih mendekat dan melihat langit-langit langgar. Saat itu seketika asih terjatuh dengan tubuh yang lemas.
“Dit.. i—itu apa, Dit!” Ucap Asih gemetar.

Ia melihat mayat-mayat dengan sisa kafan merayap di langit-langit bangunan itu. Didit terlihat ketakutan dan menangis, Asih baru sadar ada makhluk serupa yang mencengkeram kaki Didit dan menggigitinya.

“Dit! Lari, Dit!” Teriak Asih.
Asih benar-benar ketakutan, tubuhnya gemetar. Namun di ujung ketakutannya itu tiba-tiba ia mendengar langkah seseorang.

“Asih?! Ngapain di sini? Kan nggak boleh main di sini?”
Asih menoleh dan mendapati Didit ada di belakangnya. Ia kembali menoleh ke arah langgar itu, dan ia tak melihat apapun selain bangunan tua yang sudah tak terurus.

“Dit? Ka—kamu?” Asih masih terlihat bingung.
“Mukamu pucet banget. Ngeliat apaan?” Didit yang curiga menatap ke arah langgar itu. Saat itu aku berusaha untuk berdiri dan buru-buru mengajak Didit meninggalkan tempat itu.
“Wis, Dit! Mulih cepet!” Perintahku.
“Kamu ngeliat yang aneh-aneh ya?”
Asih hanya mengangguk tanpa berani berkata apapun. Sepertinya Didit juga merasakan perasaan yang tidak nyaman sehingga tidak berani bertanya macam-macam.
Saat sudah cukup jauh, Didit masih sesekali menoleh ke arah langgar yang sudah hampir tak terlihat dari mata kami.
“Eyangku pernah main ke desa ini, dia ngeliat langgar itu dan langsung merinding. Katanya jangan dekat-dekat ke langgar itu kalau malam. Katanya itu bukan tempat untuk manusia lagi…”

***
KELUARGA TUAN TANAH

“Pati! Bis nomor tiga, Pati!”
Suara seorang kernet terdengar berteriak di tempat peristirahatan bus malam.

Aku yang sudah selesai dengan makan malamku segera kembali ke bis dan melanjutkan perjalanan menuju kampung halamanku, Pati.
“Lama banget di bawah, Mar? Ngapain dulu.” Tanya Dewa yang lebih dulu masuk ke dalam bus sebelum diriku.

“Ngelurusin kaki, Wa. Pengap tau di bus terus.”
Balasku yang memang sudah cukup merasa lelah dan pengap setelah perjalanan dari jakarta hingga tempat peristirahatan bus malam di wilayah Gringsing ini.

Aku Damar… Damar Wicaksana. Cuma seorang karyawan yang baru saja habis kontrak. Bukan berarti kami pengangguran,
hanya saja perusahaan baru memulai proyeknya kembali di dua hingga tiga bulan kedepan. Kupikir daripada aku harus tinggal di jakarta tanpa penghasilan, lebih baik aku menggunakan kesempatan ini untuk pulang kampung setelah sekian lama.
Sudah lima tahun aku tidak pulang ke Pati. Walau kantorku berada di ibukota, kontrak kerjaku memaksaku untuk berkeliling ke tempat-tempat yang cukup jauh. Selama ini aku hanya bertukar kabar dengan bapak dan ibu melalui surat.
Sesekali aku menelepon melalui wartel, itupun aku hanya bisa menelepon ke rumah pak RT yang memiliki telepon dan mereka yang akan membantu memanggil ibu.
Aku pulang bersama Dewa. Dia teman kantorku yang cukup dekat dan senasib denganku.
Saat mengetahui aku ingin pulang ke Pati, ia merengek ingin ikut. Dewa hidup sebatang kara. Keluarganya sudah tidak ada sejak ia kecil, ia pikir akan lebih menyenangkan bila ikut denganku daripada harus sendirian di Jakarta.
“Kamu kok bisa lima tahun nggak pulang, Mar. Nggak kangen orang tuamu?” Dewa memperhatikanku yang tengah memperhatikan foto bapak dan ibu di dompetku.
“Yo kangen to, Wa. Tapi aku kan tetep harus kerja biar adik-adikku bisa sekolah dan kebutuhan mereka tercukupi. Tau sendiri kerjaan kita kayak gimana?” Balasku.
“Ya, iya sih. Tapi kalau aku masih punya keluarga, aku pasti milih buat tinggal sama mereka apa adanya. Yang penting aku deket sama mereka..” Balasnya sambil menutupi tubuhnya dengan jaket dari angin yang masuk melalui jendela bis.
Aku mengerti maksud Dewa. Untuk ia yang hidup sebatang kara, keluarga menjadi sesuatu yang sangat berharga untuknya. Mungkin ia belum mengerti bahwa melihat ibu dan adik-adiknya menangis kelaparan itu lebih pedih dari apapun.
Menjelang subuh bus sudah terparkir di terminal. Sebagian penumpang segera turun dan sebagian masih tertidur menunggu fajar terbit dan angkutan umum mulai beroperasi.
Aku dan Dewa memilih untuk bergegas menurunkan barang dan menikmati kopi sejenak di pinggir terminal sambil menunggu angkutan umum.
“Khasnya di sini opo, Mar?”
“Nasi Gandul. Udah pernah nyoba?”
“Belum, baru ini aku ke Pati..”
Baru saja kami menghabiskan kopi kami, angkutan umum menuju desaku sudah datang.
Aku dan Dewa pun memasuki mobil tua itu disusul dengan para pedagang-pedagang pasar yang tengah berjuang untuk memulai paginya.
Suasana jalan masih begitu sepi, langit masih gelap.
Namun sudah ada beberapa orang bersepeda membawa dagangannya dan orang-orang yang berjalan ke masjid untuk sholat subuh.

Aku dan Dewa turun tepat di hadapan sebuah gapura desa yang sebenarnya jaraknya masih beberapa ratus meter untuk sampai ke rumah pertama di desaku.
Ada sebuah pos di dekat gapura yang sudah begitu tua yang biasa digunakan warga untuk menunggu angkutan umum.

“Aku lupa nanya, rumahmu udah ada listrik kan? Kelamaan hidup di jakarta sampai lupa kalau banyak desa yang belum kebagian listrik..”
Tanya Dewa yang menyadari gelapnya jalan kami menuju desa. Apalagi ia juga melihat rumah-rumah yang masih menggunakan lampu minyak sepanjang perjalanan tadi.
“Sudah, Wa. Rumah depan sudah dapet listrik. Paling nanti pakai lampu minyak kalau ke kamar mandi belakang sama bangunan belakang saja,” Balasku.
Aku berharap Dewa tidak kesulitan dengan kondisi rumahku.
Saat aku menunggu respon dari Dewa, tiba-tiba aku menyadari bahwa Dewa tak lagi berjalan bersamaku. Aku menoleh dan melihat ia terdiam menatap ke satu titik.
Wajah Dewa tiba-tiba terlihat pucat dengan raut wajah yang ketakutan.
Namun entah mengapa ia terus menatap ke sana seperti penasaran.

“Wa?” ucapku.

“Mar.. itu bangunan apa?” Tanya Dewa Ragu.
Aku menoleh ke arah Dewa menatap. Di sana terlihat sebuah bagunan tua yang tak lagi digunakan.
“Dulunya itu langgar, Wa. Mushola. Tapi sudah lama tidak digunakan lagi.”

Aku ingat sewaktu aku kecil dulu, langgar itu adalah satu-satunya tempat warga desa bisa beribadah.
Dulu, masjid terdekat ada di desa lain yang jaraknya hampir setengah jam perjalanan. Hanya langgar inilah yang bisa dimanfaatkan oleh warga desa untuk sholat.

“Pergi, Mar! Kita nggak boleh ada di sini!” ucap Dewa tiba-tiba.
Ia buru-buru mengajakku untuk mempercepat langkah. Sebenarnya aku ingin protes dan memintanya untuk tenang. Tapi saat itu aku pun merasakan perasaan yang aneh.

“Cepet!” Teriak Dewa.
Sayangnya aku yang penasaran malah menoleh ke belakang. Saat itulah aku melihat seseorang berjalan dalam gelap keluar dari langgar menuju jalan. Namun saat aku melihat dengan lebih jelas, aku yakin itu bukanlah manusia.
Apa yang kulihat adalah makhluk yang terbungkus kain kafan tanpa kepala….

Apa yang sebenarnya terjadi?

Apa makhluk itu yang Dewa lihat hingga wajahnya sepucat itu?
Aku pun berjalan semakin cepat menuju arah rumah. Walau sudah berusaha menjauh, Dewa terus memaksa untuk berjalan dengan lebih cepat, kami merasa bahwa makhluk itu masih berada di sekitar kami.

“Rumahmu masih jauh? Kalau nggak sempet gedor rumah orang aja, Mar!” ucap Dewa.
“Lu—lumayan, Mar. Tapi nggak sampai lima menit!” ucapku yang juga semakin cemas.

Sesekali aku tak sengaja melihat pantulan kaca dari jendela rumah di dekatku, dan wujud setan tanpa kepala itu terus terlihat sejauh apapun kami melangkah.
Kami tak tahu apa yang terjadi, namun aku merasa bahwa nyawa kami terancam.

Deggg!

Di tengah kekalutan kami, tiba-tiba terdengar suara adzan subuh berkumandang dari masjid di ujung desa. Saat itu Dewa memelankan langkah kakinya dan mulai mengatur nafasnya.
Perasaan aneh itu hilang seketika.

“Mar, jangan langsung ke rumahmu. Kita Sholat dulu sebentar.” Ajak Dewa.

Aku mengangguk setuju sekaligus menunjukkan satu-satunya masjid di desa kami yang sedikit berjarak dari rumah.
Aku pun menceritakan bahwa kemungkinan langgar itu sudah tidak digunakan karena memang sudah ada masjid di desa. Setidaknya itulah alasan yang kami warga desa tahu.

“Mas Damar? Mas Damar kan?” Sapa seorang bapak yang wajahnya tidak asing bagiku.
“I—iya, Pak Rusman.”

“Kapan sampai?”

“Barusan, tadi sampai sebelum subuh. Jadi sholat subuh dulu sebelum ke rumah.”

“Alhamdulillah. Mampir ke rumah, sudah lama nggak ketemu. Fitri nanyain kamu tuh.”
“Pak Rusman bisa aja. Iya, pak. Pasti saya mampir ke rumah..”

Pak Rusman pun berpamitan dan aku menyelesaikan sholatku bersama Dewa. Saat sudah merasa cukup tenang barulah aku mengajak Dewa menuju ke rumah.
Seorang perempuan yang sudah berumur mengenakan kebaya sederhananya terlihat sibuk menyapu daun-daun kering yang berserakan di halaman rumah.

Tubuhnya sudah sedikit bungkuk, namun terlihat ia masih semangat melanjutkan kesehariannya.
“Assalamualaikum…”

Aku sengaja tidak mendekat dan hanya menyapa ibu dari jauh. Saat itu ibu menyipitkan matanya dan menghampiriku.
“Waalaikumsalam…” Ibu membalas salamku ku sambil menyipitkan matanya. Tak jelas memandang siapa yang ia lihat, ia pun mendekat dan samar-samar mulai mengenaliku.

“Damar? DAMAR?!!!”
Seketika wajah ibu berubah. Ia melemparkan sapunya dan buru-buru memelukku. Aku membalas pelukannya namun ibu lebih memilih untuk membagi kebahagiaannya.

“Bapak!! Bapak!! Damar Mulih!!!” Teriak ibu buru-buru kembali ke rumah tanpa mau melepaskan tanganku.
Aku menoleh pada Dewa yang terlihat tersenyum kecil menikmati pemandangan haru ini dan memberi isyarat untuk mengikuti kami.

“Opo to, Bu. Kok teriak-terika..” ucap Bapak yang masih mengenakan sarungnya keluar dari rumah.
“Masya Allah…” Bapak yang menyadari kedatanganku pun buru-buru menghampiriku. Tidak seperti ibu yang memelukku, Bapak hanya mengusap-usap bahuku sambil membantu membawakan tasku.

“Ndak usah, Pak. Damar bisa bawa sendiri.. dikit kok!”
“Ya sudah ayo cepet masuk! Temenmu diajak juga!” Ucap Bapak yang menyempatkan menyapa Dewa dengan singkat.

Aku menatap kondisi rumah yang sudah kutinggalkan sejak lima tahun yang lalu. Hampir tidak ada yang berubah selain televisi di bifet tua yang sudah diganti dengan televisi berwarna.

“Mas Damar?!!” Suara anak perempuan berlari menghampiriku dan salim padaku.
“Ya Ampun, Gendis. Kamu sudah besar saja!” Balasku.

“Masak mau kecil melulu, Mas! Aku bikinin kopi ya, Mas! Sebentar!” Ucapnya yang buru-buru berlari ke dapur.
Aku mempersilahkan Dewa duduk dan beristirahat sejenak sementara Gendis membuatkan kopi untuk kami. Perbincangan yang cukup panjang pun terjadi mulai dari memperkenalkan Dewa dan menceritakan bagaimana kami bertahan hidup dengan pekerjaan kami.
Dewa dengan mudah bisa akrab dengan Bapak dan Ibu. Terlebih kedua orang tuaku sangat penasaran dengan pekerjaanku dan kehidupan kami selama merantau.
Gendis mengantarkan tiga gelas kopi dan gorengan seadanya. Setelahnya ia duduk di sebelahku seolah sudah lama menanti kedatanganku.

“Mas Dewa, anggap rumah sendiri saja ya. Teman Damar kita anggap keluarga di sini.” Ibu menyambut Dewa.
“Nanti biar diajak jalan-jalan sama, Damar. Warga sini baik-baik, kok.” Tambah Bapak.

“Iya, Pak.. Bu.. Matur nuwun. Ijin ngerepotin.”

Setelah momen kangen-kangenan itu, aku pun masuk ke kamar.
Kamarku cukup besar dan karena aku pulang tanpa kabar, ibu buru-buru membersihkan kamarku seadanya.

“Yang kita lihat di langgar tadi subuh itu apa ya, Mar?” Tanya Dewa sambil membereskan barang-barangnya.
“Nggak tahu, Mar. Anggap aja sambutan buat orang baru.” Mencoba tidak ingin membuat Dewa merasa cemas.

Faktanya, aku sendiri tidak menyangka akan melihat hal seperti itu di kampung halamanku sendiri.
Apalagi di sebuah langgar yang saat aku kecil masih digunakan oleh warga desa untuk beribadah.

Langgar itu hanya sebuah mushola kecil yang berukuran empat kali lima meter. Mungkin hanya muat untuk lima orang sholat berjamaah di sana.
Sewaktu aku kecil, warga desa lebih banya menganut kejawen sehingga belum banyak umat muslim. Pagi itu aku mengajak Dewa berkeliling desa sambil mencari sarapan. Aku ingat ada warung pecel di dekat pasar.

Dulu ibu sering mengajakku ke sana setiap pulang dari pasar.
“Mas Damar? Lama banget nggak keliatan!” Sambut Mbok Yum sambil membuat pecel pesananku.

“Iya, Mbok. Kejauhan nyari rezekinya..” Balasku sambil menerima seporsi pecel yang disiapkan dengan cepat oleh Mbok Yum.
“Mbok Yum! Aku tambah lagi, ya!” Ucap Dewa tiba-tiba. Aku menoleh, dan pecel di pincuknya hanya tersisa sedikit.

“Heh! Kemana tuh pecel?”

“Dipangan demit! Wis menengo, Mar. luwe aku.
Tenang, aku sing mbayar!” (Dimakan setan! Sudah diam saja. Aku laper. Tenang, aku yang bayar.) Balas Dewa Sambil mengunyah.

Mbok Yum hanya tertawa melihat kelakuan Dewa sambil menyerahkan satu pincuk pecel lagi lengkap dengan tempe gorengnya.
“Pelan-pelan saja, Mas Dewa. Pecelnya masih banyak, Kok..”

“Ndak bisa, Mbok. Pecele sampeyan kelewat puwenak!” (Nggak bisa, Bu. Pecelnya kelewa enak!)

“Bisa aja, Mas Dewa ini…”
Yah, ternyata bukan hanya aku yang menganggap Pecel Mbok Yum adalah pecel terenak. Selama merantau, aku belum menemukan rasa yang bisa menyaingi pecel Mbok Yum.

Tiiin!!

Suara klakson mobil terdengar di keramaian warga yang melintas di jalan.
Seketika warga menyingkir sambil memperhatikan mobil yang melintas itu.

“Ada yang punya mobil bagus juga ya di desamu?” Tanya Dewa.

“Kayaknya itu anaknya Mbah Guru. Itu, yang punya lahan tempat langgar yang semalam kita lihat.”
“Yang punya seorang guru?”

“Dulunya dia kepala sekolah, makannya warga desa manggilnya Mbah Guru. Tapi sudah lama dia nggak aktif.”
Mbah Guru termasuk orang yang terpandang di desaku.
Ia memiliki tanah yang luas di desa, dan tanah kebun yang cukup besar. Saat masih mudanya, ia menjabat sebagai kepala sekolah di SD Impres. Walau begitu, keluarga Mbah Guru cukup berjarak dengan warga desa.
“Dulunya langgar itu diijinkan untuk digunakan warga. Tapi entah saat aku kecil, tiba-tiba langgar itu dipagari dan ditutup. Saat ini cuma dipake sama Mbah Guru dan keluarganya saja..”
Dewa hanya mengangguk dengan tatapan kosongnya.
Sepertinya ia sedang melamunkan sesuatu dari ceritaku.
Selama berada di desa, aku dan Dewa lebih sering ke kebun Bapak. Walaupun tidak begitu besar, kebun ini cukup membantu kami untuk memenuhi kebutuhan sejak aku kecil.
“Kayaknya aku nggak usah kerja, tinggal di sini juga betah, Mar..” Ucap Dewa yang menikmati teh dari termos yang sempat dibawakan Gendis tadi.

“Iya, Wa. Kalau nggak mikir buat naikin derajat keluargaku mungkin aku lebih milih buat tinggal di sini…”
Aku sedikit mengingat bagaimana kehidupan keluargaku saat aku kecil dulu. Ada beberapa keluarga di desa yang merasa kasta mereka lebih tinggi dari kami.

Mereka adalah tuan-tuan tanah yang memiliki kebun dan mempekerjakan banyak orang.
Dulu desa hanya memiliki beberapa sumur. Dan saat musim kemarau hanya sumur di pekarangan milik Mbah Tarmadi yang masih memiliki air.

Selama ini warga mengambil air dari sana tanpa ada masalah. Mbah Tarmadi juga salah satu orang besar di desa,
dan bapak sesekali juga membantu mengerjakan lahannya.

Suatu saat, aku dan ibu sedang mengantri untuk mengambil air di sumur itu. Saat itulah tiba-tiba Mbah Tarmadi berkata dengan ketus.
“Sampai kapan kalian mau mengemis air dari sumur saya?!” Ucapnya dengan memandang rendah kami.
Saat itu warga desa yang mengantri bersama ibu pun bingung. Namun Mbah Tarmadi malah mengusir kami.
“Salah kami apa, pak? Kenapa tiba-tiba kami nggak boleh ngambil air di sini?” Ibu mencoba bertanya dengan sopan.

“Sumur ini milik keluarga Tarmadi! Bukan untuk orang-orang kotor seperti kalian!”
Mendengar ucapan itu aku tahu bahwa ibu sakit hati. Warga desa ingin protes namun mereka tahu bahwa sumur itu ada di tanah milik keluarga tarmadi.

Sumur itu pun akhirnya dipagari oleh Mbah Tarmadi. Hanya beberapa warga yang dekat dengannya lah yang diizinkan menggunakannya.
Salah satunya adalah keluarga Mbah Guru sesama tuan tanah di desa.
Cerita tentang sumur ini belum selesai..
Karena desa sempat krisis air, akhirnya warga desa menemukan solusi dengan memperbesar sebuah punden mata air yang letaknya cukup jauh dari desa.
Dari punden itu dibuatlah jalur aliran air agar bisa mencapai desa. Air dari punden itulah yang akhirnya menjadi sumber air utama warga desa.

Mengetahui warga sudah punya sumber air yang baru dan tak membutuhkan sumur Mbah Tarmadi, Mbah Tarmadi tersinggung.
Entah apa alasannya ia marah-marah dan merasa tidak dihargai. Imbasnya ia yang sebelumnya mempekerjakan warga desa di kebun nya kini lebih memilih mempekerjakan orang luar. Bapak pun terkena imbasnya dan tak lagi bekerja di lahan mereka.
Semenjak kejadian itu aku berjanji, suatu saat aku takkan membiarkan keluargaku dihina lagi. Aku harus bekerja, memberikan kehidupan yang layak untuk orang tuaku dan pendidikan yang layak untuk Gendis.

***
Beberapa hari tinggal di desa, aku benar-benar merasakan perasaan yang nyaman. Jauh dari tekanan dan sama sekali tak memikirkan rasa lelah.

Tingkah laku Gendis, perhatian ibu, dan melihat betapa uletnya bapak di umurnya yang sudah senja membuatku merasa bersyukur.
Apa yang ku perjuangkan selama merantau benar-benar pantas untuk kebahagiaan mereka.

Malam itu bapak menikmati segelas kopi buatan ibu sambil mendengarkan radio di teras rumah. Sesekali aku mendengar suara bapak menyanyikan tembang jawa menikmati suasana sederhana itu.
“Di kota jarang ada suasana sesantai ini, Pak,” ucapku mengambil posisi duduk di samping bapak.

“Ora ono. Sing kerungu mung suara montor to?” (Nggak ada. Yang kedengeran cuma suara kendaraan bermotor kan?)
“Iyo, Pak..” balasku singkat.

Saat itu aku pelan-pelan mengeluarkan sebuah amplop coklat yang cukup tebal dan memberikanya kepada bapak.

“Pak…”
“Opo iki, Le?” (Apa ini, Nak?) Bapak melihat amplop yang kuberikan dan mendapati uang kertas yang cukup banyak di dalamnya.

“Rezeki, Pak. Tabungan Damar.” Balasku.
Saat itu bapak menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.
“Uripmu ning kono piye, Le?”(Kehidupanmu di sana gimana, Nak?) Tanya bapak yang raut wajahnya tiba-tiba berubah.

“Jangan gara-gara kamu mikirin bapak, ibu, sama Gendis, kamu di sana hidup prihatin. Bapak masih sanggup kok cari uang untuk makan dan sekolah Gendis..”
Aku tak menyangka dengan reaksi bapak. Alih-alih senang dengan pemberianku, ia justru khawatir dengan kehidupanku selama bekerja.

“Cukup, Pak. Damar hidup cukup. Damar cuman pengen Bapak dan Ibu bahagia dan Gendis bisa sekolah yang tinggi..” ucapku mengelus tangan bapak.
Aku hampir tak bisa menahan air mataku.
“Tunggu sebentar yo, Le..”

Bapak masuk ke dalam rumah dan tak lama aku mendengar suara ibu yang menerima amplop itu. “Alhamdulillah, Pak..”
Tak lama Bapak kembali keluar dengan sarungnya yang sudah berganti dengan celana panjang.
“Ikut bapak yuk, Le..”
“Njih, pak.”
Bapak mengenakan sandal jepit dan mengajakku berjalan kaki keliling desa.
Bapak tak banyak bicara, dan aku hanya mengikutinya sambil sedikit bernostalgia saat bapak mengajakku jalan-jalan.

Kami sampai di masjid di ujung desa. Bapak menyapa Pak Sastro penjaga masjid sebentar dan mengajakku masuk ke dalam.
Ia menunjukkanku sebuah benda yang tak kumengerti, mengapa bapak memperlihatkannya kepadaku. Sebuah meja pemandi jenazah yang dibuat dengan besi yang kokoh.
“Waktu tahu masjid di desa kita ada meja pemandi jenazah ini, warga desa ada yang nangis. Katanya Alhamdulillah kalau saya meninggal, saya bisa dimandikan dengan layak.
Ada lagi yang bilang, saya hidup sebatang kara. Setidaknya jika saya mati tidak terlalu merepotkan banyak orang..”

Aku mengangguk mendengar cerita bapak itu. Namun aku belum mengerti maksud bapak mengapa menceritakan hal ini padaku.
“Nggak cuma, meja pemandi jenazah ini, Mas. Pos jaga dan lampu-lampu di jalanan desa juga ngebanyak bantu warga..” Sahut Pak Sastro yang tiba-tiba menyusul kami dengan membawakan kopi panas.

“Eh, Pak Sastro…” Sambutku membantunya membawakan nampan berisikan gelas itu.
Kami pun menikmati kopi itu bertiga di selasar belakang masjid.
“Bapak mau minta maaf sama kamu, Le..”
“Mi—minta maaf kenapa, Pak?”
“Bapak minta maaf karena saat kamu pulang ke rumah, rumah kita masih seperti dulu. Tidak menjadi lebih bagus seperti rumah-rumah di kota. Padahal kamu rutin ngirim uang buat bapak..” Jelas Bapak.
Aku tak menyangka bapak berpikir seperti itu.
Mungkin karena ucapanku saat menyerahkan tabunganku tadi pada dirinya.
“Nggak, Pak. Damar ikhlas. Damar nggak mikir begitu.”
Bapak berdiri dan mengelus-elus meja pemandi jenazah itu.
“Meja ini bapak dan warga desa yang bikin, pakai yang yang kamu kirim, Mar..” ucap Bapak.
Aku sedikit terkejut mendengar ucapan bapak.
“Nggak cuman meja ini. Kayak yang tadi pak sastro bilang. Dari uang yang kamu kirim, kami di desa bisa bikin pos jaga dan masang lampu-lampu di jalan biar kalau malam nggak terlalu gelap.”
Aku menarik nafas dan sedikit tersenyum mendengar cerita bapak. Ternyata alih-alih merenovasi rumah, atau meningkatkan taraf hidup. Bapak lebih memilih menggunakan uang kirimanku selama ini untuk warga desa.
“Bapak merasa rumah kita sudah cukup nyaman, dan uang kebutuhan Gendis sudah bapak sisihkan. Sisanya bapak pakai untuk ini…”
“Nggak, Pak. Nggak papa. Damar ikhlas kok ngirimnya. Mau bapak pakai buat apapun, Damar nggak masalah. Apalagi untuk desa..” Balasku yang semakin kagum dengan bapak.
Selama ini bapaklah yang paling sering menanggung malu jika ia dan warga desa direndahkan oleh para juragan-juragan dan tuan tanah. Tidak sepertiku yang ingin membuktikan bahwa kami bisa sederajat, bapak justru menerima hidup yang seperti ini dan tak menaruh dendam.
“Mas Damar di perantauan nggak usah khawatir. Kalau Bapak, Ibu, dan Gendis kenapa-kenapa ada kami warga desa yang akan mengurus. Memang seperti ini kan kehidupan Desa Srimulyo sejak dulu?” Tambah Pak Sastro.

“Nggih, Pak Sastro. Saya paham..”
Malam itu, bapak mengatakan bahwa beliau sangat senang mendapatkan rezeki yang kuberikan tadi.

Alasan bapak menjelaskan tentang ini semua adalah karena bapak dan warga tengah membutuhkan uang.
Mbok Ruh sudah semakin tua, dan hampir tak sanggup lagi pergi ke kali untuk keperluan kamar mandinya.

Bapak menjelaskan bahwa warga ingin membuatkan kamar mandi di belakang rumah Mbok Ruh, namun biayanya cukup besar dan warga kesulitan untuk mengumpulkan uang.
Oleh karena itu, bapak meminta izin kepadaku untuk menggunakan sebagian uang yang kuberikan untuk keperluan tersebut.
Mendengar hal itu, tentu saja aku tidak mungkin menolak. Aku mengenal Mbok Ruh sejak kecil.
ia sering mengajakku ke pasar ketika bapak dan ibu sedang sibuk. Ia sudah seperti saudara kami sendiri. Sebenarnya, tidak hanya Mbok Ruh, aku hampir lupa bahwa hampir semua warga desa ini sudah seperti keluarga.
“Alhamdulillah kalau kamu nggak keberatan, Le..
Pak Sastro, mungkin besok sudah bisa dikerjain ya?” Tanya Bapak ke Pak Sastro.
“Alhamdulillah,Pak. Maturnuwun Mas Damar. Besok saya kerahkan warga..”
Malam itu sekali lagi aku mendapatkan pelajaran hidup dari bapak. Baginya kekayaan yang sebenarnya bukanlah tanah dan bangunan yang dimiliki, tapi saat ia dan orang-orang di sekitarnya bisa hidup nyaman dan layak bersama-sama.

Aku pulang dengan perasaan bangga. Bapak masih mengajakku jalan-jalan menunjukkan lampu-lampu jalanan, pos, dan papan pengumuman yang ia bangun bersama warga desa.

Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba kami melihat seorang anak kecil di pinggir jalan.
Ia terlihat meringkuk dengan gerakan yang aneh.
“Le, wis bengi lho iki. Ndang mulih…” (Nak, sudah malem lho ini. cepet pulang) Bapak mencoba menegur anak kecil itu.
Anak itu pun menoleh ke arah kami. Seketika kami pun tersentak saat melihat mulut anak itu penuh dengan darah.

“Astagfirullahaladzim!” Teriak kami bersamaan.
“Didit?! Ngapain kamu?!” Tanya bapak. Namun saat itu juga Didit malah tertawa terbahak-bahak. Saat kami mendekat ia berdiri dan menjauh dari kami.

“Khkhkhkh…”
Tawanya aneh dan membuat kami merinding. Terlebih saat aku melihat seekor hewan sudah tercabik-cabik bekas dimakan hidup-hidup oleh Didit.

“I—itu apa, Pak?” Tanyaku.
“Marmut. Itu marmut Mbah Guru…”
Menyadari ada yang tidak beres dengan Didit, perasaan takut langsung merambat ke seluruh tubuhku. Kami mencoba mendekatinya, namun Didit tiba-tiba berpaling. Wajahnya penuh darah, dan ia tertawa-tawa yang tidak wajar, menggema di malam yang sepi.
Tanpa peringatan, Didit berlari menjauh, tawanya semakin menggila.
“Kejar! Dia mengarah ke kali!” teriak bapak dengan suara panik.
Kami langsung berlari mengejarnya, namun Didit bergerak dengan kecepatan yang tidak manusiawi.
Langkahnya aneh, seperti tersentak-sentak, namun tetap sulit dikejar. Kegelapan malam dan suara langkah kaki kami yang berpacu semakin menambah kecemasan. Sebelum sampai ke kali, kami tiba-tiba terhenti ketika melihat Didit meringkuk di antara semak-semak,
tubuhnya bergetar hebat.
“Nggak mau… aku nggak mau…” Suara tangisannya terdengar lirih dan penuh ketakutan. Aku nekat mendekat, dan ketika aku melihat wajahnya, darahku seakan membeku.
Wajah Didit pucat, air mata mengalir, tapi yang membuatku ngeri adalah apa yang sedang dilakukannya, tangan dan mulutnya penuh dengan darah dan bulu-bulu marmut yang sudah mati. Didit memakan hewan-hewan itu, namun ekspresinya terlihat sangat menderita.
“Didit! Gila kamu!” teriakku, tapi suara ku bergetar.

“Nggak mau… tolong… aku nggak mau…” Didit meratap, suaranya penuh ketakutan. Namun, tubuhnya tidak menuruti keinginannya.
Dengan kejam, tangan Didit meraih marmut lainnya dan memakannya lagi dengan brutal. Mulutnya berlumuran darah, sementara air mata terus mengalir di pipinya, menambah kesan horor yang tak tertahankan.
Aku mencoba meraih tubuhnya, berharap bisa menghentikannya. Namun Didit terus melawan. Ia meronta-ronta, memukul dan menendang dengan kekuatan yang jauh di luar kemampuannya.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari arah desa, disertai obor-obor yang menyala terang.
“Disini!! Didit disini!!” Teriak bapak memberi isyarat pada warga.
“Masyaallah!Didit!!” Teriak Pak Rusman.
Melihat kedatangan banyak orang Didit mengamuk. Ia berteriak dan mengamuk sejadi-jadinya.
“Ini kenapa, Mar?” Dewa ternyata ikut membantu warga mencari Didit.
“Bantuin aku, Wa!” Teriakku meminta bantuan Dewa dan beberapa warga. Mereka pun buru-buru membantuku menahan Didit dan membawanya kembali ke rumahnya.
Suasana desa yang sebelumnya sepi menjadi ramai yang berpusat di rumah Didit. Suara teriakannya masih terdengar dan warga masih berkerumun di rumah itu.
Aku melihat seseorang mendekat bersama pak Rusman. Sepertinya Pak Rusman sengaja memanggil beliau untuk membantu masalah ini.
“Iki ono opo, To?” (Ini ada apa?) Ucap seorang kakek yang berjalan dengan langkah yang sudah lemah.
Beliau adalah Mbah Bengkong, salah satu sesepuh di kampung kami. Sejak kecil aku mengenal ia adalah orang yang begitu baik.
Tidak pernah marah dan selalu tersenyum. Namun jika ada masalah-masalah di desa yang tidak bisa dibereskan oleh warga desa, Mbah Bengkong selalu bisa memberi pertimbangan yang bijak.

“Didit, Mbah.” Ucap bapak menunjukkan keadaan Didit yang masih kerasukan.
“Ealah, Le…”

Mbah Bengkong meminta diambilkan segelas air. Ia membacakan doa pada segelas air itu dan memberikannya pada Didit. Saat itu Didit yang sebelumnya meronta-ronta mulai tenang namun wajahnya masih pucat dan terus melotot ke arah Mbah Bengkong.
“Kowe ngopo ning kene?” (Kamu ngapain di sini?) Tanya Mbah Bengkong.

“Hrrrr…. hrr……” Didit tidak menjawab. Ia hanya terus menggeram dan memelototi Mbah Bengkong.
Beberapa kali Mbah Bengkong bertanya, respon dari Didit hanya seperti itu. Makhluk yang merasukinya enggan untuk berbicara dan hanya terus menatap Mbah Bengkong dengan kesal.
“Yowis..” Mbah Bengkong mulai jenuh. Ia kembali memercikkan air doanya dan meraupkan ke wajah Didit. Didit Pun tertidur tak sadarkan diri, namun tubuhnya panas dan terlihat menggigil.

“Kenapa bocah ini sampai bisa seperti ini?” Tanya Mbah Bengkong pada Ibu Didit.
“Ndak tahu saya, Mbah. Tadi sore dia cuman main sama Asih. Sempet pulang sebentar, tahu-tahu habis adzan isya Didit udah hilang dan ditemukan kesurupan begini..”

Mbah Bengkong menghela nafas dan membersihkan tangannya.
“Ya sudah, tolong panggil Asih kesini. Siapa tahu dia tahu sesuatu..” Ucap Mbah Bengkong.

“Baik, Mbah…”

Ayah Didit meminta pertolongan salah satu warga untuk memanggilkan Asih kemari. Seorang anak teman dekat Didit yang seumuran dengannya.
Saat itu aku melihat ke arah Dewa. Raut wajahnya cukup aneh, alih-alih menatap ke arah Didit yang kerasukan, Dewa justru menatap ke salah satu pohon trembesi di depan rumah. Aku menghampirinya berniat untuk menemaninya, tapi saat itu ia langsung menarik tubuhku ke posisinya.
“Kamu ngeliat itu nggak, Mar?”
Aku menatap ke arah pohon trembesi yang gelap. Entah apa yang Dewa maksud, namun aku memang merasakan sesuatu yang menggangguku dari arah sana.
“Bukan dia, Le.. dia cuma makhluk yang tertarik sama sosok yang merasuki bocah itu,” Tiba-tiba Mbah Bengkong menghampiri kami begitu saja. Anehnya Dewa segera meraih tangan Mbah Bengkong dan salim kepadanya.
“Kulo Dewa, Mbah. Ngapunten belum sempat menyapa..”

Mbah Bengkong hanya menepuk bahu Dewa sambil kembali menatap ke arah Pohon trembesi.
“Sosok itu, Mbah. Saya dan Damar sempat melihat sosok itu waktu pertama kali datang ke desa ini..” Jelas Dewa.

Tunggu, sosok itu?
Aku kembali menajamkan mataku. Dari kegelapan malam di sana, aku mulai melihat sesuatu yang samar. Saat itu Mbah Bengkong menepuk pundakku dan seketika pemandangan mengerikan muncul di hadapanku.
Setan itu.. Sosok tubuh yang terbungkus kain kafan tanpa kepala menanti di bawah pohon trembesi. Seketika aku pun pucat, tubuhku gemetar, namun aku cukup tenang karena di sini ramai dan ada Mbah Bengkong di dekatku.
“Dari tadi kamu ngeliatin itu? Kenapa nggak bilang?” Ucapku.

“Kalau temanmu bilang belum tentu mereka bisa liat, Nak Damar. Lagipula sudah benar, dia mengawasi makhluk itu dari sini dan baru bertindak jika makhluk itu berbuat macam-macam.”
Dibanding penasaran dengan makhluk itu, sebenarnya aku lebih penasaran mengapa Mbah Bengkong dan Dewa terlihat saling memahami. Padahal mereka baru saja bertemu dan berkenalan?
Belum sempat menanyakan lebih jauh, tiba-tiba beberapa orang datang bersama seorang anak perempuan. Ia masuk dengan wajah cemas seolah takut dimarahi.

“Ndak popo, Nduk. Ora ono sing arep nyeneni kowe.” Mbah Bengkong mengelus kepala Asih.
(Nggak papa, Nak. Nggak ada yang mau marahin kamu) Saat itu Mbah Bengkong menunjukkan keadaan Didit dan menceritakan secukupnya tentang apa yang terjadi pada Didit.
“Memangnya, tadi kamu sama Didit main kemana, to?” Mbah Bengkong bertanya dengan ramah.

Asih terlihat mulai tenang saat berbicara dengan Mbah Bengkong. Aura ramah Mbah Bengkong memang membuat siapa saja nyaman dekat dengannya.
“Jambu.. Tadi tiba-tiba Didit kepengen makan jambu yang di deket langgar. Kami ke sana, Adit manjat ngambil jambu itu terus Asih yang nangkepin…” Jelasnya terbata-bata.
Mbah Bengkong masih mengelus kepala Asih. Entah mengapa aku merasa bahwa Mbah Bengkong tak hanya sekedar menenangkan Asih.

“Asih lagi didoain, kayaknya dia diincar juga..” Ucap Dewa tiba-tiba.
“Kok kamu tahu, Wa?”

“Itu Mbah Bengkong pelan-pelan baca Doa sambil dengerin cerita Asih,” Jawab Dewa.

Saat ini aku mulai merasa apa mungkin Dewa juga tahu tentang hal-hal gaib seperti Mbah Bengkong?
Setelah perbincangan singkat itu, Mbah Bengkong pun berdiri sambil tersenyum. Ia memanggil kedua orang tua Didit dan Asih serta meminta warga untuk tenang dan Bubar.

Mengetahui keadaan sudah mulai terkendali, warga pun membubarkan diri.
Saat itu aku mendengar Mbah Bengkong meminta kedua orang tua mereka untuk datang ke rumah Mbah Guru.

“Mampir saja ke Mbah Guru, dan ceritakan apa yang terjadi. Minta maaf karena sudah mengambil jambu itu tanpa izin..”
Karena aku dan Bapak yang menemukan Didit, jadi saat itu aku dan bapak merasa bertanggung jawab untuk menemani mereka hingga selesai. Malam itu juga kami mampir ke rumah Mbah Guru sementara Mbah Bengkong langsung kembali ke rumahnya ditemani oleh Bapak.
“Ya sudah, Bu. Saya maafkan. Lain kali kalau mau jambu itu, bilang saja. Nanti saya ambilkan. Jangan mencuri, pohon jambu itu ada yang punya..” Tak kusangka Mbah Guru membalas permintaan maaf kami dengan Bijak.
Entah mengapa saat itu perasaan tegang hilang seketika. Kami pun berterima kasih dan berpamitan.
Kami pulang melewati langgar dimana pohon jambu itu tumbuh. Aku memperhatikan masih ada kandang marmut dan kandang ayam di sana.
Kandang hewan-hewan itu cukup besar dan hanya Mbah Gurulah yang memelihara marmut di desa ini. Bagi kami, Marmut adalah hewan yang asing. Makannya tak heran banyak anak-anak di desa yang penasaran mengintip ke tempat ini.
“Tumben-tumbenan ada yang sholat di sana,” ucapku pada Dewa saat melihat beberapa orang mengenakan mukena putih-putih di langgar tua itu. Namun saat itu Dewa menyenggolku dan menyuruhku untuk diam.
Aku berpikir sejenak dan baru sadar, sholat di jam seperti ini bukan hal yang wajar. Atau jangan-jangan yang kulihat bukan orang yang sedang sholat.
“Kita masih diawasi..” Bisik Dewa.
Aku mengerti, aku akan menanyakan apa yang ia maksud setelah ini. Setidaknya jangan sampai perbincangan kami membuat orang tua Didit dan Asih khawatir.
Tak kusangka, saat kembali ke rumah Didit, kami disambut oleh Didit yang sudah sadar dan pulih. Kami pun berpamitan, namun saat sampai di depan rumah, tiba-tiba Dewa berhenti.

“Kayaknya malam ini aku nggak tidur di rumahmu dulu, Mar..”
Mendengar ucapan Dewa aku pun bingung.

“Lha, kamu mau tidur dimana kalau nggak di sini?”
“Gampang, Mar. Santai aja..”

“Ndak Bisa! Kamu dateng ke desa ini sama aku, jadi kamu tanggung jawabku,” Balasku yang mencemaskan Dewa.
Saat itu Dewa tiba-tiba mengeluarkan beberapa benda dari kantungnya. Seketika dahiku mengerut saat mendapati bungkusan kain kafan kecil yang sudah lusuh yang berisikan rambut dan benda-benda yang tak kumengerti.
Di genggamannya juga ada paku dan sobekan-sobekan kertas yang bertuliskan aksara jawa dengan tinta berwarna merah.

“Apa itu, Wa?”

“Ini dari tempat tadi. Kalau aku bawa ke rumahmu, takutnya akan jadi masalah.”
“Kok bisa-bisanya?!!” Aku mulai kesal dengan sikap Dewa yang mulai seenaknya.

Saat itu tiba-tiba seseorang mendekat dari dalam rumah.

“Kalau temanmu tidak mengambil benda itu, mungkin besok akan ada yang mati di desa ini, Nak Damar.”
Aku menoleh ke arah itu dan mendapati Mbah Bengkong datang dari dalam rumah. Sepertinya Bapak dan Mbah Bengkong mampir ke rumah dulu tadi.

“Maksudnya apa, Mbah?” tanyaku bingung.
“Biar temanmu tidur di tempat Mbah dulu, Nak Damar. Kamu tenang saja.” Balas Mbah Bengkong.

“Tapi, Mbah…”

Saat aku hendak berkata, tiba-tiba wajah Mbah Bengkong yang selalu tersenyum berubah menyeramkan. Ia menatapku dengan tatapan serius.
“Dia sudah mengetahui perbuatan temanmu, sedari tadi makhluk itu sudah mengincarnya. temanmu hanya mencoba melindungi kalian,” Jelas Mbah Bengkong.
Benar saja, saat itu aku merasakan perasaan aneh. Sesuatu memperhatikan kami entah dari mana. yang aku lihat saat itu, bayangan Dewa terlihat begitu besar dengan empat tangan yang begitu panjang. Aku pun sadar, saat ini wajah Dewa mulai terlihat pucat.
Entah mengapa aku merasa Dewa akan mati.

“Jaga Gendis dan orang rumah, Damar. Langgar itu bukan lagi tempat untuk manusia. Tempat itu sudah menjadi rumah makhlu….”

Sraattt!!!!
Belum sempat Dewa menyelesaikan kata-katanya. Tiba-tiba sesuatu yang besar menjatuhkan Dewa dan menyeret tubuhnya dengan cepat.

“Dewa!!!”
Dewa menghilang di kegelapan, menyisakan darah yang terseret di jalan. Dari arah Dewa menghilang terlihat sosok makhluk kurus mengenakan kebaya lusuh setinggi pohon…

***
LANGGAR TANAH TULAH

“Mayat itu saja! Jangan anakku!” ucap seseorang yang meletakkan jasad manusia begitu saja di langgar itu.

PENGHUNI LANGGAR

Pati 1985

Suasana hari raya idul Fitri di desa Srimulyo tak seramai di desa lainnya. Walau begitu, sebagian warga yang masih menganut kepercayaan Kejawen turut memeriahkan silaturahmi antar warga di saat lebaran.
“Damar! Liat itu deh.” Umar mengenggolku dan mengarahkan wajahnya ke arah Mbah Guru yang tengah menerima tamu di halaman langgar yang berada di tanah miliknya itu.
“Kenapa? Nggak ada yang aneh?” Aku tak peduli sambil menikmati jenang yang aku dapat dari bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga desa.

“Itu, lho Liat! Mbah Guru salam ke tamu-tamunya pakai tangan kiri. Kan nggak sopan!”
Aku memperhatikan sekali lagi dan memang benar. Mbah guru menyembunyikan tangan kanannya di belakang dan menyalami tamu-tamunya warga desa dengan tangan kiri.

“Jangan-jangan tangannya lagi sakit?”
Plakk!!! Umar memukul kepalaku tiba-tiba.

“Kamu ini, mikirnya cuma yang baik-baik terus! Ada cerita yang bikin kesal kalau tau alasan Mbah Guru seperti itu!”

Aku mengusap-usap kepalaku sambil memasang wajah penasaran ke arah umar.
“Apaan?”

“Aku baru aja diceritain, Eyang. Katanya Mbah Guru cuma mau salaman dengan tangan kanannya sama saudara dan keluarganya saja. Yang sederajat katanya!”
“Maksudmu, kita dianggap lebih rendah dari mereka?”

Umar mengangguk. Ia memasang wajah kesalnya sambil menatap pada Mbah Guru. Dalam hati aku berpikir.
Apa benar ada seseorang yang sampai segitunya menganggap tetangga desanya begitu rendah? Sedangkan kami warga desa selama ini sudah seperti saudara.

Walau begitu, aku masih cukup menaruh hormat pada Mbah Guru.
Selain sebagai kepala sekolah SD Impress di desaku, Mbah Guru juga mengijinkan warga desa menggunakan langgar yang berdiri di tanah miliknya. Walaupun sebenarnya, langgar itu sudah ada sejak zaman ayah Mbah Guru.
Namun di suatu malam, desa sempat digegerkan dengan sebuah kejadian. Saat itu bapak tengah menikmati malamnya dengan segelas kopi di teras, dan aku baru saja hendak tertidur.

Tiba-tiba suara kentongan terdengar dipukul terus-terusan tanpa jeda.
Aku mengerti bahwa itu pertanda bahwa ada bahaya di desa. Namun mengapa tiba-tiba.

“Bu! Damar jangan boleh keluar!” Perintah bapak yang buru-buru masuk dan mengambil sebuah senter berwarna perak besar menyerupai tongkat itu.
Aku yang penasaran hanya bisa mengintip dari balik jendela. Di luar, serombongan warga tampak berjalan terburu-buru. Mereka membawa obor dan peralatan seadanya, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang berbahaya.
Bapak sempat berbincang sebentar dengan mereka, lalu memberi tahu ibu yang saat itu sedang mengandung adikku, bahwa ia akan ikut membantu.

“Kunci pintu rumah sampai bapak kembali!” perintahnya tegas.
Wajah ibu seketika berubah cemas. Tanpa bicara banyak, ia segera menutup semua pintu dan jendela rapat-rapat. Setelah itu, ibu masuk ke kamarku dan duduk di sampingku, seolah ingin memastikan aku tetap aman.
“Damar! Jangan dibuka!” Ibu tiba-tiba menegur saat melihatku mencoba mengintip lagi.

“Lha, Damar penasaran, Bu! Kampung seramai itu, tapi kita nggak boleh keluar. Ada apa, to?” aku sedikit protes, meski rasa takut mulai menjalari dadaku.
“Jangan ya, Le.. tadi bapakmu dikasi tahu sama warga, katanya ada yang nemuin mayat di langgar.”

“Mayat warga desa?”
“Bukan, tapi kondisinya benar-benar nggak karuan. Bapak dan warga desa masih berusaha mengejar pembuang mayat itu. Kemungkinan pelakunya belum keluar dari desa..”

Mendengar hal itu saat itu juga aku bergidik ngeri. Aku tak lagi mencari tahu dan memilih untuk berusaha tidur.
Tapi rasa penasaranku membuat mataku sulit untuk terpejam

Tak!

Samar-samar aku mendengar suara dari arah kebun sebelah rumahku. Aku sempat mengira itu adalah suara hewan.
Tapi, suara itu kembali terdengar seperti suara langkah kaki.

“Bu.. ada suara, Bu..”

Aku mencoba membangunkan ibu yang telah tertidur pulas di sebelahku. Sayangnya, ibu yang tengah kelelahan begitu pulas dan tak terbangun.
Samar-samar aku mendengar suara isak tangis dan suara seseorang yang menggumam. Biasanya aku tak akan peduli, namun karena tadi aku mendengar cerita dari ibu, aku pun takut.

“Jangan… jangan anakku, dia saja..”
Suara itu terdengar dari luar jendela. Suaranya terdengar paru dan bercampur dengan tangis. Mau tidak mau, aku pun memaksa ibu untuk bangun.

“Bu.. bangun, Bu! Ada orang di luar…”
Kali ini aku berusaha lebih keras, dan ibu pun terbangun dengan mata lelahnya.

“Opo, Le? Ada orang?”

Aku mengangguk dan berusaha untuk tidak menciptakan suara.
Sekali lagi suara seseorang yang menggumam sambil menangis terdengar. Ibu mendengar hal yang sama dan dengan segera mengambil gunting yang berada tak jauh dari posisi kami.

“Minggir, le…”
Ibu berjalan dengan perlahan ke arah jendela kamar. Dengan berhati-hati, ia membuka tirai jendela itu dan tak mendapati apapun selain gelapnya malam. Ibu pun menarik nafas lega.
Tapi, aat ia berbalik. Tiba tiba terlibat seseorang berdiri menatap ke dalam rumah dari luar jendela. Rambutnya kusut berantakan dengan mata lebam dan wajah pucat. Tubuhnya bungkuk dan ia menggedor-gedor kaca jendela kami.

“Ibu! di belakang bu!!” Teriakku.
Ibu pun berbalik dan berteriak saat menyadari keberadaan orang itu.

“MAYAT ITU SAJA! MAYAT ITU SAJA! JANGAN ANAKKU!!”

Sosok itu berteriak-teriak seperti orang gila sambil menggedor jendela.
Seketika aku dan ibu pun berteriak dan membunyikan suara-suara agar warga menyadari apa yang terjadi di sini. Mengetahui kami menjauh dari jendela, sosok itu malah mengelilingi rumah kami dan menggedor-gedor setiap melihat pintu dan jendela.
“Tolong! Tolooong!!” Aku dan ibu berteriak ke arah jendela lain berharap ada warga desa yang mendengar.

Beruntung teriakkan kami terdengar, dan warga desa berkumpul. Mereka berbondong-bondong mendatangi rumah.
Saat itu aku dan ibu buru-buru keluar dan bergabung dengan mereka.

“Enek opo to, Bu?” Tanya salah satu warga.

“Ada orang, Pak! Dia gedor-gedor rumah, teriak-teriak, dan mukanya seram!” Balas Ibu.
Saat itu bapak-bapak yang berkumpul mengitari rumahku dan mereka pun menemukan orang itu. Sosok yang meneror kami tadi sedang meringkuk ketakutan dengan penampilan yang berantakan.
“Mayat itu saja… jangan anak saya…” Kata-kata itu terus terucap dari orang itu.
Saat itu juga warga menangkap orang itu dan mengetahui bahwa ia mengalami gangguan jiwa.
Bapak segera dipanggil oleh warga dan kembali.
Ia benar-benar terlihat khawatir. Terlebih seseorang yang bersama bapak ternyata saksi yang melihat orang yang membuang mayat itu di langgar.

“Benar.. .dia! Dia yang membawa mayat itu ke langgar!” ucap orang itu.
Malam itu juga warga mengamankan orang itu. aku dan ibu pun kembali ke rumah bersama bapak dengan perasaan lebih tenang. Barulah besok paginya ibu mendapat kabar tentang kejadian semalam.
“Orang gila itu nemu mayat di jalan dan membawanya ke langgar,” Pak Rusman menceritakan kejadiannya pada ibu.

Menurut Pak Rusman, orang dengan gangguan jiwa itu merasa ketakutan karena anaknya meninggal dengan mengerikan.
Dia mengatakan bahwa anaknya mati menjadi tumbal dari setan di langgar. Jelas saja warga tidak percaya dan menganggap omongan orang itu sebagai halusinasinya. Warga pun menyerahkan orang itu kepada pihak yang berwajib bersama jasad yang berada di langgar.
Awalnya kami warga desa hanya menganggap kehebohan itu sebagai perbuatan orang gila yang sedang ‘kumat’. Tapi ternyata kejadian itu berbuntut panjang.
Tiba-tiba saja Mbah Guru melarang warga desa untuk beribadah di langgar.
Seluruh warga desa pun bingung. Kasus orang gila itu sudah selesai, namun entah mengapa Mbah Guru terlihat seperti menutup-nutupi sesuatu dan melarang warga menggunakan langgar itu lagi.
Di dekat langgar pun dibangun kandang ayam dan hewan yang jarang sekali kami lihat di desa.
Hewan marmut yang bentuknya seperti tikus besar dengan bulu yang berwarna. Saat itu banyak anak-anak yang sangat tertarik dengan hewan yang dipelihara Mbah Guru.
Tapi, mbah Guru menutupi langgar dengan pagar yang dibuat dengan bambu kuning hingga warga tidak bisa lagi memasuki langgar seenaknya.
Sempat ada beberapa anak yang penasaran dengan hewan marmut milik Mbah Guru.
Ia memanjat pohon dan mengintip ke arah dalam. Tapi suatu saat aku mendengar cerita ada seorang anak yang ingin ikutan mencoba mengintip ke dalam, tapi saat turun, ia kembali dengan wajah yang pucat.
Anak itu tidak berkata apapun, namun selama beberapa hari anak itu demam dan mengigau. Anak itu tidak berkata apapun, namun selama beberapa hari anak itu demam dan mengigau.
Beberapa saat setelahnya aku mendengar cerita dari Umar, bahwa anak itu melihat sosok-sosok aneh di langgar. Ia mengaku melihat sekumpulan orang-orang pucat memakan marmut dengan mulut yang berdarah-darah.
Tak hanya itu, sesuatu yang membuat anak itu trauma ketika ia melihat sosok hitam bermata merah yang seolah mengawasi makhluk-makhluk pucat itu.
Mendengar cerita itu, seketika aku teringat ucapa orang gila itu.

“Apa benar sosok setan yang menghuni langgar?”

***
TAMU DI TENGAH MALAM

Kejadian yang terjadi saat aku kecil itu teringat kembali di kepalaku. Mengapa Mbah Guru melarang warga untuk menggunakan langgar itu lagi? Apa yang sebenarnya disembunyikan di sana?
Untungnya selalu ada hal baik dari setiap kejadian. Pasca tak boleh lagi digunakannya langgar Mbah Guru, salah seorang warga bersedia mewakafkan tanahnya yang berada di ujung desa.
Warga pun akhirnya mengumpulkan dana dan saling memberi sumbangan dalam bentuk apapun untuk membangun masjid yang akhirnya kami gunakan hingga saat ini.
Aku pikir, masalah mengenai langgar sudah tuntas. Aku benar-benar tak menyangka dengan apa yang terjadi di hadapanku saat ini.
Dewa tiba-tiba jatuh dan terseret tepat di hadapanku. Ia menghilang begitu cepat dan menyisakan darah yang terseret di jalan.
“Dewa!! Dewa!!” Aku berteriak panik mencoba mengejar dewa, namun sia-sia.

“Astagfirullahaladzim..” Mbah Bengkong masih terpaku menatap sosok perempuan kurus setinggi pohon yang perlahan menghilang dari hadapan kami.
Mbah Bengkong tidak tinggal diam, ia buru-buru berjalan ke satu arah yang berlawanan dari arah Dewa menghilang.
“Mbah! Tolong Dewa, Mbah!” Aku mengikuti Mbah Bengkong sambil menarik bajunya mengajaknya mengejar dewa.
“Sudah, kamu tenang dulu. Dia pasti ada di sana!” ucap Mbah Bengkong.
Aku mencoba mempercayai mbah bengkong. Aku kira ia berniat kembali ke rumahnya, namun ia justru terus berjalan menembus pagar bambu kuning menuju ke langgar.
Angin berhembus dengan kencang, udara dingin begitu menusuk. Suara gemerisik dedaunan membuatku semakin cemas.
Mengerikan. Pemandangan yang ada di depanku saat ini begitu mengerikan…
Tepat saat kami sampai, aku melihat dewa berdiri melayang dengan tubuh penuh darah.
“Pe…rgi…” Dewa mencoba berbicara dengan suara paraunya memperingatkan kami. Tapi Mbah Bengkong terus mendekat dan saat kami mendekat tiba-tiba tubuh Dewa terjatuh.
“Dewa!!”
Aku buru-buru menolong Dewa saat itu juga. Luka-luka di tubuhnya cukup parah, bajunya sobek terseret dengn tanah, namun beruntung, luka itu tak membahayakan nyawanya.
“Bawa temanmu itu! Kita pergi dari sini secepatnya!” Perintah Mbah Bengkong.
Dengan berhati-hati aku membawa Dewa keluar dari langgar yang suasananya begitu mencekam.
Di dalam aku merasa ada banyak makhluk yang memperhatikanku, saat itu juga aku buru-buru memapah Dewa keluar.
Tapi, tepat saat kami melangkah pergi. Tiba-tiba Mbah bengkong menghentikan langkahnya.
Aku pun merasa ada sesuatu di belakang memperhatikan kami. Anehnya, aku tak berani menoleh ke belakang sedikitpun. Instingku melarang leherku untuk menoleh.
“Jangan campuri urusan kami…”
Aku mengenal suara itu. Suara itu terdengar seperti suara Mbah Guru. Tapi aku benar-benar takut untuk menoleh ke belakang. Saat itu Mbah Bengkong yang wajahnya selalu tenang terlihat kesal hingga mengepalkan tangannya erat erat.
Ia pun melangkah pergi dan memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Tanah yang kami tinggalkan, tanah di mana langgar itu berdiri, saat ini benar-benar terasa mencekam. Malam itu aku merasa seperti menjadi tontonan dari puluhan makhluk yang mengawasiku dari belakang.

***
“Astagfirullahaladzim! Dewa?!” Bapak benar-benar panik saat melihat aku membawa Dewa pulang dalam keadaan penuh luka. Ibu buru-buru memanggil mantri desa untuk memeriksa keadaan Dewa.
Kami merawat dewa semampu kami. Membersihkan lukanya, dan memberinya minum untuk menenangkan dirinya. Beruntung pak Mantri mau dibangunkan dan datang ke rumah.
Aku menceritakan pada bapak tentang apa yang terjadi. Tentang kejadian dimana Dewa memungut benda-benda laknat dari sekitar langgar hingga Dewa diincar oleh setan yang membuatnya hingga seperti ini.
“Sebagian besar warga desa sudah tahu bahwa ada yang aneh dengan langgar itu. Tapi belum ada yang senekad kamu, Mas Dewa..” Ucap Pak Mantri yang hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah Dewa.
“Saya cuma takut, Pak…” Dewa membalas dengan suara yang lemah. “Saya takut desa ini akan bernasib seperti desa saya dulu..”

Mendengar ucapan itu, seketika aku tertegun. Aku memang tahu bahwa Dewa hidup sebatang kara dan tak memiliki orang tua lagi.
Tapi aku tidak tahu bahwa ada kisah lain di balik itu.
“Memangnya desa kamu kenapa, Wa?” Tanyaku penasaran.
Dewa berusaha menahan rasa sakitnya dan berusaha untuk mencari posisi duduk yang nyaman di kasur.
“Desaku mati, Mar. Satu-persatu warga meninggalkan desa setelah begitu banyak warga yang mati..”
Aku tersentak mendengar cerita Dewa. Tak kusangka ada masa lalu yang kelam dari seorang Dewa yang jarang sekali mengeluh.
Ia menceritakan bahwa sewaktu ia kecil, desa dikuasai oleh keluarga juragan yang sangat berpengaruh. Kepala keluarga mereka menduduki jabatan penting di pemerintahan daerah.
Sebagian warga desa menggantungkan hidup dengan menggarap ladang mereka, dan bekerja untuk usaha-usaha milik keluarga itu.
Warga desa menghormati keluarga juragan yang sebenarnya cukup dekat dengan warga.
Sampai suatu ketika, sang kepala keluarga kalah pemilihan pejabat daerah dan tidak lagi menjabat. Keluarga juragan semakin tertutup, dengan alasan yang tidak dimengerti. Padahal menurut warga, usaha mereka masih sangat cukup untuk kehidupan mereka.
Tak lama kemudian kejadian-kejadian yang diluar nalar terjadi. Satu persatu anggota keluarga juragan meninggal dengan misterius. Warga desa tidak dilibatkan dalam pemakaman hingga hanya tersisa sang kepala keluarga yang masih hidup.
Awalnya warga desa Dewa simpati, namun ternyata hal yang aneh mulai terjadi di desa.
Kematian mulai merenggut nyawa orang-orang yang bekerja pada keluarga juragan…
Mereka mati dengan tidak wajar. Keluarga korban mengaku rumahnya didatangi sekumpulan makhluk berwujud manusia berwajah pucat dengan berpakaian serba putih di malam hari.
Dan pagi hari setelahnya, anggota keluarga itu mati dengan tubuh yang kaku dan mulut menganga. Orang tua Dewa menjadi korban atas kutukan itu.
Warga mulai menebak bahwa kekayaan dan segala yang dimiliki oleh keluarga juragan berhubungan dengan kutukan yang dialami oleh desa.
Saat mendatangi rumah keluarga juragan, mereka menemukan sisa-sisa ritual yang menunjukkan bahwa ternyata melakukan perjanjian gaib untuk mendapatkan kekayaannya. Sisa-sisa ritual itu seolah usaha terakhir sang juragan untuk menghentikan kutukan ini.
Tapi saat hendak meminta pertanggung jawaban dari satu-satunya keluarga yang tersisa. Warga justru menemukan mayat sang kepala keluarga sudah tergantung tak bernyawa di kamarnya sendiri.
Sejak kejadian itu teror di desa Dewa semakin menjadi-jadi. Ingon peliharaan keluarga juragan seperti mencari sendiri tumbal untuk dirinya.
Mulai dari penyakit aneh, kematian tidak wajar, hingga bunuh diri. Secara perlahan satu persatu warga desa mati. Tak jarang mereka yang masih bertahan melihat keberadaan setan berwujud keluarga juragan yang berjalan mengelilingi desa.
Tak ada jalan lain. Akhirnya warga yang tersisa memilih untuk pergi dari sana dan membangun kehidupan di desa lain. Termasuk Dewa yang diurus oleh tetangga dekatnya.

“Sudah lama semenjak aku meninggalkan desa orang tuaku. Apa yang terjadi di sana saat itu tak jauh berbeda dengan yang mungkin terjadi di sini, Mar..” Ucap Dewa.
Mbah Bengkong mengelus kepala Dewa.
Ia seperti sudah mengerti perasaan Dewa sejak awal mereka bertemu. “Nggak akan terjadi. Kami benar-benar menjaga desa ini dengan baik.” Ucap Mbah Bengkong mencoba menenangkan Dewa.
“Sebenarnya saya tidak mau berpikir jahat, Mbah. Tapi di bandingkan juragan di desa saya, saya merasa bahwa Mbah Guru lebih tidak ragu untuk mengorbankan warga desa dibanding membiarkan anggota keluarganya yang mati..” Balas Dewa.
Mendengar ucapan Dewa itu, seketika aku, pak mantri, bapak menoleh ke arah Mbah Bengkong. Tak dapat dipungkiri bahwa hal itu mungkin benar adanya. Ia menganggap warga desa lebih rendah dari mereka.
“Kita tidak bisa bertindak tanpa bukti. Yang bisa kita lakukan hanya melindungi diri kita dengan menggantungkan diri pada Allah.” Balas Mbah Bengkong. “Yang penting sekarang kamu pulih dulu, Le…”
Dewa seperti tidak puas dengan tanggapan mbah bengkong. Tapi saat ini pun kami tak dapat berbuat apapun. Jika harus menunggu ada korban, maka itu sudah terlambat. Tapi Mbah Bengkong tidak meminta kami untuk berpangku tangan.
Selama satu bulan penuh ini pengajian harus terus diadakan di Masjid. Ia meminta untuk menanam bambu kuning yang serupa dengan yang ditanam di langgar di sekitar masjid.
“Kalau terjadi apa-apa dengan warga desa, masjid adalah tempat yang paling aman untuk saat ini.” Jelas Mbah Bengkong.
Kami pun mengerti. Bapak dengan bantuan Pak mantri menceritakan hal ini kepada Ustad Kusni.
Beliau menggeleng mendengar cerita tak masuk akal itu, namun sebenarnya ia juga sudah menyadari keanehan di langgar Mbah Guru.
“Kalau Mbah Bengkong yang bicara, saya siap untuk membantu. Hanya saja kalau bisa jangan membuat warga desa khawatir.” Pinta Ustad Kusni.
Sesuai permintaan Ustad Kusni, Bapak dan yang lain tidak mengatakan alasan sebenarnya tentang kegiatan di masjid. Warga tidak curiga dan hanya menganggap kegiatan itu untuk menolak hal buruk dan mendekatkan rejeki.
Warga desa pun setuju tanpa banyak bertanya, mungkin karena sebenarnya mereka pun sudah menyadari bahwa ada hal yang kurang baik yang terjadi di desa. Setidaknya dari setiap keluarga ada satu anggota yang ikut mengaji.
Aku sempat melihat Mbah Guru memandangi warga yang ke masjid setiap malam. Ia hanya memandang dari pinggir jalan tanpa ada niat untuk bergabung dengan kami.
“Mbah? Nggak ikut pengajian?” Salah seorang warga mencoba ramah dengan menyapa Mbah Guru.
“Tidak! Saya dan keluarga saya mengaji di langgar!”
“Oh.. nggih, Mbah..”
Warga sudah menebak akan jawaban itu. Namun setidaknya, mereka sudah mencoba menyapa dan bersikap ramah.
Semenjak itu hampir tidak ada hal-hal aneh yang dialami oleh warga desa. Semua terasa begitu tenang.
Sampai suatu malam, hujan datang begitu deras.
Terlalu deras hingga tak ada satu warga pun yang berani untuk keluar. Walau begitu, aku masih mendengar suara Ustad Kusni di masjid yang mengajak kami untuk mengikuti pengajian. Aku tahu pasti banyak yang tidak datang.
Aku melihat dewa tengah bersiap-siap membawa sarung dan mencari payung. Aku yakin ia ingin tetap berangkat walau hujan mengguyur desa dengan deras.
Yah.. untuk kami yang mengetahui bahaya yang tengah dihadapi desa. Hujan deras tidak akan menghalangi kami.
“Tunggu, Wa. Aku ikut..” ucapku yang juga buru-buru mengambil sarung dan peciku. Tapi saat hendak keluar, aku melihat Dewa terdiam terpaku di depan pintu tanpa bergerak sedikitpun.
“Dewa? Nggak jadi?” Tanyaku.

Ia menoleh ke arahku sejenak dan kembali melihat ke arah hujan yang masih turun dengan begitu deras. Wajahnya terlihat cemas dengan tubuh yang gemetar. Aku pun mendekat ke arahnya dan melihat ke arah ia memandang.
“Astagfirullahaladzim…” Seketika kalimat istighfar terucap dari bibirku.

Di luar, dibawah rintik hujan yang begitu deras, telah menanti sosok-sosok berwajah pucat di halaman rumahku.
Mereka menatap dengan tatapan tajam ke arah kami seolah sengaja menahan kami untuk meninggalkan rumah.

Saat itu aku pun sadar, tak hanya di halaman rumahku. Puluhan sosok itu tersebar di seluruh desa mengawasi tiap-tiap rumah dibawah guyuran hujan deras.
Ini gila… apa yang terlihat di hadapanku saat ini benar-benar gila.

“Jangan keluar, Wa!” Perintahku yang segera menutup pintu rumah rapat-rapat.
“Tapi, Mar…”

“Aku juga tahu pasti sesuatu yang buruk akan terjadi. Tapi kita nggak bisa gegabah!”

Aku kembali masuk dan menghampiri kamar bapak. Tak kusangka, bapak tengah bersimpuh dengan tasbih di tangannya sambil terus membaca doa.
“Mas, Gendis takut…” Tiba-tiba Gendis mendekat dan menarik bajuku.
“Tenang, Gendis. Allah akan selalu ada bersama kita..”
Walaupun aku berusaha menenangkan Gendis, aku sendiri masih terus merasa cemas. Apa lagi hal terburuk yang terjadi di malam ini?
Blarrrr!!!
Kilatan cahaya memasuki celah rumah bersama suara yang menggelegar.
Suara petir terdengar begitu dekat beriringan dengan listrik rumah yang tiba-tiba padam. Seketika keadaan rumah pun menjadi gelap gulita tanpa adanya penerangan.
“Bu… !” Suara Gendis terdengar di dekatku. Aku buru-buru meraba dan menarik tangannya.
“Biar ibu cari lilin, kamu jangan jauh-jauh dari, Mas..” ucapku.
Beberapa saat kemudian, nyala api kecil terlihat dari dapur. Ibu menyalakan lilin dan membawa lampu minyak ke arahku. Bapak pun keluar dari kamar dan wajahnya begitu pucat.
“Pak? Bapak nggak papa?”
“Bapak nggak papa, Nak. Tapi bapak khawatir…”
Suara petir menggelegar di tengah gelapnya malam itu. hanya diterangi api dari lilin dan lampu minyak, kami seolah merasa terkurung dengan keberadaan makhluk-makhluk di luar rumah.
Aku dan Dewa berusaha tidak membicarakan apa yang kami lihat di luar agar Gendis tidak khawatir.
Tak ada satupun dari kami yang berani untuk tidur. Bukan karena mati listrik atau hujan, namun naluri kami sama-sama merasakan bahaya.
Ditengah perasaan cemas itu, tiba-tiba kami mendengar suara. Aku mendekatkan telinga ke arah jendela dan perlahan aku mendengar suara dari masjid terdengar semakin keras. Itu Ustad Kusni..
Ia membacakan ayat-ayat suci dengan pengeras suara ke seluruh desa.
Suaranya terdengar beradu dengan rintikan hujan yang enggan untuk berhenti.
“Itu Ustad Kusni,” ucapku.
“Syukurlah..” Balas bapak merasa lega.
Kami sadar bahwa ustad Kusni masih belum menyerah dengan keadaan ini. Kami pun terus mendengar suara ustad kusni hingga lewat tengah malam dan hujan berhenti sepenuhnya.
Saat itu Gendis sudah tertidur di pangkuan ibu. Aku, Dewa, dan Bapak pun mengecek keadaan di luar dan pemandangan mengerikan yang kami lihat sebelumnya sudah benar-benar menghilang.
Sama sekali tak ada jejak makhluk-makhluk itu di halaman seolah yang kami lihat sebelumnya adalah ilusi semata.
Tapi kami tahu dengan jelas bahwa yang aku dan Dewa lihat saat itu adalah nyata.
“Uwis, Le.. leren..” (Sudah, Nak. Istirahat..) Ucap bapak menghkawatirkan keadaanku dan Dewa.
“Iya, Pak. Bapak juga..”
Bapak mengangguk. Saat memastikan malam sudah kembali tenang, kami pun masuk ke kamar dan beristirahat. Tapi, bapak membohongiku. Ia tidak segera tidur.
Suara bapak dan ibu masih terdengar dari kamar mereka. Lantunan ayat-ayat Al Quran terdengar bersahutan dari bibir mereka berdua yang masih menyempatkan sejenak untuk mengaji sebelum beristirahat.

***
Suara ramai terdengar dari luar jendela. Aku mengecek jam dan memastikan bahwa sekarang pun belum lewat pukul delapan. Dewa terlihat masih tertidur dengan lelap, namun aku melihat dari jendela kamar ada ibu di antara warga desa yang berkumpul di luar.
Setelah beberapa saat aku melihat ibu masuk dengan terburu-buru. Ia segera mencari bapak dengan raut wajah penuh dengan rasa khawatir.
“Pak.. diluar, semua pada kebingungan..” Ibu berkata dengan terburu-buru.
“Tenang dulu to, bu.. ada apa?”

“Anak Bu Sugeng, Bu sumi.. semua tiba-tiba demam. Tubuhnya kaku.” Ucap ibu dengan wajah yang khawatir.
“Mereka nggak bisa ninggalin tempat tidur mereka. Katanya kalau diturunkan dari amben atau kasur, anak-anak itu langsung meronta menggila seperti orang kesurupan!”

Dewa yang mendengar cerita ibu dalam setengah sadarnya segera terbangun dan menyusulku.
“Kenapa, Mar?” Tanyanya.

“Kata ibu anak Bu sugeng dan bu sumi kena penyakit aneh. demam, badannya kaku, nggak bisa ninggalin tempat tidur mereka.”
Dewa menggeleng tak menyangka akan apa yang ia dengar.
“Coba minta mereka mengecek, jangan-jangan bukan cuma kedua anak itu yang bernasib serupa?”
Benar juga. Saat itu aku segera menghampiri bapak sambil mendengar cerita dari ibu.
“Pak, coba tanya ke warga lain yang punya anak-anak kecil. Jangan-jangan nggak cuma mereka berdua?” Ucapku.
Bapak mengangguk, ia pun segera menghabiskan kopinya dan mencari tahu keluar.
Saat itu aku mengecek keberadaan gendis. Ia terlihat sudah siap berangkat ke sekolah dengan seragam dan tas di punggungnya.
“Kenapa, Mas?” Tanya Gendis.
“Gendis, naik sepedanya hati-hati, Ya. Banyak-banyak berdoa.” Balasku.

“Iya, Mas. Kenapa, to?”
“Mas belum bisa cerita, tapi setidaknya kamu harus tahu kalau ada sesuatu di desa yang sedang tidak baik. Tapi jangan terlalu kamu pikirin, ya..”
Gendis tersenyum dan mengangguk. Ia meraih tanganku dan menciumnya sebelum melakukan hal serupa pada ibu.
Ia pun menaiki sepedanya dan segera meninggalkan rumah berangkat ke SMP nya yang tak jauh dari rumah.
Beberapa saat setelah keberangkatan Gendis, Bapak kembali ke rumah dengan wajah penuh keringat.
“Benar dugaan, Nak Dewa. Semua anak kecil di desa mengalami hal serupa. Gejalanya sama. Demam, tubuhnya kaku, dan setiap meninggalkan amben mereka seperti orang gila yang kesetanan. Ini jelas bukan penyakit normal!” Bapak terlihat resah.
“Pak Mantri? Ustad Kusni? Mbah Bengkong? Mereka semua sudah tahu?” Tanyaku.
Bapak mengangguk. Ibu membawakan segelas kopi lagi untuk bapak untuk menenangkannya.
“Sudah. Mereka sudah bertindak lebih dulu. Tapi mereka sendiri belum tahu harus berbuat apa,” Jelas Bapak.
Brakk!!!
Aku tersentak mendengar suara kayu kusen yang dipukul oleh Dewa. Ia terlihat tak mampu menahan emosinya saat itu.
“Ma—maaf, saya terbawa emosi..” Ucap Dewa yang menyadari kekagetan kami.
Bapak menatap Dewa dengan cermat. Ia melihat ke dalam matanya yang seolah berusaha menolak kemungkinan yang ia ketahui.
“Nak Dewa tahu sesuatu?” Tanya bapak mencoba mengulik Dewa.
Dewa terlihat bimbang. Sepertinya ia ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya khawatir hingga sedemikian rupa.
“Saya tidak yakin. Tapi saya takut jika anak-anak itu hanya tinggal menunggu waktu…”
“Menunggu waktu untuk apa, Wa?” Aku ingin segera memperjelas apa yang Dewa maksud.
“Menunggu waktu sampai mereka dimangsa makhluk-makhluk itu..”
Dewa sama sekali tidak terlihat sedang bercanda. Setelah kejadian semalam, hal yang seperti dewa bilang bukanlah sesuatu yang mustahil.
“Pak? Apa kita tidak bisa mendatangi Mbah Guru dan minta kepadanya untuk menghentikan ini semua?” Aku mencoba menyampaikan apa yang ingin kulakukan kepada bapak.
Bapak menghela nafas dan menggeleng.
“Bagaimana kita bisa meminta hal seperti itu ke Mbah Guru? Kita sendiri tidak tahu apa ini benar ulah Mbah Guru? Tidak ada yang bisa membuktikan..”

“Tapi bukankah semua sudah jelas?” aku masih berusaha.
“Jangan gegabah, Damar! Segala sesuatu yang dilakukan tanpa pemikiran matang hanya akan membawa masalah baru!” Kali ini bapak berkata dengan tegas kepadaku.

Saat itu aku terdiam.
Ucapan bapak seketika membuatku berhenti sejenak dan berpikir ulang untuk menenangkan pikiran.

“Tenang dulu, Mar. Coba kita lihat kondisi anak-anak itu dulu..” Ajak Dewa.
Pagi itu kami bertiga pergi ke rumah Bu Sugeng untuk menjenguk anaknya, Endah .
Pak Mantri masih berada di sana dan terlihat segelas air putih yang ditutup dengan Al quran di atasnya. Kami menduga sebelumnya ustad Kusni juga sempat datang ke rumah Bu Sugeng.
“Semalam hujan deras. Kami tidak berani untuk keluar. Apalagi Endah tiba-tiba demam dan terus mengigau,” Cerita Bu Sugeng.

Kami penasaran apakah ia sempat melihat keluar dan mengetahui tentang makhluk-makhluk yang kami lihat menyebar di penjuru desa?
Namun kami ragu untuk menanyakannya.

“Endah mulai tenang ketika mendengar suara pengajian ustad Kusni dari masjid, tapi saat pagi hari ternyata ini yang terjadi. Demam Endah semakin tinggi, tubuhnya kaku.
Saat saya ingin membawanya berobat ia seketika menggila dan mengamuk seperti orang kesurupan,” Bu Sugeng bercerita sambil menahan air matanya.

Pak Mantri menoleh ke arah kami seolah memberi isyarat bahwa hal ini ada hubungannya dengan apa yang kami bicarakan kemarin.
“Ini bukan sekedar penyakit biasa. Jika sumbernya tidak bisa ditangani, saya tidak mampu berbuat banyak..” Jelas Pak Mantri.

Dewa meminta izin untuk memeriksa amben tempat Endah tidur. Ia berusaha mencari sesuatu, namun ia tidak menemukan apapun.
“Tidak ada di sini. Kalau santet biasa, seharusnya ada benda yang menjadi perantara di amben korbannya..” Ucap Dewa.

Kami pun berpamitan setelah berbincang cukup banyak pada Bu Sugeng.
Dewa masih mencoba mencari benda-benda aneh di sekitar rumah Bu Sugeng sebelum pulang, namun ia tidak juga menemukan apapun.

“Bapak mau mencari Ustad Kusni, takutnya beliau membutuhkan bantuan bapak..” ucap Bapak di perjalanan pulang.
“Sepertinya, aku juga mau nyari mbah Bengkong, Mar. Kata Pak Mantri, Mbah juga sedang berkeliling memeriksa anak-anak lain..” Ucap Dewa yang memilih jalan berbeda dengan Bapak.

“Kamu temani Dewa saja, Mar. Dia belum begitu mengenal warga sini.”
“Baik, Pak. Kalau ada sesuatu, kabari kami ya pak!”
Bapak mengangguk. Kami pun berpisah di persimpangan jalan. Sebenarnya aku ingin bersama Bapak, tapi aku juga penasaran tentang apa yang ingin Dewa lakukan bersama Mbah Bengkong.
Setelah bertanya dengan beberapa warga, kami pun bertemu dengan Mbah Bengkong yang baru saja meninggalkan salah satu rumah. Wajahnya terlihat cemas dan begitu khawatir. Aku menduga sepertinya Mbah Bengkong pun belum menemukan cara untuk menolong anak-anak itu.
“Gimana, Mbah? Ada yang bisa kami lakukan?” Tanya Dewa langsung ke inti permasalahan yang terjadi.
Mbah Bengkong menatap ke arah kami berdua dengan tatapan mata yang ragu.
“Ayo ke rumah Mbah…” Tiba-tiba ia mengajak kami ke rumahnya tanpa membuka pembicaraan apapun. Kami pun menurutinya tanpa mencoba bertanya apapun. secara tidak langsung kami sudah sama-sama mengerti akan kondisi yang terjadi.

“Tenung tali sukmo.. Saya pernah mendengar tentang ilmu hitam itu waktu masih muda. Si perapal akan mengikat sukma orang-orang yang dituju dengan satu maksud,” Mbah Bengkong bercerita sambil membuka-buka buku-buku tua yang sudah berdebu di rumahnya.
Tapi sepertinya ia tidka menemukan apa yang ia cari.
“Santet, Mbah?” Dewa memperjelas.

“Bisa dikatakan begitu, tapi tenung tali sukmo biasa digunakan untuk mengikat seseorang. Kadang untuk mengancam orang lain untuk mengikuti keinginannya, atau kemungkinan yang lain..”
“Kemungkinan lain apa, Mbah?” Aku semakin penasaran.

“Kemungkinan agar anak-anak itu tidak pergi kemanapun agar bisa dimangsa..” Gumam Dewa yang lebih dahulu menyadari maksud Mbah Bengkong.

Deg!
Entah mengapa aku merasa sepakat dengan dugaan Dewa. Tapi bagaimana cara kami memastikannya? Terlebih bagaimana cara kami menghentikannya?
Kami pun menoleh ke arah Mbah Bengkong.

Ia berjalan ke jendela belakang rumahnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari pintu depan.
Rumahnya begitu kecil, bahkan tidak ada kamar di rumah mbah bengkong. rumahnya hanya ditutup sekat seadanya untuk memisahkan ruang belakang untuk meja makan dan barang-barangnya.

Sedangkan Amben tempatnya tidur menjadi satu dengan ruangan depan.
Aku baru sadar bahwa langgar milik mbah Guru terlihat dari jendela belakang Mbah Bengkong. Walau tertutup oleh pagar bambu kuning, bangunan tua itu masih saja terlihat misterius.
“Namanya tali, pasti ada tiangnya. Jika apa yang kita curigai itu benar. Maka anak-anak itu pasti tidak akan bisa bertahan sampai tengah malam..” Jelas Mbah Bengkong.

“Lantas kita harus bagaimana, Mbah? Apa sekalian kita geruduk saja rumah Mbah Guru?” Balasku.
“Tidak ada bukti bahwa ini semua ulahnya!” Mbah Bengkong sekali lagi berkata dengan tegas. Ia sadar, salah bertindak sedikit saja masalah akan menjadi lebih runyam.
“Tapi nggak mungkin kita diam saja, Mbah?” Aku masih bersikeras, namun Dewa memegang bahuku ia memberi isyarat padaku. Saat itu aku tersadar bahwa aku terlalu menekan Mbah Bengkong.
Aku dan Dewa mundur dan memberikan waktu pada Mbah Bengkong. Kami benar-benar gelisah, namun kami berusaha untuk menyingkapi keadaan ini dengan lebih tenang.
“Mbah! Saya bikinin kopi ya, Mbah!” Tiba-tiba Dewa berinisiatif mengecek termos di meja makan Mbah Bengkong dan mencari gelas untuk kopi.

“Hmmm..”
Mbah Bengkong membalas seadanya, namun saat itu aku merasa suara Mbah Bengkong sedikit berbeda. Saat aku memperhatikannya dengan lebih jeli, aku baru sadar bahwa sedari tadi mbah bengkong menunduk dan memejamkan matanya di jendela yang mengarah ke Langgar.
Dewa membuatkan tiga gelas kopi. Ia mengantarkan kopi untukku dan dirinya, sebelum akhirnya meletakkan kopi satu lagi di dekat mbah bengkong.

“Monggo, Mbah..” Dewa mengantarkan dengan penuh sikap yang sopan.
Jauh lebih sopan dari saat ia berbicara dengan Mbah Bengkong sebelumnya. Saat ini, aku merasa bahwa situasi mulai berbeda.
Mbah Bengkong mengambil gelas kopi itu dan menyeruputnya tanpa menoleh ke arah kami.
Ia masih terus menutup matanya sambil mengarah ke arah langgar. Sementara aku dan Dewa hanya menanti sambil menikmati kopi hitam yang Dewa buatkan untukku.
Tak berapa lama setelahnya, terdengar suara Mbah Bengkong menghela nafas. Ia pun berpaling menoleh ke arah kami.
“Ada jasad yang menjadi tumbal belasan tahun lalu. Tubuhnya dipisahkan dan ditanamkan di empat penjuru desa. Itu adalah batas dari wilayah perjanjian gelap yang terjadi..” Ucap Mbah Bengkong.
Aku benar-benar heran, dari mana Mbah Bengkong mengetahui tentang hal ini begitu saja?
“Kepala jasad itu tertanam di satu tempat yang menjadi sarang makhluk itu. Kalau ingin menghentikan Tenung talisukmo, ktiga bagian tubuh lainnya harus digali dan dibakar lebih dulu. Tapi saya sendiri tidak tahu apa akibatnya…”
Aku memperhatikan jam dan mendapati jarum jam masih menunjuk ke tengah hari. Masih ada waktu untuk mencari keempat bagian tubuh tumbal yang menjadi pengikat kutukan ini.
“Kami cari, Mbah. Kami akan meminta pertolongan ustad Kusni juga.” Ucapku.

Mbah Bengkong mengangguk, aku tahu ia masih berusaha mencari petunjuk lain.
Entah mengapa tubuhnya terlihat lelah setelah berpaling dari jendela tadi. Kami pun memutuskan untuk membiarkan Mbah Bengkong sendirian dulu.
Tapi tepat saat kami membuka pintu, tiba-tiba seseorang memandang kami dari seberang jalan desa.
Itu Mbah Guru. Tangannya menyeret seorang anak kecil yang kejang-kejang dengan wajah yang pucat.

Kami benar-benar kesal melibat pemandangan itu, namun bukannya takut dengan keberadaan kami, Mbah Guru malah tersenyum seolah menantang.

Dari seberang jalan, Mbah Guru memandang kami dengan senyuman yang aneh. Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Mbah Guru yang selama ini tenang dan bersikap berwibawa, kini berada di hadapanku dengan menyeret seorang anak kecil.

Tubuh anak itu terlihat kaku dan terus kejang-kejang. Wajahnya pucat dan penuh dengan luka.

“Mbah Guru?! Apa-apaan ini?!” Aku mencoba mempertanyakan apa yang ia perbuat, namun Dewa tiba-tiba menahanku untuk menghampirinya.
“Jangan, Mar..”

“Kik… kik… kik…” Mbah Guru tiba-tiba tertawa dengan suara yang aneh. Dia benar-benar tidak seperti Mbah Guru.

Di tengah kebingungan kami, dari belakang mbah bengkong menghampiri kami. Ia melihat mbah Guru dan menggeleng. “Owalah…” responnya singkat.

Mbah Bengkong dengan begitu saja membuang kopi bekas dari gelasnya ke hadapan Mbah Guru, dan anehnya sosok yang kami lihat seperti mbah guru itu berubah menjadi seekor monyet yang menyeret temannya sendiri.

Monyet itu pun meringis mendesis ke arah kami dan bergegas berlari ke arah lain dan menghilang.

“Ini tidak akan mudah. Sepertinya lelembut di sekitar sini sedang tertarik pada desa kita..” Jelas Mbah Bengkong.

Hawa malam itu terasa semakin menusuk. Suara cemas warga masih terdengar dari beberapa rumah. Sialnya lagi, menurut cerita mbah bengkong mungkin di setiap rumah sudah ada demit-demit yang mengawasi, menanti anak-anak itu mati dan menjadi kawan mereka.

Aku dan Dewa buru-buru mencari keberadaan ustad Kusni dan Bapak. Ustad Kusni masih sibuk memeriksa keadaan anak-anak yang masih belum pulih. Sementara bapak mencoba menenangkan orang tua anak-anak itu. Saat aku ingin menceritakan tentang apa yang kami ketahui, Ustad Kusni mengajak kami untuk membicarakan ini semua di masjid.

“Tenung?” Ustad Kusni merespon ceritaku.

“Bapak nggak nyangka masih ada yang pakai begituan di zaman begini,” Bapak menggeleng tak menyangka dengan apa yang ia dengar.

“Di agama Islam, Tenung itu sihir. Semua dikerjakan oleh jin yang memanipulasi manusia.” Jelas Ustad Kusni.

“Terus kita harus bagaimana, Ustad? Mbah Bengkong meminta kami mencari keempat bagian tubuh yang dikubur di penjuru desa dan membakarnya hingga musnah?” Tanya Dewa.

Ustad Kusni menghela nafas dan diam sejenak. Sepertinya ia juga memikirkan hal lain. Suasana di masjid hening sesaat. Kami menunggu respon dari Ustad Kusni yang kami percaya dapat memberikan jalan yang paling baik untuk masalah ini.

“Yang saya takutkan, Mbah Bengkong juga mendapat petunjuk itu dari Jin. Saya tahu Mbah Bengkong orang baik, tapi sosok yang berkomunikasi dengan Mah Bengkong, kita tidak bisa memastikan.”

Ucapan Ustad Kusni ada benarnya. Dewa lah yang menyadari lebih dulu bahwa selama di rumah tadi, Gerak gerik Mbah Bengkong seolah tengah berkomunikasi dengan sosok lain.

“Lantas kita harus bagaimana, Ustad?” Bapak memastikan apa yang harus kami perbuat.

Ustad Kusni pun terlihat cukup bingung. Ia berbalik menatap lafadz Allah di belakangnya dan merenung sesaat.

“Pernah ada kejadian orang-orang yang menemukan buhul di rumahnya, dan membakarnya begitu saja. Entah bagaimana ceritanya, tapi orang itu berakhir celaka.” Gumam Ustad Kusni.

“Seperti yang terjadi pada saya, Ustad. Saat saya mengambil benda-benda gaib di dekat langgar, Jin-jin itu mengincar saya,” Dewa memperjelas keadaanya.

Aku pun pernah mendengar hal serupa, bahkan terjadi di kampung ini. Ada salah seorang perempuan di desa yang tiba-tiba sakit terus menerus.

Penyakitnya yang aneh membuat warga menduga perempuan itu terkena santet. Sang ayah yang menemukan buhul perantara santet itu buru-buru membakarnya. Alhasil sang ayah mengalami sakit yang lebih parah dari anaknya itu.

“Maksudnya, bisa saja hal serupa akan terjadi bila kita menemukan dan membakar benda-benda itu?” Tanyaku.

Ustad Kusni mengangguk. Aku berpikir ini seperti jalan buntu. Apa memang harus ada yang berkorban untuk menyelamatkan anak-anak di desa ini? Pikirku saat itu.

“Biar saya saja yang membakarnya, ustad! Kumpulkan saja di satu tempat!” Ucap Dewa. Ia berniat mengambil semua resiko ini sendiri.

“Nggak, Wa! Jangan ngawur! Jangan nekat lagi, kamu!” Balasku.

“Nggak ada waktu lagi, Mar. Keburu pagi!”

“Tetap nggak bisa! Kamu pendatang di sini! Harusnya kamu malah nggak terlibat urusan ini!” Kali ini aku cukup keras pada Dewa. Aku tahu niatnya baik, tapi aku yakin masih ada cara lain.

“Ustad.. Kalau kita gali bagian tubuh itu dan kita kuburkan dengan layak seperti ajaran Islam, apakah mungkin roh pemilik bisa tenang dan terlepas dari ikatan tumbal?” Bapak tiba-tiba terpikirkan cara itu.
Ustad Kuni merenung sejenak, dari wajahnya ia melihat kemungkinan bahwa ucapan bapak ada benarnya.

“Itu masuk akal! Jika harus mengambil resiko, saya lebih memilih mencoba metode itu daripada harus meminta Mas Dewa memusnahkan benda-benda itu sendiri,” Balas ustad Kusni.

Saran dari bapak terdengar masuk akal bagi kami. Kami pun setuju dan Ustad Kusni membawakan kami masing-masing satu tas kain berisi satu botol air doa dan gulungan kain kafan. Kami mengambil cangkul dan alat seadanya yang sekiranya bisa membantu kami menggali.

“Kita kuburkan di tanah yang baik. Saya akan ke pemakaman desa dan mempersiapkan tanah untuk mengubur bagian tubuh mayat itu. Siramkan air doa itu pada setiap bagian tubuh saat kalian menemukannya. Jangan tergoda oleh hasutan apapun,” Peringat ustad Kusni.

Saat itu Aku, Bapak, dan Dewa berpencar berkeliling desa. Petunjuk kami hanyalah kami harus tiga buah gundukan yang berada di batas desa. Aku melihat bapak segera bertanya pada beberapa warga, namun aku melihat Dewa seolah merasa yakin dengan arah yang ia tuju.

Sejujurnya, aku merasa ada yang berbeda dengan Dewa. Firasatku saat itu membuatku lebih ingin membuntuti Dewa daripada mencari gundukan tanah itu.

Dewa berjalan perlahan mengelilingi desa. ia terlihat celingak-celinguk ke berbagai arah. Bukan sedang mencari sesuatu, namun seolah sedang berusaha menghindari orang lain. Saat ia menoleh ke belakang, aku pun buru-buru bersembunyi agar ia tak menemukanku.

Benar saja, ia tidak memeriksa ke pinggir desa. Melainkan meninggalkan desa menuju ke arah kebun jati yang berjarak cukup jauh dari desa. Apa yang Dewa niatkan?

Aku diambang keraguan. Haruskah aku terus mengikuti Dewa sementara waktu kami tidak lagi banyak? Tapi dalam kondisi ini, aku lebih memilih mengikuti naluriku dibanding akal sehatku.

Dengan berhati-hati aku mengikuti jejak Dewa memasuki kebun-kebun jati yang gelap. Ia tidak menggunakan penerangan sedikitpun. Hanya cahaya bulan yang menjadi sumber cahaya di jalur yang kami lalui. Udara dingin semakin menusuk dan suara gemerisik daun jati terdengar sepanjang aku melalui kebun ini.
Tak berapa lama, aku melihat ada sumber cahaya kecil di sudut hutan jati. Dewa mengarah ke sana seolah sedari awal memang itu tujuannya.

Ada seseorang di sana…

Semakin mendekat aku semakin mencium aroma kemenyan yang terbawa oleh angin. Aku mulai melihat bahwa sumber cahaya itu berasal dari lampu minyak yang diletakkan di sebelah tungku tempat kemenyan itu di bakar.

Dewa mendatangi orang yang mulai tidak terlihat asing. Semakin aku mendekat, aku semakin mengenali sosok itu. Ia adalah mbah bengkong. Bukankah sebelumnya ia ada di rumahnya? Mengapa Dewa bisa tahu dan menghampiri Mbah Bengkong di sini?

Aku menahan diri untuk tidak mendatangi mereka. Aku benar-benar penasaran, apa yang mereka tutupi dari kami hingga harus diam-diam bertemu di hutan jati seperti ini?

Dewa duduk di hadapan Mbah Bengkong. Saat itu mbah bengkong mengeluarkan sesuatu dari tas anyamannya ke hadapan mereka. Aku mendekat perlahan bersembunyi diantara pohon-pohon jati yang sebenarnya tidak bisa menutupi tubuhku sepenuhnya.

Semakin mendekat baru aku bisa melihat bahwa di hadapan mereka telah bergelimpangan bangkai marmut yang dikeluarkan oleh mbah bengkok. Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang mereka rencanakan.

Bau kemenyan pun semakin menyengat. Dari tempatku berada Dewa dan Mbah Bengkong terlihat berbicara begitu akrab. Entah apa yang mereka bicarakan, namun di tengah perbincangan itu tiba-tiba mbah bengkong memotong bangkai marmut dengan parang hingga darah hewan itu pun bermuncratan.

Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Dewa dan Mbah Bengkong mengobrol dengan santai sambil memakan bangkai marmut itu begitu saja.
Aku hampir tak mampu menahan mual melihat apa yang mereka lakukan di sana. Saat itulah aku memutuskan untuk mendatangi mereka dan mempertanyakan apa yang mereka lakukan.

“Dewa! Apa-apaan ini?!” Teriakku membuyarkan apa yang tengah mereka lakukan.

Dewa dan Mbah Bengkong tidak segera menanggapiku. Mereka masih menikmati bangkai marmut yang berdarah-darah di hadapan mereka.
Aku pun mendekat dan mencoba menghentikan mereka. Saat itulah mereka menoleh ke arahku dengan wajah yang berlumuran darah hewan kecil itu.

Mbah Bengkong, dan Dewa tersenyum sedikit tertawa ke arahku. Dalam sekejap aku pun sadar, mereka bukan dewa dan Mbah Bengkong yang ku kenal.

Tubuhku pun gemetar melihat sosok yang semakin terlihat mengerikan itu.

“Si–siapa kalian?!” Teriakku sambil melangkah mundur.

Alih-alih menjawab, mereka hanya terus tertawa dengan suara yang semakin nyaring. Saat itu aku pun sadar bahwa aku telah terjebak oleh perangkap ‘mereka’.

Dengan segera aku pun bergegas berpaling dan berlari kembali ke desa. Aku tak melihat mereka mengejar, namun suara tawa mereka masih terus terdengar di sekitarku. Aku merasakan ada bahaya yang mengincarku.

Lari… aku harus terus berlari.

Hanya kata-kata itu yang terus terlintas di pikiranku. Tapi sejak saat aku berpaling tadi seketika suasana benar-benar berbeda. Kebun jati tempatku berada tidak seperti sebelumnya.

Hanya pohon-pohon jati yang gersang dengan batang yang menghitam yang ada di sekitarku. Suara gemerisik dedaunan berganti dengan suara tawa samar dari berbagai sisi.

Bruggghh!!

Aku terhenti saat melihat sesuatu jatuh di hadapanku. Saat itu aku sudah menduga bahwa benda itu pasti bukanlah hal yang baik. Dan benar, sebuah bungkusan daun jati jatuh terbuka di hadapanku dengan bangkai marmut yang berdarah-darah bergelimpangan.

Aku pun menoleh ke arah asal benda itu terjatuh, dan seorang nenek yang mulutnya penuh darah sedang tertawa-tawa di atas pohon sambil menatap ke arahku.

“Setan!! Se–setan!!!”

Aku berlari meninggalkan sosok itu, namun di tempat itu aku seperti tontonan bagi makhluk-makhluk tak kasat mata yang ada di sana. Tawa mereka seolah membuatku sebagai hiburan untuk mereka.

Dengan susah payah aku mengingat jalan keluar dari kebun jati itu dan berhasil mencapai perkebunan warga yang saat ini terlihat tandus. Aku menoleh ke arah desa, dan apa yang terlihat di hadapanku benar-benar tidak masuk akal.

Desa menghilang…

Tak ada bangunan ataupun Gapura desa di tempat seharusnya bangunan itu berada. Aku menoleh ke segala arah dan tak dapat menemukan rumah-rumah warga dan bangunan apapun.

Jantungku berdegup kencang, nafasku tak beraturan. Dengan langkah kaki yang lemas aku meneruskan langkahku menuju ke tempat dimana desaku seharusnya berada. Ternyata tak semua bangunan hilang. Aku masih bisa melihat sebuah sumur dan…
Langgar.

Langgar yang berdiri di tanah milik Mbah Guru masih ada di sana. Hanya dua bangunan itu yang tersisa di desa.

“Bapak?! Dewa!! Ustad!!” AKu mencoba berteriak-teriak mencari pertolongan. Namun aku sadar bahwa aku tidak benar-benar berada di desaku.

Tak ada tujuan lain untukku saat itu selain langgar yang merupakan satu-satunya bangunan yang bisa terlihat di depan mataku. Tapi sebelum mencapai ke sana, aku melihat sesuatu berusaha keluar dari lubang sumur.

“Tolong… to… long…”

Suara merintih terdengar dari sumur tua itu. Seharusnya sumur ini ada di halaman Mbah Tarmadi dan sempat digunakan oleh warga desa pada zaman dulu.

Suara itu terdengar lirih. Aku pun mengira ada orang lain yang terjebak sepertiku di sini. Dengan berhati-hati aku mendekat ke arah sumur memastikan siapa yang berteriak dari sana.

“Siapa?!” Teriakku dari jauh.

“To..long.. keluarkan saya!” Sekali lagi suara itu terdengar lirih. Tapi saat itu, aku memutuskan untuk menghentikan langkahku.

Sesuatu yang bergerak muncul dari dalam sumur. sosok yang terbungkus kain putih lusuh menggeliat dari sumur dan menatap ke arahku.
“Tolong..”

Po–pocong? Itu Pocong! Dari dalam sumur itu satu persatu jasad yang terbungkus kain kafan itu keluar dari sumur, menggeliat dari tanah dan berusaha mendekat ke arahku.

Aku sempat terjatuh melihat pemandangan mengerikan itu. “Pergi! Pergi!!”

Sekuat tenaga aku memaksa kakiku untuk berdiri dan meninggalkan sumur itu. Pocong-pocong itu masih terus berteriak meminta tolong. Saat aku menoleh, pocong-pocong itu masih menggeliat di tanah mengarah ke arahku.

Hanya langgar itu harapan terakhirku saat ini. Entah apa yang ada di sana nanti, setidaknya aku harus mencoba mendatangi tempat yang menjadi awal mula semua masalah ini.

Degg…

Saat aku mendekat, rasa takut semakin menjalar. Aku melihat cahaya kecil menyala dari dalam langgar. terlihat ada seseorang di dalam. Aku pun mendekat dengan berhati-hati.

Ada seorang perempuan tua berambut panjang duduk di tengah-tengah langgar. Ia terlihat sedang mengelus-elus sesuatu sambil menggumamkan tembang.

Tak lelo, lelo, lelo ledung,
Cep meneng aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane,
Yen nangis ndak ilang ayune

Aku tahu rasa takut yang kurasakan berasal dari sosok itu. Tembang yang seharusnya menenangkan itu terdengar begitu mencekam di malam itu.

Saat semakin mendekat, aku dapat melihat dengan jelas apa yang ada di sana. Sosok perempuan tua yang mengenakan kebaya dan berambut panjang itu sedang mengelus-elus rambut dari sebuah kepala.

Pemandangan itu semakin mengerikan ketika aku sadar bahwa kepala itu terlihat hidup dan terus menatap perempuan tua itu dengan ketakutan.

“Ambil kepala itu…”
Samar-samar ada suara bisikan yang terdengar di sekitarku.

“Cepat! Ambil kepala itu!”
Itu suara Mbah Bengkong. Seketika aku ucapan Mbah Bengkong sebelumnya.

“Kepala jasad itu tertanam di satu tempat yang menjadi sarang makhluk itu. Kalau ingin menghentikan Tenung talisukmo, keempat bagian tubuh itu harus digali dan dibakar lebih dulu. Tapi saya sendiri tidak tahu apa akibatnya…”

Apa itu itu artinya kepala yang dipegang oleh sosok itu adalah kepala jasad yang dimaksud?

Aku menengok ke segala arah mencari asal suara mbah bengkong, namun tak ada siapapun.

Setelahnya, suara Mbah Bengkong tak lagi terdengar.
Bagaimana cara aku bisa mengambil kepala itu? Apa yang harus aku lakukan setelahnya? Aku yakin makhluk itu tidak akan tinggal diam jika aku merebut paksa kepala itu. Mungkin justru aku bisa bernasib seperti anak-anak desa jika berurusan dengan makhluk itu.

di tengah kebingunganku itu sayup-sayup terdengarar suara pengeras suara masjid yang melantunkan ayat-ayat suci. Itu suara Ustad Kusni. Sepertinya mereka sudah menyadari apa yang terjadi kepadaku, dan tidak tinggal diam.

Seketika suasana di sekitarku berubah. Dari arah kebun jati, dan sekitar desa terdengar suara jeritan yang mengerikan. Makhluk-makhluk itu kesakitan mendengar suara ustad Kusni yang terdengar sampai ke alam ini.

Tak terkecuali, makhluk di langgar itu…

Tiba-tiba hujan turun membasahi tanah. Suara rintikan hujan terdengar bersahutan dengan suara Ustad Kusni yang terdengar dari pengeras suara.

Makhluk-makhluk di langgar itu berteriak, menjerit, meronta-ronta di dalam langgar itu. Tak hanya makhluk itu, satu-persatu makhluk berjatuhan dari langit-langit langgar saat mendengar suara ayat-ayat suci yang dilantunkan ustad kusni.

Saat itu aku melihat makhluk itu menjatuhkan kepala itu di lantai.

Jantungku berdegup kencang, namun aku merasa bahwa itu adalah kesempatanku untuk mengambil kepala makhluk yang dijadikan tumbal itu.

Aku pun berlari menahan rasa takutku dan memasuki langgar sempit yang tak lagi pantas disebut sebagai langgar. Saat memasuki bangunan itu, aku merasa bahwa tak ada lagi tempat untuk manusia di ruang sempit ini.

langkah kakiku melangkah setapak demi setapak menghindari setan-setan yang meronta bergelimpangan di dalam langgar. Aku sadar mereka menyadari keberadaanku terutama sosok perempuan tua yang sebelumnya mengelus-elus kepala yang saat ini tergeletak di lantai itu.

“Nyai Kemuning, dia akan mengambil kepala itu!”
Tiba-tiba terdengar suara menggema di langgar. Suaranya juga terdengar tidak asing. Itu suara mbah guru!

Aku tak membuang waktu dan bergegas mengambil kepala itu dari lantai dan bergegas membawanya pergi.

“Lepaskan!!!” Perempuan tua yang disebut dengan nama nyai Kemuning itu berhasil menangkap kembali kepala itu dari tanganku. Satu tangannya mencengkeram lenganku dengan keras menyayat kulitku hingga darah mengalir.

Tak ada yang kupikirkan lagi saat itu selain membaca ayat kursi bersahutan dengan suara Ustad Kusni yang masih terdengar.

“Kurang ajar! Kurang ajar kalian!” Nyai kemuning kesakitan namun ia masih tidak ingin melepaskan kepala itu dariku. Aku yakin seandainya tidak ada suara doa-doa dari Ustad Kusni, mungkin Nyai Kemuning sudah menghabisiku saat itu juga.

Aku buru-buru mencari cara untuk melepaskan kepala itu dari Nyai Kemuning, Ia mulai berusaha berdiri dan saat itu aku menyadari tingginya hampir dua kali tinggi badanku.

Aku teringat akan benda yang dibawakan ustad Kusni. Saat itu aku membuka isi tas dan menyiramkan air doa yang dibawakan ustad kusni ke tangan Nyai Kemuning yang masih mencoba menarik kepala itu.

“Astagfirullahaladzim.. Astagfirullahaladzim.. Astagfirullahaladzim..”

Aku terus membaca istighfar sambil menyiramkan air itu ke kepala itu hingga tangan Nyai Kemuning.
“AAARRRGGHH!!! PANASSS!! KUBUNUH KAU MANUSIA LAKNAT!!!!” Teriak Nyai Kemuning.

Saat itu tangannya terlepas dari kepala itu. Dengan cepat aku pun berlari menjauh dari langgar. Yang kupikirkan saat itu hanya berlari dan berlari sejauh mungkin.
Bersembunyi.. aku harus bersembunyi…
Aku melewati sumur Mbah Tarmadi, namun sosok pocong-pocong itu masih menggeliat di sumur itu. Mereka tak mungkin mengejarku dengan keadaan seperti itu, mungkin saja aku bisa bersembunyi.

“KEMBALIKAN! KEMBALIKAN!”

Suara Nyai Kemuning masih terus terdengar. Dari jauh sosok itu masih terus terlihat berusaha mengejarku namun suara doa-doa Ustad Kusni terus menyiksanya. Aku kembali melangkahkan kakiku berlari keluar desa. Hawa dingin yang menusuk, tetesan hujan membuatku sulit memandang kedepan.

Aku hanya terus membaca doa dalam hati berharap adanya petunjuk akan apa yang harus kulakukan.

“Kau pasti mati…” Suara-suara dari atas pohon terdengar diantara suara rintikan hujan.

“Nyai kemuning akan membunuhmu! Khikhikhi…”
Setan-setan itu terus mengutukku, tapi tak ada yang ingin kulakukan lagi selain berlari dan berlari sembari terus membaca doa. Aku berhenti saat melihat beberapa orang berdiri di tengah hujan.

“Mbah Bengkong? Ustad Kusni?”

Aku melangkah mengatur nafasku memperhatikan dua sosok yang ada di depanku, tapi aku salah. Saat mendekat aku baru sadar bahwa sosok yang berdiri di hadapanku adalah Mbah Guru dan Seseorang yang lebih tua darinya.

“DIMANA KEPALA ITU!!!”
Deggg!!!

Tiba-tiba aku tersadar di pelataran masjid. Dewa, Bapak, Ustad Kusni, dan beberapa warga desa mengelilingku dengan wajah cemas. Aku sempat menoleh ke gerbang masjid, dan di sana terlihat Mbah Guru berdiri di sana.

“Damar?! Damar?!!” Dewa terlihat begitu khawatir.
“A–apa yang terjadi?” Tanyaku.
“Ada warga desa nemuin kamu di pingsan di dekat gapura. Mereka langsung bawa kamu ke sini!” Jelas Dewa.

Aku memegangi kepalaku. Rasa sakit dan lelah menyelimuti tubuhku seolah apa yang kurasakan itu benar-benar nyata.

“Mar? Tanganmu?” Dewa melihat bekas luka cengkeraman di tanganku. Luka itu benar-benar ada.
Mengetahui aku sudah sadar, tiba-tiba Mbah Guru masuk ke dalam halaman masjid dan menghampiriku.

“Dimana benda itu?” Tanya Mbah Guru tiba-tiba.
“Be–benda apa, Mbah?” Tanyaku.

“Tidak usah pura-pura! Kembalikan benda yang kau rebut dari Nyai Kemuning!” Teriak Mbah Guru.
Saat itu suara kasak-kusuk warga desa terdengar.

“Benda? Nyai kemuning?”
“Apa yang diambil? Siapa Nyai kemuning?”
Aku masih berusaha memasang wajah polosku seolah tak mengerti apa yang ia maksud.

“SERAHKAN!”

Wajah Mbah Guru memerah dengan rasa kesal. Dewa segera berdiri ingin membelaku tapi aku menahannya.
Aku berdiri dari posisi tidurku dan menunjukkan keadaanku.

“Ambil saja, Mbah kalau memang benda yang mbah maksud ada pada saya!” Ucapku sambil menunjukkan keadaanku dan menumpahkan semua benda di tas kainku.

Mata mbah Guru memeriksa semuanya dan tidak menemukan apa yang ia cari. Kepala jasad tumbal itu..

“Ingat kamu, Damar! Jangan main-main dengan saya dan keluarga saya!” Ancam Mbah Guru.

“Tidak, Mbah! Mbah boleh periksa sendiri!” Balasku.
Dengan wajah kesal, Mbah Guru melengos begitu saja dan pergi meninggalkan masjid. Warga desa bertanya-tanya akan apa yang dimaksud oleh Mbah Guru, namun kami berpura-pura tidak tahu.

Aku melihat jam di dinding masjid yang menunjukkan pukul empat pagi.

“Ustad, sudah hampir pagi?!” Saat itu aku teringat tentang rencana kami mencari bagian tubuh tumbal itu. Namun saat itu Dewa memintaku untuk tenang lebih dulu.

Setelah warga desa mulai membubarkan diri dari Masjid, Dewa pun menceritakan bahwa ketiga benda itu sudah ditemukan lebih dulu oleh Mbah Bengkong. Ia datang dan mengantar sendiri kepada Ustad Kusni di pemakaman.

Bapak melanjutkan cerita bahwa saat itu dirinya dan Dewa tersesat di hutan jati, namun mereka bisa segera selamat saat melihat keberadaan Mbah Bengkong dan Ustad Kusni. Hanya keberadaanku saja yang tidak berhasil ditemukan.

“Kita bertiga disesatkan, Mar. Sukma kita dibawa ke alam gaib,” Jelas Dewa.

Saat itu mbah bengkong mendekat ke arahku. Wajahnya terlihat begitu lelah.

“Saya bisa saja langsung menjemputmu, Nak Damar. Tapi di hadapan Nak damar ada kesempatan yang mungkin tak bisa kita temukan lagi..”

Aku mengerti maksud ucapan Mbah Bengkong. Ia menaruh harap padaku untuk merebut kepala tumbal itu dari makhluk yang berada di langgar.

“Anak-anak di desa gimana, Mbah?” Tanyaku yang masih cemas dengan keadaan anak-anak di desa.

“Setelah Ustad Kusni memakamkan tiga bagian tubuh tumbal itu, seharusnya anak-anak itu akan pulih. Tapi kita tidak tahu kapan tenung itu akan menyerang desa lagi…” Keluh Mbah Bengkong.

“Jadi maksud Mbah Tenung itu bisa menyerang desa lagi setelah semua ini?” Tanya Dewa.

Mbah Bengkong mengangguk. Ia menceritakan bahwa selama bangunan langgar itu masih dihuni oleh makhluk peliharaan itu, maka tidak menutup kemungkinan ada tenung-tenung lain yang bisa menyerang desa.

“Seandainya kita berhasil merebut benda terkutuk itu dari setan itu, mungkin saja semua kutukan ini bisa selesai…” Ucap Mbah Bengkong.

Ustad Kusni menghampiri Mbah Bengkong dan menepuk bahunya.

“Tidak usah memaksakan diri, Mbah. Allah pasti punya caranya sendiri untuk melindungi desa ini.” Hibur Ustad Kusni.

Mbah Bengkong kembali pada senyum ramahnya.
“Benar, setidaknya masalah anak-anak bisa selesai dulu,” Ucapnya.

Mbah Bengkong pun berusaha berdiri meninggalkan tempatnya. Namun sebelum kami berpisah, aku mencoba menyampaikan sesuatu.

“Kepala itu… Saya menyembunyikannya di suatu tempat.” Ucapku.

Mendengar perkataanku tiba-tiba Mbah Bengkong kembali menoleh. Ustad Kusni, bapak, dan Dewa pun menatapku dengan serius.

“Kamu yakin, Mar?” Tanya Dewa.

“Tidak, aku tidak yakin. Semua yang terjadi seperti mimpi. Tapi jika luka di tanganku ini nyata, mungkin saja kepala itu ada di tempat itu..” Balasku.

Saat itu kami semua sepakat untuk memeriksa tempat yang kumaksud. Tapi sebelum itu, Ustad Kusni mengajak kami untuk menunaikan sholat subuh terlebih dahulu.

Adzan subuh dikumandangkan oleh Ustad Kusni. Suasana desa terasa begitu sepi setelah kejadian semalam. Namun bagiku, suara Ustad Kusni yang menggema di pengeras suara masjid terdengar begitu merdu. Suara itulah yang menyelamatkan nyawaku dari makhluk-makhluk mengerikan di alam tempatku tersesat.

Sebelum matahari terbit lebih tinggi, Aku mengajak mereka mendatangi sumur Mbah tarmadi. Di alam itu aku sengaja membuang kepala tumbal itu di sumur setelah menyiramnya dengan air doa, membungkus kain kafan, dan membacakan doa.

Dewa memberanikan diri turun ke bawah sumur dengan bantuan Bapak. Dan benar saja, ia kembali ke atas dengan membawa bungkusan kain kafan persis seperti yang kujatuhkan di alam itu.

“Ini akan kita apakan, Ustad?” Tanya Dwa.

“Kita jadikan satu dengan bagian tubuh yang lain. Kita kuburkan jasad ini dengan layak agar terlepas dari kutukan makhluk itu..” Ucap Ustad Kusni.

Tanpa menunda waktu, kami segera menuju ke pemakaman. Sekali lagi makam ketiga anggota tubuh itu digali dan kepala itu dimasukkan. Selama prosesi pemakaman Ustad Kusni terus membacakan doa-doa tanpa henti.

Tepat saat kami selesai, langit hitam mulai memudar dan cahaya matahari pagi mulai muncul menerangi desa.

“Bapak mau kemana?” Tanyaku saat melihat bapak buru-buru mencuci tangan dan kakinya setelah menimbun tanah kuburan itu.

“Kalian istirahat dulu saja. Bapak mau memastikan keadaan anak-anak di desa,” Balasnya.

Bapak memang selalu seperti itu. Ia tidak akan tenang sebelum memastikan semuanya baik-baik saja. Aku sangat paham dengan perangainya, jadi tak ada yang bisa dilakukan selain menerimanya.

Setelah beristirahat sejenak, kami kembali ke masjid. Tak lama kemudian, Bapak datang dengan kabar baik dimana keadaan anak-anak di desa sudah membaik. Kami merasa lega mendengarnya, dan setelah itu, kami pun berpamitan dan kembali ke rumah masing-masing.

Siang itu, aku dan Dewa tidur dengan nyenyak. Kami terlalu lelah setelah kejadian semalam, tapi setidaknya kali ini kami benar-benar bisa tidur dengan tenang.

Tidak ada hal-hal aneh lagi setelah kejadian di malam itu. Aku dan Dewa benar-benar menikmati kehidupan kami di desa Srimulyo tempat yang begitu nyaman dengan warga desa yang begitu ramah.

Sayangnya, panggilan kerja pun akhirnya datang. Kami harus kembali ke ibukota untuk mengerjakan proyek baru yang didapatkan oleh perusahaan kami. Kontrak kerja selama tiga tahun membuatku harus kembali meninggalkan desa.

Tapi kali ini aku akan lebih sering menghubungi bapak. Agar tidak sering-sering merepotkan pak RT saat menghubungi rumah, aku memasangkan telepon di rumah bapak. Setidaknya kami bisa saling berbagi kabar dengan lebih sering setelah ini.

***
Beberapa tahun berlalu. Aku dan Dewa merasa bahwa pemikiran kami sedikit lebih matang setelah pulang dari desaku dulu. Kami bisa mengatur keuangan dengan lebih baik dan menghargai setiap pekerjaan, dan lingkungan kerja yang kami dapat.

“Coba kalau karyawan-karyawan di sini seramah orang-orang desamu ya, Mar? Kerja seumur hidup di sini juga siap aku,” Canda Dewa.

“Jangan, nanti aku malah males pulang. Kerja sama orang-orang yang sifatnya beda-beda kan ada serunya sendiri.. “

“Bener juga..”

Dewa sudah memutuskan saat libur lebaran berikutnya ia ingin ikut lagi pulang ke desaku. Bahkan ia sempat berencana untuk membeli tanah di desa saat uangnya terkumpul nanti.

Saat ini langgar di desa sudah diratakan dengan tanah. Ada tragedi yang menggegerkan desa yang membuat warga memutuskan agar langgar itu dihancurkan. Gendis yang menceritakannya padaku.

Beberapa bulan setelah kami meninggalkan desa, Bapak mendapat kabar bahwa Mbah Guru sakit parah. Sakitnya dimulai saat Mbah guru tiba-tiba terpeleset dan tulangnya bergeser hingga sulit untuk berjalan.

Sakit Mbah Guru benar-benar aneh. Anak-anaknya sempat merawat Mbah Guru di rumah sakit kota. Awalnya anak-anak Mbah Guru tak ingin Mbah Guru diurus di desa. Mereka ingin mengurus Mbah Guru di rumah sakit ternama.

Namun entah bagaimana, kekayaan mereka semakin lama semakin menyusut.
Pada akhirnya dalam keadaan sakitnya, Mbah Guru tetap menyusahkan warga desa. Sekilas Mbah Guru tidak terlihat sakit. Namun tubuhnya semakin kurus, muntah darah, dan semakin sulit untuk meninggalkan kasur. Warga menganggap Mbah guru sudah penyakit tua dan memang menunggu ajal menjemputnya.

Tapi mbah guru hanya tersiksa dan terus tersiksa. Sakaratul mautnya membuat siapapun yang melihatnya merasa kasihan. Bahkan Mbah Guru pernah menghilang dari rumahnya kadang ditemukan di pemakaman dan kadang ditemukan sedang meringkuk kaku di langgar.

“Ampun… ampun…” Kadang suara Mbah Guru terdengar oleh warga desa yang melintas di langgar.
Setelah sekian lama melihat keadaan Mbah Guru seperti itu, warga menyarankan agar keluarga mbah guru meminta tolong pada Mbah Bengkong. Namun mereka menolak.

Menurut mereka, tidak sepantasnya orang terpandang seperti keluarga mereka meminta tolong pada mbah bengkong. Tapi warga saat itu bersikeras bahwa mungkin mbah bengkong yang bisa menolong Mbah Guru.

Bapak sempat mengobrol dengan Mbah Bengkong dan menanyakan jika mungkin mbah bengkong membantu memeriksa Mbah Guru. Saat itu Mbah Bengkong hanya tersenyum seperti biasa tanpa membalas sepatah katapun. Bapak heran, selama ini Mbah Bengkong tak pernah menolak permintaan tolong dari siapapun.

Mengetahui cerita itu Ustad Kusni mencari informasi dari warga-warga desa yang sudah sepuh. rata-rata dari mereka mengatakan bahwa Mbah Guru harus meminta maaf pada Mbah Bengkong.

Saat Ustad Kusni menyampaikan hal ini pada anak-anak Mbah Guru, mereka tidak terima. Mereka merasa bahwa ayahnya tidak memiliki dosa apapun pada Mbah Bengkong.

Berbeda dengan anak-anaknya, Istri Mbah Guru justru bersedia mendengar cerita dari Ustad Kusni. Ustad pun menceritakan tentang apa yang ia dengar dari warga desa yang seumuran dengan Mbah Guru.

Mereka bercerita bahwa dulu, sebagian tanah yang mereka tempati termasuk yang digunakan di langgar adalah tanah milik mbah Bengkong. Dulu mbah bengkong sering meminjam uang pada Mbah Guru untuk makan, ia mengira Mbah Guru dengan ikhlas ingin membantu.

Tapi setiap akan di bayar, Mbah Guru menolak dan mengatakan bisa dibayar kapan saja.
Tapi setelah sekian lama, Mbah Guru tiba-tiba meminta tanah Mbah bengkong dengan alasan pembayaran atas hutangnya.

Saat itu Mbah Bengkong yang benar-benar tidak tahu harus apa hanya bisa mengikhlaskan haknya itu.

Awalnya anak-anak tidak percaya dengan cerita itu, tapi ternyata Istri Mbah Guru mengatakan bahwa apa yang diceritakan oleh warga sepuh itu benar. Warga pun merayu Mbah Bengkong untuk menjenguk Mbah Guru.

Saat itulah Istri Mbah Guru dan anak-anaknya mewakili Mbah Guru untuk meminta maaf. Mereka pun bersedia mengembalikan tanah yang diambil dari Mbah Bengkong.

Mengetahui niat itu, Mbah Bengkong pun memaafkan dengan berat hati. Luka yang ia pendam sudah terlalu dalam. Ia memaafkan dengan memberi syarat jika saat meninggal nanti, ia tidak ingin Mbah Guru dimakamkan di desa. Anggota keluarga pun menyanggupinya.

Setelahnya Mbah Bengkong mencoba untuk menenangkan Mbah Guru. Namun berbagai hal aneh terus terjadi.

Saat dibacakan Yasin, Mbah Guru malah mengamuk sejadi-jadinya. Untuk menenangkan nya, Mbah Bengkong meminta satu genteng di atas tempat tidur Mbah Guru dibuka agar langit terlihat dengan jelas. Mbah Guru pun dimandikan sambil di pecut-pecut dengan daun kelor.

Pada hari ke tujuh, Mbah Guru pun meninggal. Sesuai janji, jasadnya pun tidak dikuburkan di desa. dan desa pun kembali tenang.

Satu hal yang tidak disangka-sangka oleh warga. Hanya selang beberapa minggu setelah berpulangnya mbah guru, Mbah Bengkong ditemukan meninggal di rumahnya. Ia meninggal dengan tenang masih dengan senyum yang menjadi ciri khasnya.

***
Setelah wafatnya Mbah Bengkong, Warga memutuskan untuk meratakan langgar itu dengan tanah. Berbagai kejadian aneh pun terjadi saat bangunan itu dihancurkan. Marmut yang sebelumnya dipelihara tiba-tiba hilang begitu saja. Anggota keluarga tidak ada yang tahu.

Kecelakaan-kecelakaan aneh terjadi bahkan ada jari seorang warga yang putus saat mencoba membongkar pondasi langgar. Belum lagi selalu ada warga yang kesurupan ketika mengerjakan pembongkaran Langgar itu.

Mau tidak mau, hampir setiap hari Ustad Kusni menemani warga saat membongkar langgar itu. Sebelum langgar itu selesai, warga-warga desa yang sepuh melakukan rapat sendiri. mereka mengabarkan pada Ustad kusni bahwa di tempat imam di langgar perlu didoakan dulu sebelum di gali.

Baca: Cerita Horor Santet Sang Penari

Awalnya ustad Kusni tak mengerti maksud mereka. Namun saat dilakukan ternyata ditemukan kain mori dibentuk kayak pocong isi rambut. Saat benda itu dicoba untuk dibakar, benda itu tak bisa terbakar sampai habis walaupun sudah dicoba berkali-kali. Api itu selalu padam sebelum benda itu habis terbakar.

Akhirnya benda itu pun dilarung ke laut dengan bantuan salah seorang warga.

Walau cukup menggegerkan desa, akhirnya Langgar pun berhasil dibongkar dan tanah itu tak lagi dibangun apapun. Kisah tentang langgar di tanah Mbah Guru sampai saat ini masih menjadi cerita yang terus diceritakan pada anak-anak di desa Srimulyo.

***
TAMAT

Write a comment