SlotRaja777 – “Sebenarnya sudah lama Ipau sakit, sakitnya pun bukan sakit biasa. Dia terkena santet dari mantan suaminya.”
Cu Ipau, adalah seorang janda yang tidak punya anak. Beberapa tahun lalu ia diceraikan oleh suaminya dengan alasan karena selama 8 tahun pernikahan, Cu Ipau tak juga kunjung hamil. Sementara mertua dan keluarga besar suaminya terus menerus mendesak
supaya Cu Ipau hamil dan punya anak. Begitulah, sekilas kisah hidup Cu Ipau yang Iwan ketahui.
Iwan, seorang pemuda berusia 25 tahun, ia bekerja di sebuah toko hp yang lumayan besar dengan 10 karyawan yang tugasnya berbeda-beda.
Saat itu sekitar jam 8 pagi, dari balik meja kaca berukuran besar dan panjang yang berisi jejeran hp berbagai merk itu, sesekali Iwan melihat keluar toko. Ia berharap Cu Ipau tukang nasi kuning keliling langganannya lewat.
Namun, sekitar jam 9an baru lah Cu Ipau muncul. Dari kejauhan ia tersenyum seraya melambaikan tangan pada Iwan yang juga melambai dan bergegas mendekat kearah Cu Ipau.
“Kanapa hanyar aja pian datang cu?
(Kenapa baru datang cu?)” Tanya Iwan seraya mengambil 2 bungkus nasi kuning dari keranjang yang baru saja Cu Ipau turunkan.
“Iya kih tadi tu, ditinggal taksi aku. Paksa ae manunggu taksi lain. (Iya tadi itu, aku ketinggalan angkutan umum. Jadi terpaksa lah menunggu angkutan umum yang lain.)” Jawan Cu Ipau seraya membuka dompet berisi uang hasil jualan nasi kuningnya.
“Tapi Alhamdulillah habis sungsung pinanya nasi kuning pian hari ini cu. (Tapi Alhamdulillah sudah habis sepertinya nasi kuning pian cu.)” Kata Iwan seraya duduk lesehan di sebelah Cu Ipau
“Iyaam, Alhamdulillah banar. Kawa jua hari ini aku manukar ubat sakit lintuhut ni nah. (Iya, Alhamdulillah sekali. Akhirnya hari ini aku bisa beli obat sakit lututku ini.)” Ucap Cu Ipau dengan bibir tersenyum, tangannya asik memukul-mukul lututnya yang mulai terasa sakit.
“Kuat banar pian ni bajalan cu ae. Ulun haja mulai sini ka jambatan sana tu lapah sudah batis. (Pian kuat sekali berjalan cu. Kalau saya dari sini sampai ke jembatan sana saja, sudah capek sekali kaki.)”
“Aku ni ku kuat-kuat akan ae lagi nah, yang ngarannya hidup manyurangan di wadah urang. Babisa-bisa ae mahamba akan diri supaya kada kalaparan. (Terpaksa aku kuat-kuatkan, namanya juga hidup sendirian di tempat orang. Harus pandai-pandai membawa diri supaya tidak kelaparan.)”
Ucap Cu Ipau seraya menyeka air matanya.
Iwan mengelus pelan bahu Cu Ipau, perlahan Cu Ipau kembali tersenyum.
“Duduk dulu disini Cu kita ngobrol-ngobrol, toko juga lagi sepi.” kata Iwan
Cu Ipau mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya.
“Cu..”
“Ya?”
“Kenapa Ucu tidak menikah lagi aja?” Tanya Iwan seraya memakan nasi kuningnya
“Aku tidak ingin kecewa lagi Wan, dengan ketidak sempurnaan ku ini, mana ada lelaki yang mau dengan ikhlas dan tulus menerimaku, jadi makanya aku harus sadar diri.”
“Cu Ipau ini cantik kok, coba
cari saja yang duda sudah punya anak.” Kata Iwan
Cu Ipau tertawa kecil.
“Ucu takut tidak bisa mengurus anak orang Wan. Karena Ucu tidak ada pengalaman sebelumnya.”
Iwan mengangguk,
“Cu, hari raya nanti pulang ke kalteng ya?”
Cu Ipau menggeleng,
“Sayang biayanya Wan,
Lagipula kalai pulang ke kalteng untuk apa. Keluarga sudah banyak yang meninggal.”
Obrolan keduanya terhenti ketika beberapa pelanggan tampak memasuki halaman toko.
“Saya masuk dulu ya Cu. Makasih sudah ditemani ngobrol..” Kata Iwan seraya beranjak dari duduknya.
Cu Ipau mengangguk sambil tersenyum. Setelah Iwan masuk, Wanita itu lalu kemudian bersiap untuk pergi dari depan toko tersebut.
_________
Hari-hari berlalu.. Semuanya masih dan tidak ada yang berbeda.
Iwan masih rutin membeli nasi kuning Cu Ipau yang selalu lewat di depan toko tempatnya kerja. Sama seperti hari itu, Iwan sedang membeli nasi kuning, dan mengobrol santai dengan Cu Ipau. Namun tiba-tiba sebuah panggilan masuk berdering dari saku celananya.
Cepat-cepat Iwan mengangkat panggilan itu, yang ternyata dari ibunya.
Ibunya terdengar menangis histeris dari seberang telepon.
“Abah ikam maninggal… (Ayahmu meninggal)” ucap sang ibu di sela isakan tangisnya.
Jantung Iwan seketika terasa seperti berhenti berdetak, pandangannya terasa berkunang-kunang.
“Kenapa wan?” Tanya Cu Ipau cemas
“Abah, abah saya…” ucap Iwan dengan suara bergetar, ia tak kuasa meneruskan perkataannya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Cu Ipau, Iwan lantas bergegas masuk ke dalam toko untuk izin pulang ke rumahnya.
Memang ayahnya sudah sakit-sakitan dari 3 bulan yang lalu, namun ia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya akan pergi secepat itu meninggalkannya.
Dengan perasaan yang campur aduk, Iwan jadi kehilangan fokus saat membawa motornya. Hingga akhirnya, tepat di persimpangan jalan, Iwan mengalami kecelakaan. Kejadiannya begitu cepat, Iwan hanya ingat sesaat ketika tubuhnya terpental ke aspal, lalu setelahnya gelap.
Saat bangun, Iwan sudah berada di rumah sakit. Ternyata ia mengalami koma selama 5 hari karena kecelakaan yang ia alami sebelumnya.
Namun entah kenapa, setelah bangun dari koma nya itu, Iwan merasa kalau di sekeliling sudah sangat berbeda.
Ia menjadi sering melihat hal-hal aneh yang tidak biasa.
Hingga ia sulit untuk tertidur pada malam hari, karena suara-suara aneh selalu muncul di dekat telinganya membisikkan kata-kata minta tolong secara terus menerus.
“Iwan mau kerja lagi ma..” kata Iwan pagi itu
“Kerja dimana? Memangnya tempat kerjamu yang lama masih mau menerima kamu setelah kamu gak masuk berhari-hari itu?”
“Besok Iwan mau coba kesana ma, siapa tahu masih ada kesempatan.”ucap Iwan
“Ya sudah. Terserah kamu saja. Tapi jangan terlalu memaksakan diri ya nak. Kamu kan baru juga sembuh.”
Iwan mengangguk.
“Iwan kangen nasi kuningnya Cu Ipau ma. Sudah lama gak makan nasi kuningnya.” Kata Iwan
“Kangen nasi kuningnya atau kangen orangnya?” Tanya sang ibu dengan nada bercanda, membuat Iwan langsung tertawa.
“Sama nasinya sama orangnya juga ma. Iwan sudah menganggap Cu Ipau itu seperti kakak sendiri ma. Orangnya baik dan lembut kalau bicara.”
__________
Iwan sudah bersiap untuk pergi ke toko hp tempat ia bekerja sebelumnya. Ia masih sangat berharap kalau bosnya tidak memecatnya dari toko tersebut.
Dengan hati yang berdebar, Iwan pun berangkat. Singkatnya ketika ia sudah sampai di toko hp, teman-teman kerjanya langsung menghampirinya. Menanyakan kabar Iwan dll.
“Bos marah ya? Pasti aku sudah diberhentikan kan?” Tanya Iwan pada teman-temannya.
“Bos sudah dengar kabar saat kamu kecelakaan itu Wan, beliau juga ada mengirimkan bingkisan untuk kamu sewaktu kamu masih di RS. Kayaknya sih, kamu tidak diberhentikan Wan.”
Iwan menghela nafas lega, ia berharap apa yang dikatakan teman-temannya itu benar.
“Aku permisi mau ketemu bos dulu ya..” Ucap Iwan
Teman-temannya mengangguk. Iwan melangkah pelan keruangan bosnya yang berada di bagian belakang, ruangan bosnya itu semacam kamar dengan 1 kasur springbed, 1 kursi dan ada meja yang di atasnya terdapat monitor CCTV toko.
Saat itu bosnya sedang rebahan diatas kasur sambil bermain laptop. Ketika melihat Iwan berdiri di ambang pintu, bosnya langsung menyapa Iwan dengan ramah.
“Syukurlah kamu sudah sembuh Iwan. Kapan rencananya kamu mau kembali bekerja?” Kata bosnya dengan bibir tersenyum.
“Saya masih boleh kerja disini pak?” Tanya Iwan tak bisa menutupi rasa senangnya.
“Ya, tentu saja. Kamu masih karyawan di toko ini.”
“Alhamdulillah, terima kasih banyak pak. Tadinya saya kira saya sudah diberhentikan karena lama tidak masuk kerja.”
“Kamu tidak masuk kerja kan bukan karena malas, tapi karena kecelakaan. Mana mungkin saya memberhentikan karyawan terbaik seperti kamu ini.”
Iwan tersenyum,
“Kalau saya mulai hari ini boleh pak?” Tanya Iwan
“Tentu..”
“Baik pak, kalau begitu, saya mulai kerja hari ini saja pak..” Ucap Iwan dengan bibir tersenyum.
“Wan..” Panggil si bos ketika Iwan sudah berbalik ingin keluar dari ruangan tersebut.
“Iya pak..”
“Dari beberapa hari lalu, ada peraturan baru wan. Toko akan buka sampai jam 11 malam. Waktu kerja karyawan di tambah. Dan gajinya dinaikkan.” Ujar si bos
Iwan mengangguk,
Memang rencana itu sudah ia dengar sejak beberapa bulan lalu, dan ternyata baru diterapkan sekarang.
“Baik pak.”
“Ya sudah, selamat bekerja ya.” ujar si bos seraya mengacungkan jempol kanannya.
_____
Saat sedang duduk di belakang meja tempat memajang hp-hp yang dijual itu, Iwan sesekali melihat keluar toko, berharap Cu Ipau lewat. Namun meski sudah 3 hari Iwan kembali bekerja di toko hp itu, ia belum juga melihat Cu Ipau lagi. Entah kemana Cu Ipau, mungkinkah Cu Ipau berhenti jualan nasi kuning? Atau jangan-jangan Cu Ipau pulang ke kampung halamannya di kalimantan tengah.?
Malam itu, ketika Iwan sedang bersiap-siap pulang setelah menutup tokonya. Ia terlihat kaget kala melihat kemunculan Cu Ipau disana.
“Eh, Cu.. Kenapa malam baru kesini?” tanya Iwan setelah berhasil meredakan rasa kagetnya.
“Kamu sudah sehat?” kata Cu Ipau balik bertanya
“Iya Cu, Alhamdulillah sudah sehat.. Cu Ipau sendiri bagaimana kabarnya??”
“Kabar baik. Tumben bukanya sekarang sampai malam?” tanya Cu Ipau
“Iya Cu, peraturan baru di toko. Oh iya, Cu Ipau dari mana mau kemana malam-malam begini?”
Cu Ipau cuma tersenyum seraya memperlihatkan kantong plastik berwarna hitam di tangannya.
“Oh, ada yang di beli ya Cu.”
“Ini nasi kuning buat kamu, aku baru saja mengantar pesanan orang. Dan ini lebihan 1 bungkus. Mau?”
“Wah, mau cu.. Asikk, akhirnya makan nasi kuningnya Cu Ipau lagi. Pas sekali saya sudah lama tidak makan ini.”
Iwan lantas mengajak Cu Ipau untuk duduk di teras toko, kebetulan malam itu giliran Iwan yang menutup toko, jadi teman-temannya tadi sudah pulang lebih dulu sebelum toko tutup.
Dengan sangat lahap, Iwan memakan nasi kuning yang diberikan oleh Cu Ipau, sambil mendengarkan wanita itu bercerita.
“Aku sudah tidak jualan sampai sini lagi Wan. Kecuali kalau ada orang yang pesan, seperti malam ini, baru aku antarkan.” cerita Cu Ipau
“Loh kenapa Cu?” tanya Iwan
“Aku kan punya penyakit darah tinggi, jadi kurang bagus kalau tiap hari panas-panasan. Dan aku juga punya penyakit asam urat wan, kadang kalau sudah kambuh kakiku sakit sekali sampai nangis menahan rasa sakitnya.”
Iwan menghela nafas, ia menatap Cu Ipau dengan tatapan prihatin.
Pantas saja Cu Ipau terlihat lebih pucat, batin Iwan.
“Wan..” panggil Cu Ipau lembut
“Ya Cu?” jawab Iwan cepat
“Tidak jadi, nanti saja.”
“Loh, apa Cu? Mau bilang apa sama saya?” tanya Iwan penasaran
“Mau minta tolong sama kamu, karena aku rasa, cuma kamu yang bisa menolongku. Tapi, aku malu. Masa minta tolong sama kamu.” kata Cu Ipau diiringi senyuman kecutnya.
“Kalau saya bisa bantu, saya pasti bantu Cu.” kata Iwan
Cu Ipau tersenyum,
“Nanti saja wan, aku tunggu waktu yang pas dulu.”
Iwan mengalah, ia mengangguk lalu bergegas menghabiskan nasi kuning pemberian Cu Ipau. Iwan menebak, mungkin Cu Ipau ingin pinjam uang, tapi berhubung Cu Ipau tau kalau Iwan belum gajian, makanya dia tidak jadi mengutarakan maksudnya pada Iwan.
“Saya antar Cu Ipau pulang sekalian ya Cu..” kata Iwan akhirnya
“Tidak usah wan.. Masih ada yang mau aku beli dulu di depan sana. Kamu duluan saja.” tolak Cu Ipau
“Memangnya masih ada angkutan umum malam-malam begini cu?” tanya Iwan
“Gampang kalau masalah pulang. Disana ada tukang ojek.” jawab Cu Ipau masih dengan bibir tersenyum.
“Oh ya sudah kalau begitu, saya pulang duluan ya Cu..” ucap Iwan seraya berpamitan
Cu Ipau mengangguk, tangannya melambai pada Iwan.
_________
2 hari telah berlalu..
“Wan, aku pulang duluan yaa..” kata teman-temannya malam itu.
“Iya, nanti aku yang nutup toko dan mengantar kunci ke bos.” jawab Iwan
Setelah satu persatu teman-temannya pulang, Iwan pun melanjutkan bersih-bersih di toko.
(Iwan memang sangat loyal dalam bekerja, apapun yang bisa ia kerjakan, pasti ia kerjakan tanpa pamrih. Itulah sebabnya ia sangat disayang oleh bosnya dan tak jarang ia juga mendapatkan bonus dari si bos.)
Selesai bersih-bersih, Iwan lantas menutup toko.
Iwan berjalan pelan ke arah motor alm ayahnya terparkir. Saat sedang mengecek isi tasnya, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang.
“Astaghfirullah hal adzim… !” ujar Iwan setengah berteriak karena kaget.
Ternyata Cu Ipau sudah berdiri di belakangnya.
“Ya Allah Cu, bikin saya kaget aja..” ujar Iwan seraya mengelus dadanya.
“Maaf Wan, habisnya tadi aku panggil-panggil kamu tidak dengar.”
“Habis dari mana Cu?” tanya Iwan pada Cu Ipau, setelah rasa kagetnya mereda.
“Biasa, mengantar pesanan nasi kuning.” jawab Cu Ipau
“Oh iya Wan.. Ini aku bawakan satu bungkus untukmu.” lanjut Cu Ipau seraya memberikan kantong plastik hitam berisi sebungkus nasi kuning buatan Cu Ipau.
Iwan tersenyum menerima bungkusan itu,
“Wah, makasih banyak Cu, kebetulan saya memang sudah lapar.. Tadi tidak sempat makan karena toko hari ini ramai sekali..”
Iwan dan Cu Ipau lalu duduk di teras toko, sama seperti 2 malam yang lalu.
“Wan, kamu itu selain jadi pelanggan setia nasi kuning ku, tapi kamu juga merupakan satu-satunya teman yang aku punya. Aku tanpa sungkan dan ragu menceritakan masalahku padamu. Dan kamu selalu mendengarkan semua ceritaku. Terima kasih banyak ya Wan..”
Iwan tersenyum, namun pandangannya tetap tak teralihkan dari nasi kuning yang ia santap.
“Sama-sama Cu. Saya juga senang bisa jadi pelanggan sekaligus teman Cu Ipau yang baik dan tegar seperti ini.”
“Ah kamu Wan, bisa aja.”
“Oh iya Cu, masalah yang katanya Cu Ipau mau minta tolong itu, kalau boleh tau memangnya Cu Ipau mau minta tolong apa?” tanya Iwan
Cu Ipau terdiam cukup lama,
“Kebetulan saya dikasih bonus sama bos Cu, kalau semisal Cu Ipau mau pinjam uangnya, ini masih ada kok.”
Cu Ipau menatap wajah Iwan, Iwan mengernyit, wajah Cu Ipau terlihat semakin pucat.
“Cu Ipau sakit?” tanya Iwan
Cu Ipau mengangguk. Senyumnya tampak getir.
“Kalau begitu, ayo Cu saya antarkan beli obat ke apotik.” ujar Iwan
“Tidak usah Wan, ini cuma demam biasa aja, gapapa kok.”
“Tapi Cu..”
“Wan.. Aku mau tanya beberapa hal..” potong Cu Ipau
“Apa Cu?”
“Kalau seandainya nanti aku meninggal, kamu mau tidak kuberikan resep nasi kuning buatanku?” tanya Cu Ipau membuat Iwan jadi kaget.
“Cu Ipau kok bicara begitu..”
“Ya, namanya kan umur tidak ada yang tahu.”
“Iya sih, sampai saat ini saya juga tidak menyangka ayah saya akan pergi secepat itu Cu.”
“Wan, nanti kalau aku sudah tidak datang menemui kamu lagi, tolong datang ke alamat ini ya Wan. Ada banyak hal yang aku simpan untuk kamu disini.” ucap Cu Ipau seraya memberikan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat rumah.
Ragu-ragu Iwan menerima kertas berisi alamat rumah Cu Ipau tersebut.
“Cu, kalau Cu Ipau lagi sakit, saya bisa bantu Cu Ipau untuk beli obat atau mengantarkan ke rumah sakit. Cu Ipau jangan buat perasaan saya jadi khawatir begini. Saya sudah menganggap Cu Ipau seperti kakak kandung saya sendiri. Jadi tolong, Cu Ipau jangan sungkan sama saya.”
Cu Ipau tersenyum,
“Aku sudah terlalu lelah berjuang untuk tetap hidup Wan. Aku ingin pulang..”
Iwan menatap Cu Ipau dengan serius.
“Cu, Cu Ipau tahu tidak, kalau kehidupan itu sangat berharga. Bahkan banyak yang sudah meninggal ingin hidup lagi. Kematian bukan satu-satunya jalan untuk mengakhiri rasa lelah seseorang Cu. Saya, Cu Ipau, orang lain. Pasti merasakan lelah yang sama. Tapi kita harus tetap berjuang sambil terus berbuat baik sampai waktu kepulangan kita tiba. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup Cu, saya tidak mau Cu Ipau salah memilih jalan. Kalau ada masalah atau apapun itu, saya ada disini Cu. Cu Ipau bisa ceritakan apapun pada saya. Saya siap mendengarkan keluh kesah Cu Ipau.” Ujar Iwan menasihati Cu Ipau, Iwan mengira Cu Ipau ingin Bundir.
“Kamu salah paham Wan. Aku sama sekali tidak ingin melakukan bundir. Aku hanya lelah dan tidak ingin lagi berjuang untuk berobat. Aku akan membiarkan penyakitku ini menggerogoti tubuhku sampai aku mati nanti.”
“Memangnya Cu Ipau sakit apa?” tanya Iwan
Cu Ipau tak menjawab, ia hanya tersenyum kecut, matanya lekat menatap Iwan.
“Kamu tidak pulang?” tanya Cu Ipau
“Cu Ipau pulangnya saya antar saja ya..”Kata Iwan menawarkan.
“Tidak usah Wan. Aku sudah janjian sama tukang ojek tadi.” tolak Cu Ipau
“Ya setidaknya saya antar Cu Ipau sampai depan sana..”
Cu Ipau menggeleng,
“Kamu duluan saja Wan..” Cu Ipau lagi-lagi menolak.
Karena Cu Ipau tidak mau diantar, akhirnya Iwan pun pulang lebih dulu meninggalkan Cu Ipau sendirian.
___________
Hari-hari berlalu, tak terasa satu bulan sudah lewat. Tapi sudah setengah bulan ini, Iwan tidak pernah lagi bertemu dengan Cu Ipau. Mungkin karena di toko tempat kerja Iwan itu sudah menerapkan sistem kerja shift.
Saat sedang menulis isi kwitansi pembelian Hp salah satu pelanggannya, Iwan seketika teringat dengan secarik kertas berisikan alamat rumah Cu Ipau yang pernah wanita itu berikan padanya dulu.
“Wan, kenapa?” tanya temannya saat melihat Iwan yang melamun.
“Ah, anu.. Itu.. Aku hanya teringat nasi kuningnya Cu Ipau.”
“Oh iya ya.. Sudah lama ya, Cu Ipau tidak kesini. Seingatku Cu Ipau sudah tidak pernah kesini lagi setelah kamu kecelakaan itu Wan. Mungkin Cu Ipau berhenti jualan.”
“Aku masih bertemu Cu Ipau setengah bulan yang lalu, dia sering mampir kesini setelah mengantar pesanan nasi kuning milik orang lain.”
“Oh ya? Kapan?”
“Malam hari, dia selalu datang waktu toko tutup..”
Teman Iwan itu langsung mengernyitkan keningnya.
“Oh ya?”
“Iya. Aku juga pernah di kasih alamat rumahnya, katanya aku disuruh datang kesana kalau dia sudah tidak datang lagi menemuiku.”
Lagi-lagi, temannya itu mengernyitkan keningnya.
“Terus? Kamu sudah pernah ke rumahnya? Kan katamu sudah setengah bulanan kamu tidak pernah lagi bertemu Cu Ipau..”
“Aku ragu kesana.”
“Kenapa?”
Iwan menggeleng.
“Ya sudah kalau begitu, nanti setelah pulang kerja, aku temani kamu ke rumahnya.” ujar temannya itu sambil menyunggingkan senyum.
Iwan mengangguk.
Singkatnya sekitar jam setengah 4 sore, Shift iwan dan temannya pun berakhir. Setelah meninggalkan halaman toko, mereka pun langsung melesat menuju ke alamat rumah Cu Ipau yang tertulis di secarik kertas yang Iwan pegang.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menitan, keduanya tiba di sebuah rumah kecil yang tampak kosong itu.
Melihat kedatangan kedua pemuda itu, seorang ibu-ibu paruh baya lantas menghampiri keduanya.
“Nak Iwan ya?” tanya si ibu pada temannya Iwan yang baru saja membuka Helm.
“Bukan bu, saya Riski. Nah dia ini yang namanya Iwan.”
Si ibu langsung menatap Iwan,
“Kok ibu bisa tahu nama saya?” hanya pertanyaan itu yang terbesit di benaknya.
“Paulina sering cerita tentang kamu sama ibu. Katanya kamu itu sudah seperti adik baginya. Sebelum meninggal dia sering ngojek sama anak ibu untuk mengantar sebungkus nasi kuning untukmu.” ujar si ibu membuat Iwan terperanjat kaget.
“Me.. Meninggal bu?” tanya Iwan dengan bibir bergetar.
“Iya, sudah 2 mingguan..”
Saat itu Iwan merasa nafasnya sangat sesak.
“Kalau boleh tahu, Cu Ipau meninggal karena apa ya bu? Sakit kah?” tanya Riski
“Sini duduk dulu, ibu akan ceritakan semuanya sama kalian..” ujar si ibu seraya mengajak keduanya untuk duduk di teras rumah Cu Ipau.
Riski menggandeng Iwan yang tampaknya masih sangat kaget dengan kabar yang baru ia dengar itu.
“Sebenarnya sudah lama Ipau sakit, sakitnya pun bukan sakit biasa. Dia terkena santet dari mantan suaminya yang beberapa kali sempat kemari untuk mengajaknya rujuk…”
“Loh, tapi bukannya mantan suaminya itu yang menceraikan Cu Ipau karena Cu Ipau tidak bisa hamil?” Tanya Iwan
“Ya, memang seperti itu sebelumnya. Tapi setelah mantan suaminya itu tahu kalau ternyata yang mandul diantara mereka berdua adalah suaminya, makanya suaminya terus menerus mengajak Ipau untuk rujuk kembali. Tapi mungkin karena Ipau sudah terlanjur sakit hati, dia tidak mau rujuk lagi. Dan setelah ditolak 4 kali lebih, Ipau akhirnya jatuh sakit. Terakhir bulan lalu, mantannya itu datang lagi dan mengatakan kalau Ipau mau sembuh, dia harus mau rujuk kembali dengan mantannya itu. Dari situ kami tahu kalau ternyata Ipau sudah di santet oleh mantan nya tersebut. Dan tentu saja Ipau menolak dengan tegas ajakan rujuk dari mantannya. Mantannya itu sampai mengancam kalau kurang dari 3 bulan lagi, Ipau akan mati karena sudah menolaknya. Tapi ancaman itu tidak membuat Ipau gentar. Kami selaku tetangga yang sudah sama seperti keluarga ini tentu saja bahu membahu menolong Ipau. Namun, setiap kali ada orang yang berusaha mengobati Ipau, pasti ada saja halangannya. Ada yang anggota keluarganya tiba-tiba meninggal, bahkan ustadz yang mengobati Ipau itu ada juga yang meninggal secara mendadak. Katanya santet itu tidak bisa diobati lagi. Dan Ipau pun akhirnya pasrah menunggu ajalnya.” Cerita si ibu
Iwan dan Riski terdiam, keduanya tak menyangka ternyata kalau hidup Cu Ipau benar-benar sangat menderita selama ini.
Si ibu menghapus air matanya, lalu kemudian ia beranjak dari duduknya.
“Tunggu sebentar disini ya nak, ibu mau ambilkan kunci dulu..” Ujar si ibu
Iwan dan Riski mengangguk. Lalu si ibu pun pergi ke rumahnya. Tidak berapa lama, si ibu kembali lagi dengan membawa sebuah kunci.
Saat si ibu membukakan pintu rumah Cu Ipau, Iwan dan Riski langsung beranjak dari duduknya. Mereka berdua di persilahkan masuk ke dalam rumah.
Barang-barang Cu Ipau masih tersusun rapi, ada juga fotonya bersama si ibu yang dipajang di dinding rumahnya.
Si ibu masuk ke dalam sebuah kamar, lalu keluar lagi sambil membawa kaleng bekas kue kering.
“Ini titipan dari Almarhumah untuk nak Iwan.. Katanya terima kasih banyak karena selama ini nak Iwan sudah mau menjadi temannya.” Kata si ibu seraya menyerahkan kaleng bekas kue kering tersebut.
Iwan menerimanya dengan perasaan sedih.
Menjelang magrib, Iwan dan Riski pun pamit untuk pulang pada si ibu yang merupakan tetangga sekaligus pemilik rumah yang disewa oleh Cu Ipau.
“Kasian Cu Ipau ya Wan..” Kata Riski sebelum ia pulang
Iwan hanya mengangguk mengiyakan, sementara tangannya semakin kencang memegang kaleng bekas kue kering pemberian terakhir dari Cu Ipau.
Baca: Cerita Horor Tarian Para Para Mayat
Saat Iwan sudah berada di dalam kamarnya, Iwan langsung membuka kaleng bekas kue kering tersebut, di dalamnya ada beberapa amplop dan sepucuk surat.
Ketika surat itu ia buka, seketika air matanya langsung keluar. Iwan menangis membaca surat yang berisikan resep nasi kuning Cu Ipau tersebut.
Iwan menangis sesenggukan, cukup lama ia menenangkan perasaannya, setelah sedikit lebih tenang. Iwan membuka satu amplop yang ada di dalam kaleng itu. Ternyata isinya adalah sejumlah uang lengkap dengan catatan bertuliskan: Untuk adikku Iwan.
Dan semua amplop itu isinya sama, yaitu sejumlah uang juga catatan.
Sampai saat ini, Iwan tidak bisa melupakan Cu Ipau. Meskipun Iwan punya resep nasi kuning Cu Ipau, namun ketika ia membuatnya, tetap saja rasanya tak seenak buatan Cu Ipau.
Iwan tak pernah menggunakan sepeserpun uang pemberian Cu Ipau untuk kepentingan pribadinya, uang Cu Ipau itu Iwan gunakan untuk meminta bantuan ustadz melakukan sholat hadiah yang ditujukan untuk Cu Ipau.
Sampai saat ini, Iwan tidak pernah lupa pada Cu Ipau. Di akhir sholatnya, Iwan selalu mengirimkan doa untuk Cu Ipau.
_____SELESAI_____