SlotRaja777 –Sang iblis melambaikan tangan meminta Priyo untuk mendekat. Priyo menghela napas lalu melangkah memenuhi panggilan itu. Dalam hati dia panjatkan do’a-do’a, padahal dia tau apa yang dilakukannya takkan pernah direstui oleh Tuhan…
***
Kisah seorang lelaki yang memperjuangkan cintanya dengan cara yang tak benar.
Dia rela menduakan Tuhan,
Dia rela mengorbankan nyawa manusia,
Bahkan dia rela menggadaikan darah dagingnya sendiri.
Tapi ternyata itu semua tak cukup…
Priyo menghentikan laju motornya di dekat sebuah batu besar. Sebentar dia memperhatikan sekitarnya, tak ada siapa-siapa, hanya ada gelap disertai suara binatang malam di antara jajaran pohon pinus yang tinggi menjulang.
Priyo menyalakan senternya, tapi cahayanya justru menciptakan bayangan pepohonan bak monster yang mengerikan.
Tapi Priyo sama sekali tak takut. Hutan ini punya arti tersendiri baginya. Kini dalam pikirannya cuma ada satu, dia akan menuntaskan semuanya malam ini juga.
Priyo kemudian melangkah menerobos lebatnya semak belukar. Langkahnya yang begitu pasti menegaskan kalau dia sudah tau kemana dia harus menuju.
Priyo terus berjalan menembus gelapnya hutan. Berbagai rasa saling berebut coba kuasai hatinya. Tapi dia coba memberi ruang pada rasa tenang dan meyakini semuanya akan baik-baik saja.
Sekian lama berjalan, akhirnya Priyo sampai pada tujuannya. Sejenak dia layangkan pandangan seolah mencari sesuatu, kemudian berteriak lantang memanggil nama seseorang.
“BANG RONI!”
Teriakan Priyo nyaring memecah kesunyian. Di situ dia hanya sendiri, tapi dia tau kalau ada orang lain selain dirinya.
Lalu dari balik pepohonan, muncul lelaki dengan lengan penuh tato yang menggendong seorang bayi terbungkus kain selimut. Lelaki itu bergegas menghampiri Priyo sambil jelalatan memastikan kalau tak ada orang lain selain mereka.
“Ini bayinya, tapi berikan dulu sisa uangnya.” Pinta bang Roni.
Priyo pun menurut. Dia mengambil bungkusan plastik dari dalam ranselnya kemudian memperlihatkan isinya pada bang Roni.
“Ok.” Bang Roni terlihat puas. Dia lalu menyodorkan bayi dalam dekapannya. Priyo menerimanya dengan dada berdebar-debar. Bukan karena dia tak becus menggendong bayi, tapi karena dia tau apa yang bakal terjadi pada bayi itu.
“Sudah ya, aku langsung pergi. Hubungi aku kalau kamu butuh lagi.”
Bang Roni lalu berbalik pergi dengan membawa bungkusan plastik yang kini ada di tangannya. Hatinya jadi berbunga-bunga, entah kapan terakhir kali dia memegang uang sebanyak itu.
Dulu, dia pernah melakukan hal yang sama. Mencari pemulung, gelandangan, atau siapa saja yang mau menjual bayinya kepada seorang lelaki misterius bernama pak Cipto lalu menyerahkannya di hutan ini.
Sejak dulu dia tak pernah tau hendak diapakan bayi-bayi itu. Apakah untuk diadopsi? Atau untuk dijual lagi? Atau malah dipreteli? Dia benar-benar tak tau, dan dia tak mau perduli.
Tapi kemudian semua itu terhenti sejak pak Cipto tak terdengar lagi kabar beritanya, sampai akhirnya Priyo tiba-tiba menghubunginya beberapa waktu yang lalu dan minta dicarikan seorang bayi.
Tentu saja bang Roni terkejut dan langsung mengelak. Selama ini tak ada orang lain yang tau kecuali dirinya dan pak Cipto. Tapi ketika Priyo menceritakan apa yang dia tau, juga tentang kedekatannya dengan pak Cipto, bang Roni pun akhirnya melunak.
“Jadi kamu juga minta dicarikan bayi? Apa kamu yakin? Ini resikonya besar.” Tanya bang Roni waktu pertama kali mereka bertemu. Menjual bayi bukanlah perkara main-main. Salah sedikit saja, bisa-bisa dia membusuk di dalam penjara.
“Iya, saya butuh segera. Bayarannya sama seperti pak Cipto dulu.” Pinta Priyo. Tapi bang Roni langsung menggeleng tanda tak sepakat. “Maaf, sekarang harganya jadi dua kali lipat. Terserah kamu mau atau tidak.”
Bang Roni sengaja menggertak. Sebenarnya dia mau saja dibayar dengan harga yang lama, tapi dia pikir tak ada salahnya memancing di air keruh.
Namun di luar dugaan, Priyo setuju dengan harga yang ditawarkan. Bang Roni pun kegirangan. Kemudian mereka mengatur segala sesuatunya sampai akhirnya mereka bertemu di hutan ini.
Sepeninggalan bang Roni, Priyo masih diam berdiri sambil menatap wajah sang bayi yang tertidur akibat dicekoki obat penenang. Dia masih tak percaya kalau bisa mendapatkan apa yang dia mau.
Awalnya dia tak tau kemana harus mencari seorang bayi, sampai akhirnya dia menemukan nama bang Roni pada catatan kecil yang terselip dalam agenda milik pak Cipto.
Kini, dengan bayi dalam dekapannya, Priyo bergegas pergi menuju sisi lain dari hutan itu demi tujuan yang lebih krusial. Dia akan menyerahkan bayi itu pada junjungannya sebagai mahar atas apa yang iblis itu telah berikan selama ini.
Sepanjang langkah, terjadi perang hebat dalam benak Priyo. Berulang kali nuraninya meminta agar dia mengurungkan niatnya itu. Tapi dia berusaha mengabaikannya.
Habis mau bagaimana lagi? Dia harus menepati janjinya setelah mengikrarkan diri mengabdi pada sang iblis. Dia mesti memberikan darah seorang bayi sebagai tumbal perdana ketika menginjak satu tahun masa pengabdiannya. Kalau tidak, dia dan Citra bakal celaka.
Sang iblis selama ini telah menepati janjinya. Dia mengembalikan Citra, dia juga mencekoki Priyo dengan uang yang selalu berjejal memenuhi lemari setiap malam bulan purnama.
Tentu saja semua itu Priyo lakukan secara diam-diam. Tak ada seorang pun yang tau, bahkan ibunya sekalipun. Priyo menyimpan rapi semua uangnya dan menggunakannya sewajar mungkin agar tak ada yang curiga.
Sekian lama berjalan, akhirnya langkah Priyo terhenti. Sejenak dia pandangi reruntuhan rumah kayu tak jauh dari tempatnya berdiri. Hatinya langsung nelangsa. Terkenang kembali peristiwa tragis malam itu yang membuat matanya jadi berkaca-kaca.
“AKU DATANG!” Teriak Priyo entah pada siapa. Tapi dia percaya kalau kalau suaranya bakal didengar.
Tiba-tiba datang angin yang berhembus menerpa dedaunan, diiringi suara lolongan anjing bersahutan di kejauhan. Priyo seketika merinding, dia tau siapa yang bakal datang.
Lalu dalam sekejap mata, muncul sosok hitam dengan wajah yang menakutkan. Matanya merah menyala, rambutnya putih panjang terurai hingga menyentuh tanah.
Dia berdiri sambil menatap lekat-lekat bayi yang ada dalam pelukan Priyo, dia menyeringai layaknya sang predator yang siap menerkam mangsanya.
“Aku datang untuk penuhi janjiku.” Ucap Priyo dengan suara sedikit gemetar. Sudah beberapa kali dia bertemu iblis itu, tapi tetap saja dia tak mampu sembunyikan ketakutannya.
Sang iblis melambaikan tangan meminta Priyo untuk mendekat. Priyo menghela napas lalu melangkah memenuhi panggilan itu. Dalam hati dia panjatkan do’a-do’a, padahal dia tau apa yang dilakukannya takkan pernah direstui oleh Tuhan.
Kini jarak keduanya sudah begitu dekat. Dada Priyo berdegup semakin kencang. Sang iblis lalu mengambil bayi dari tangan Priyo, kemudian memamerkan kuku jarinya yang runcing lalu menyayat leher sang bayi.
Priyo seketika memalingkan wajah. Dia tak sanggup untuk melihat. Sementara sang iblis dengan rakusnya mulai melumat darah sang bayi hingga menimbulkan suara mengecap dan menggeram yang meruntuhkan nyali.
Setelah puas, sang iblis mencampakkan bayi itu begitu saja. Sejenak ia menyeringai memamerkan mulut dan taringnya yang berlumuran darah. Sementara Priyo hanya diam menunggu sampai akhirnya sang iblis bertitah dengan suara yang parau.
“Selanjutnya, aku minta keturunan pertamamu.”
Leher Priyo bagai tercekat mendengarnya. Padahal dia sudah tau kalau sang iblis akan meminta hal itu.
Kemudian iblis itu menghilang bersama angin yang berhembus. Priyo menghela napas, seolah ingin mengurangi beban berat yang menghimpit dadanya. Tapi dia tau, dosa-dosanya takkan pernah terampuni.
Priyo lalu mengubur jasad sang bayi kemudian pergi dari tempat itu. Entah mengapa kini dia merasa jijik pada dirinya sendiri. Tapi bayangan wajah Citra lantas membuatnya tersenyum. Dia rela jadi pendosa asalkan bisa hidup bahagia bersama Citra.
***
“Assalamualaikum.” Ucap Priyo memberi salam di depan rumah. Pagi itu langit cerah, secerah wajah Citra yang sedang duduk di teras rumah dengan rambut basah menandakan dia habis mandi.
“Waalaikum salam.” Sahut bu Prapti yang muncul dari dalam menyambut kedatangan putranya.
“Mau langsung sarapan atau mandi dulu?” Tanya bu Prapti. Dia pikir anaknya pasti lelah setelah lembur semalaman.
“Mandi dulu bu, nanti kita sarapan sama-sama. Iyakan Citra?” Priyo melirik Citra, tapi gadis itu hanya mengangguk sambil mengulum senyum.
Priyo pun ikut tersenyum meski hatinya bagai teriris. Sejak Citra kembali ke rumah ini, dia seperti orang yang hilang ingatan. Dia tak ingat apa-apa, tak ingat siapa-siapa, bahkan awalnya dia tak mengenali dirinya sendiri.
Priyo sudah mengusahakan berbagai macam cara, termasuk membawa Citra pergi ke dokter. Tapi hingga hari ini perkembangannya begitu lambat. Ingatan Citra seolah tertinggal di tempat lain.
Tapi Priyo coba ambil hikmahnya. Dia menganggap kondisi Citra saat ini mungkin lebih baik ketimbang Citra pulang dalam kondisi normal.
Priyo tak bisa membayangkan apa yang harus dia katakan jika gadis itu menanyakan tentang apa yang terjadi, juga tentang orang tuanya yang hilang entah kemana. Tentu akan jadi kesulitan tersendiri karena Citra tak mudah untuk dibohongi.
Tapi apa pun itu, tak mampu mengurangi rasa bahagia dalam hati Priyo. Dia merasa bangga karena mampu membebaskan Citra dari belenggu sang iblis, sesuatu yang tak mampu pak Cipto lakukan meski lelaki itu rela mengorbankan diri.
Selesai mandi, Priyo menikmati sarapannya. Dia hanya tersenyum kecil melihat ibunya yang dengan sabar menyuapi Citra layaknya anak sendiri.
“Gimana kerjaanmu Yo? Lancar?” Tanya bu Prapti sembari menyuapi Citra.
“Eh, lancar bu.” Sahut Priyo sedikit gugup. Dia selalu merasa bersalah karena selama ini telah membohongi ibunya dengan bilang kalau dia sudah bekerja.
Tapi apa mau dikata? Dia harus cari alasan yang masuk akal. Dia tak mau ibunya jadi curiga lalu mempertanyakan darimana dia mendapatkan uang selama ini.
Mendadak terdengar bunyi klakson mobil di depan pintu gerbang. Bu Prapti bergegas membukakan pintu lalu membiarkan sebuah mobil mewah untuk masuk.
“Apa kabar bu?” Tanya seorang lelaki bertubuh tambun yang turun dari mobil. Dia adalah om Heru, saudara satu-satunya dari pak Cipto yang acap kali datang untuk menengok keponakannya.
“Baik pak.” Bu Prapti tersenyum sambil membungkuk hormat.
“Citra mana?” Tanya om Heru lagi sambil celingukan.
“Ada di dalam pak, lagi sarapan sama Priyo.”
Om Heru lalu melangkah masuk ke dalam rumah dan langsung menuju meja makan.
“Halo Citra, apa kabar?” Sapa om Heru pada Citra yang hanya diam tanpa respon.
“Selamat pagi om.” Priyo sengaja menjawab mewakili Citra demi mencairkan suasana yang jadi canggung.
“Bagaimana keadaan Citra?”
“Sudah ada kemajuan om. Dia sekarang jauh lebih tenang. Dia juga sudah mulai ingat walau cuma sedikit-sedikit.”
“Hmm..” Om Heru mengangguk sambil mengusap-usap dagu.
“Ya sudah, saya nggak bisa lama-lama. Saya sekedar mampir saja. Sekarang saya pamit dulu, masih banyak urusan.”
“Lho? Kok buru-buru pak? Nggak sekalian sarapan di sini?” Tanya bu Prapti.
“Makasih bu, saya buru-buru. Kalian pantau terus perkembangan Citra, cepat hubungi saya kalau ada apa-apa.”
Om Heru bergegas pergi diiringi tatapan mata Priyo sembari geleng-geleng kepala.
Sebenarnya Priyo tak suka pada om Heru. Lelaki itu seperti tak perduli pada Citra. Bahkan waktu Citra pulang, om Heru bersikap acuh tak acuh dan malah menyerahkan segala urusan Citra pada Priyo dan ibunya.
Tentu saja Priyo tak keberatan mendapat amanat itu. Tapi paman macam apa yang tak perduli pada keponakannya sendiri?
Padahal semua harta peninggalan pak Cipto sudah dia kuasai, termasuk rumah ini, tempat dimana Priyo dan ibunya dipersilahkan untuk tetap tinggal namun diminta merawat rumah itu tanpa dibayar sepeser pun.
Sementara itu, om Heru nampak melamun di balik kemudi sepanjang perjalanannya. Sejak kemunculan Citra, sudah lama dia berpikir untuk menyingkirkan keponakannya itu, tapi sampai saat ini dia belum menemukan cara yang jitu.
Selama ini dia ambil alih semua usaha milik kakaknya dengan dalih biar ada yang mengurus. Tapi kembalinya Citra sebagai ahli waris yang sejati, justru membuat usahanya terancam kandas.
Baca: Cerita Horor Pucuk Kembang Part 9 – Pageblug
Mendadak om Heru menepikan mobilnya. Dia tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar karena baru saja menemukan cara yang brilian untuk menyingkirkan Citra.
Citra sampai saat ini masih hilang ingatan, kenapa tidak sekalian saja dibuat gila?
Cerdas!
–Bersambung bab 2–