Blog Detail

  • Home
  • Cerita Horor Santet Sang Penari

Cerita Horor Santet Sang Penari

SlotRaja777 – Hujan deras di malam hari dengan diiringi suara gamelan. Saat itulah penderitaan mereka dimulai. Santet pemisah rumah tangga yang dikirim oleh sang penari yang telah mengorbankan segalanya dan dikhianati..

Malam itu suara gending gamelan menggema ke seluruh menjuru desa.
Warga yang jarang sekali menonton hiburan begitu semangat mendatangi pendopo desa dimana sebuah pementasan sedang diadakan.
Di sana, warga berbondong-bondong menyaksikan sebuah pementasan yang jarang sekali diadakan.

Denting gamelan berpadu dengan gerakan gemulai para penari, menciptakan suasana yang membius.
Di antara penonton yang terpaku, Tino tampak tak bisa mengalihkan pandangannya dari seorang penari perempuan.

Wajahnya yang ayu, gerakan pinggulnya yang lembut, dan selendang merah yang melayang-layang seperti memiliki kehidupan sendiri membuat Tino terpesona.
“Cantik sekali…” bisiknya tanpa sadar.

“Hei, inget istrimu!” Fajar menepuk bahu Tino, berusaha mengingatkannya. Tapi kata-katanya hilang begitu saja. Mata Tino tetap terpaku pada penari itu.
Goyangan pinggul penari yang sensual itu dan pemandangan belahan dadanya yang menggoda benar-benar membuat Tino tak berkutik.
Lalu, sesuatu yang aneh terjadi. Sang penari, yang seharusnya tetap di atas panggung, tiba-tiba mendekat ke arah Tino.
Goyangannya kian menggoda, seolah hanya untuknya. Aroma wangi bunga bercampur sesuatu yang asing tercium dari tubuhnya. Tino terdiam, terpikat seperti seekor kupu-kupu yang tersihir cahaya.
Dengan tangan gemetar, ia merogoh kantongnya, mengeluarkan sejumlah uang, dan menyerahkannya kepada penari itu.

Gerakannya seperti bukan kehendaknya sendiri, lebih seperti seseorang yang sedang dihipnotis. Fajar, yang sejak tadi memperhatikan, mulai merasa tidak nyaman.
“Kalau sudah begini, aku nggak mau ikut-ikutan…” Fajar yang merasa Tino sudah kelewatan pun memilih pergi meninggalkan Tino.

Tanpa ia sadari, malam itu menjadi awal dari tragedi bagi sahabatnya itu.

1988

Tino dan Ira menjalani kehidupan sederhana di desa. Pernikahan mereka yang telah berlangsung tiga tahun terasa harmonis meski masih belum dikaruniai momongan.

Tino, seorang karyawan kantoran di kota, mampu memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.
Mereka tak pernah terburu-buru soal anak, meyakini segalanya akan datang pada waktunya.
Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah.

“Iya, Sayang. Habis pindah cabang, masih banyak yang harus diurus,”
ujar Tino sambil menyalakan motor, menjawab keluhan Ira yang mendapati suaminya sering pulang larut malam.

Ira hanya bisa mengangguk dan melepas Tino dengan mencium tangannya. Di rumah, ia menghabiskan waktu dengan membereskan rumah dan mengurus kebun kecil di halaman belakang.
Meski berusaha tegar, rasa jenuh mulai menghantui Ira. Kesepian itu kadang memuncak menjadi debat kecil, tapi Tino selalu menenangkan dengan janji bahwa ini hanya sementara, bagian dari pekerjaan barunya.

Namun, suatu malam, semuanya mulai terasa salah.
Tino pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya pucat, matanya tampak gelisah. Ia masuk ke rumah tanpa sepatah kata. Ketika Ira menyapanya, bertanya kenapa pulang selarut itu, Tino malah meledak.
“Aku pulang selarut apapun bukan urusanmu! Semua ini terjadi gara-gara kamu!!” teriaknya sambil membanting pintu kamar.

Ira terdiam, terpukul oleh kemarahan Tino yang tak ia mengerti. Tapi ia memilih tidak memperpanjang masalah.
Esok paginya, Tino kembali seperti biasa, seolah amarah tadi malam tak pernah terjadi.
Hari-hari berikutnya berjalan tenang, hingga suatu malam Ira terbangun.

Ada suara yang mengganggunya.. suara gamelan, lirih tapi jelas, seperti berasal dari depan rumah.
Ira bangkit perlahan, melirik ke arah Tino yang masih terlelap, tak terusik oleh suara itu. Perasaan aneh menyelinap di dadanya, seperti firasat buruk yang enggan ia abaikan. Dengan langkah hati-hati, Ira berjalan menuju pintu depan.
Semakin dekat ia ke pintu, semakin jelas suara gamelan itu terdengar. Seirama, seperti alunan yang mengundang. Tapi ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuat tubuh Ira merinding.
Tangan Ira ragu menyentuh gagang pintu. Nalurinya berbisik agar ia mundur.
Namun suara itu semakin menggema, menghantui pikirannya. Dengan berat hati, Ira memutar gagang pintu dan membukanya perlahan.

Angin kencang langsung menerobos masuk, menusuk kulitnya. Suara gamelan yang tadi mendominasi tiba-tiba lenyap.
Di luar, hujan deras mengguyur bumi, padahal sebelumnya langit tampak cerah. Namun, bukan hujan yang membuat jantung Ira berdebar kencang.

Di tengah halaman, seorang perempuan berdiri. Tubuhnya basah kuyup, tapi ia tetap menari, gerakannya aneh, tak seperti gerakan tari biasa.
Selendangnya melayang mengikuti ritme tubuhnya, seolah memiliki kehidupan sendiri.

Ira terpaku, tubuhnya kaku. Lalu perempuan itu berhenti. Dengan perlahan, ia menoleh ke arah Ira. Wajahnya pucat, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tak wajar.
Lebar, mengerikan, seperti sedang menikmati ketakutan Ira.

Jantung Ira seperti berhenti berdetak. Dengan sisa keberanian, ia menutup pintu dengan cepat, membantingnya hingga terkunci rapat. Tubuhnya gemetar saat ia bersandar di pintu.
Kembali ke kamar, Ira mencoba memaksa dirinya untuk tidur. Namun suara hujan deras dan gemuruh petir di luar terus menghantuinya. Wajah perempuan itu terus terbayang di benaknya, membuat bulu kuduknya tak berhenti meremang.
Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia lihat malam itu, tapi satu hal pasti, Ada sesuatu yang telah berubah di rumahnya. Sesuatu yang tidak seharusnya berada di sana.


Setelah kejadian malam itu di pendopo, kehidupan Ira dan Tino perlahan berubah, meski tak ada yang menyadarinya di awal. Seperti biasa, Ira menjalani rutinitasnya, mempersiapkan makan malam untuk Tino yang biasanya pulang menjelang maghrib.
Namun, malam itu Tino kembali terlambat.
Saat adzan maghrib berkumandang, keheningan di rumah Ira tiba-tiba pecah.

Dhug! Dhug! Dhug!

Suara itu terdengar dari arah kamar tidur. Perlahan, tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk Ira meremang.
Ia yakin betul tidak ada siapa pun di rumah selain dirinya. Rasa penasaran yang bercampur takut membuatnya mengambil langkah kecil menuju kamar.

“Mas, sudah pulang kok nggak bilang-bilang?” panggil Ira, berharap suara itu berasal dari suaminya.
Tapi, saat membuka pintu kamar, harapannya runtuh.
Di atas ranjang, seorang perempuan berdiri dengan tubuh kurus kering, kulitnya berwarna keabu-abuan, dan sebagian dagingnya membusuk, menampakkan tulang yang mencuat dari balik luka.
Kepalanya dihantamkan ke dinding berulang kali, menghasilkan bunyi dhug! dhug! yang nyaring.
Ira terdiam, wajahnya seketika pucat. Napasnya memburu, tapi tubuhnya membeku di tempat.
Wanita itu perlahan berhenti membenturkan kepalanya, lalu berbalik menatap Ira dengan mata kosong yang gelap.
Dengan sisa tenaga, Ira melangkah mundur dan melarikan diri ke teras depan rumah.
Ia duduk di sana, gemetaran, menunggu Tino pulang.
Ketika Tino tiba beberapa saat kemudian, ia langsung melihat wajah ketakutan Ira. “Kamu kenapa, Ra? Kok di luar?” tanyanya heran.

“Mas… di kamar… aku lihat setan!” Ira tergagap menjawab.

Tino mengernyitkan dahi.
Dengan sabar, ia mengajak Ira masuk untuk memastikan. Namun, ketika mereka sampai di kamar, tidak ada apa-apa di sana. Tempat itu terlihat seperti biasa, tak ada jejak sosok menyeramkan yang Ira ceritakan.
Tino berusaha menenangkan istrinya. “Mungkin kamu cuma kecapekan,” katanya lembut. Ira mengangguk, meski hatinya masih dicekam ketakutan. Tapi keanehan itu tidak berhenti di situ.

Beberapa hari kemudian, saat hendak ke kamar mandi, Ira kembali melihat sosok mengerikan itu.
Kali ini, wanita itu jongkok di lantai kamar mandi, menjilati kloset dengan gerakan lambat namun penuh gairah. Ira terpaku sejenak sebelum mundur dengan ketakutan yang melumpuhkan.
Malam-malam berikutnya semakin mengerikan.
Suatu malam, Ira terbangun oleh suara gemeretak dari dapur. Dengan langkah hati-hati, ia menuju sumber suara. Namun, pemandangan yang ia lihat membuatnya mual…

Sosok itu ada di sana, menjilati pembalut bekas yang ia buang di tempat sampah.
Ketakutan Ira berubah menjadi kecemasan mendalam. Tidak ada orang lain yang melihat sosok itu, termasuk Tino.

Setiap kali ia mencoba bercerita, makhluk itu lenyap sebelum Tino sempat menyaksikannya. Sebagai tambahan, Ira mulai menderita penyakit aneh.
Alat kelaminnya mengeluarkan bau busuk, dan luka seperti bintil muncul di sekitarnya. Ia menutupi hal itu dari Tino, mencoba mengobatinya sendiri.

Namun, puncaknya terjadi pada malam saat hujan deras mengguyur desa.
Tino yang sedang tertidur lelap mendadak terbangun oleh suara gamelan yang menggema dari kejauhan. Bau busuk menyengat menyeruak di kamar. Ketika ia menoleh ke arah Ira, apa yang ia lihat membuat darahnya berdesir.
Ira, dengan mata melotot dan wajah yang tidak lagi seperti dirinya, memelototinya dengan pandangan penuh amarah. Sebelum Tino sempat berkata apa-apa, Ira melompat ke arahnya, kedua tangannya mencengkeram leher Tino erat-erat, berusaha mencekiknya.
“Ira! Sadar, Ira!” Tino berteriak sambil mencoba melepaskan cengkeraman itu. Namun, raut wajah Ira tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Itu bukan istrinya… itu sesuatu yang lain.

Dengan panik, Tino meraih tali jemuran yang tergeletak di dekatnya.
Dengan susah payah, ia mengikat Ira, menahannya hingga hujan berhenti dan suara gamelan perlahan menghilang. Saat itu, Ira tersadar. Tangisnya pecah, menyadari bahwa dirinya baru saja mencoba membunuh suaminya.
Tino memeluk Ira yang terus menangis. “Ra, aku percaya sekarang. Memang ada yang tidak beres di rumah ini.”

Ketakutan itu kini bukan lagi milik Ira seorang. Rumah mereka telah menjadi medan bagi sesuatu yang jauh lebih gelap dan mengerikan.
1990

Dua tahun telah berlalu sejak peristiwa aneh itu menghantam hidup Ira. Tubuhnya yang dulu sehat kini kurus kering, dan wajahnya penuh keletihan.

Tino, suaminya, semakin hari semakin menjauh. Selama dua tahun itu, mereka tak pernah lagi berhubungan sebagai suami istri.
Entah kenapa, Tino merasa tak sanggup mendekati Ira. Yang lebih mengerikan, pandangan Tino terhadap istrinya berubah drastis. Di matanya, Ira kini terlihat seperti wanita tua dengan kulit berkeriput dan wajah penuh luka. Perasaan jijik mulai menguasainya.
“Sudah, Mas! Sakit! Apa salahku?” tangis Ira memecah malam itu.

Tino, yang sebelumnya dikenal sebagai suami penyayang, berubah menjadi sosok yang kejam. Suara benda pecah terdengar dari dalam rumah, membuat para tetangga khawatir.
Ketakutan mereka terbukti ketika melihat Tino menyeret Ira keluar rumah.

“Kenapa aku bisa menikah dengan perempuan menjijikkan sepertimu?!?” teriak Tino sambil menampar Ira keras-keras.
Tanpa ampun, Tino memukuli Ira di halaman rumah, di depan mata para tetangga. “Biar semua orang lihat kamu perempuan macam apa!” katanya sambil merobek pakaian Ira.

Ira hanya bisa menangis, mencoba melindungi tubuhnya yang kini terpapar di depan banyak orang.
Fajar dan istrinya, yang kebetulan melihat kejadian itu, langsung berlari untuk melerai. Istri Fajar dengan cepat menutupi tubuh Ira dengan kain jarik seadanya.

“Tino! Kamu gila! Dia itu istrimu!” teriak Fajar, mencoba menyadarkan temannya.
Tino balas berteriak, matanya merah penuh amarah. “Istriku? Dia bukan istriku! Dia pakai ilmu hitam buat memikatku! Sekarang lihat aslinya!”
Ira terisak mendengar tuduhan itu. “Tidak, Mas… Aku tidak pernah melakukan hal yang dilaknat Allah!”
Pertengkaran itu menarik perhatian warga. Beberapa orang ikut mencoba menenangkan Tino, sementara Fajar dan istrinya membawa Ira masuk ke dalam rumah. Fajar memaksa Tino duduk dan berbicara. Namun suasana di dalam rumah terasa semakin ganjil.
Tino berbicara dengan nada linglung, alasannya menyakiti Ira terdengar tidak masuk akal. Fajar mulai merasakan sesuatu yang tidak wajar terjadi pada temannya.
Akhirnya, Ira diungsikan ke rumah Fajar untuk sementara waktu, sedangkan Tino tetap di rumahnya, ditemani Fajar yang berusaha menenangkan dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Fajar merasa ada yang janggal di rumah Tino. Ketika membantu membereskan kekacauan, pandangannya tertuju pada sebuah benda di sudut lemari yang setengah tersembunyi. Sebuah selendang berwarna merah dengan bordir emas.
Ia merasa pernah melihat selendang itu sebelumnya, namun tidak di rumah ini. Ia mengingat selendang serupa yang pernah digunakan penari yang datang ke desa mereka beberapa tahun lalu.

Setelah menenangkan Tino, Fajar mengajaknya berbicara secara serius.
Awalnya, Tino mengelak, tapi akhirnya ia mengakui kebenarannya. Selendang itu milik seorang penari, wanita yang pernah ia dekati sebelum menikahi Ira.

Tino sempat terbuai pesona wanita itu, tetapi akhirnya ia memutuskan hubungan demi Ira.
Wanita itu tidak terima diputuskan begitu saja dan sempat mengancam akan menghancurkan kehidupan Tino.

“Aku pikir itu cuma ancaman kosong,” ujar Tino dengan nada penuh penyesalan. “Aku tidak menyangka dia benar-benar melakukan ini.”
Fajar semakin yakin ada hal gaib yang memengaruhi Tino.

“Dimana penari itu?” Tanaya Fajar. Namun Tino menggeleng. “Dia pergi! Dia mengatakan akan pergi dan membalas semuanya. Aku tak lagi bisa menemukan jejaknya!”
Ia membawa cerita itu kepada seorang kenalan, Pak Sarwono, seorang tokoh spiritual yang dihormati. Pak Sarwono mengonfirmasi kecurigaan mereka.

Penari itu kemungkinan mengirim santet untuk menghancurkan rumah tangga Tino dan Ira.
Keadaan pun semakin memburuk.
Ira, yang sudah sangat trauma, akhirnya dipulangkan ke rumah orang tuanya. Tino dibiarkan hidup sendiri di rumahnya, sementara Fajar dan istrinya tetap mengawasi dari jauh.

Pak Sarwono akhirnya datang ke rumah Tino untuk membersihkan energi negatif yang menyelimuti tempat itu.
Seluruh rumah dibersihkan secara spiritual, dan selendang merah itu menjadi pusat perhatian.

Di tengah ritual itu, suara gamelan sempat terdengar. Pak Sarwono keluar ruman, namun ia tak menemukan siapapun di sana.
Tapi ia tahu, ada seseorang yang mengawasi ritual pembersihan yang ia lakukan. “Ini tidak akan mudah..” gumamnya.

Pak Sarwono kembali ke dalam rumah dan mengambil seledang merah itu.
“Ini bukan benda biasa. Selendang ini adalah media utama yang digunakan untuk mengikat energi jahat,” ujar Pak Sarwono sambil membakar selendang itu di luar rumah. Api menyala dengan suara mendesis, seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari dalamnya.
Setelah ritual selesai, Pak Sarwono memberi peringatan kepada Tino. “Aku sudah membersihkan rumahmu, tapi ingat, santet ini bisa kembali kapan saja. Penari itu harus benar-benar melupakanmu. Kalau tidak, ia bisa dengan mudah mengirim santet ini kepadamu.”
Untuk menenangkan sang penari, Pak Sarwono menyarankan agar Ira tinggal di rumah orang tuanya terlebih dahulu hingga pulih dan Tino harus benar-benar terlepas dari jerat penari itu terlebih dahulu
Tino hanya bisa tertunduk.
Ia tahu kesalahannya di masa lalu menjadi akar dari semua ini. Sebelum membawa Ira kembali ke rumah, Tino harus memastikan bahwa wanita itu tidak lagi menyimpan dendam.
Ira dan Tino menjalani arahan dari Pak Sarwono. Mereka mulai berpuasa dan memperbaiki ibadahnya masing-masing.

Meski mereka masih berjauhan, ada harapan di hati mereka untuk memperbaiki segalanya.

***

Baca: Cerita Horor Tumbal Sungai Ciliwung

Kisah Santet sang penari ini hanya salah satu dari kisah santet pemisah rumah tangga.

Jika mengulik kisah lainnya, sempat juga ada tentang Santet Racun Sangga yang sempat diceritakan oleh @GustiGina di threadnya.
Santet Racun Sangga dikenal sebagai salah satu yang terkuat di tanah kalimantan.

Korbanya sepasang suami istri yang bernama Andi dan Maya. Mereka adalah salah satu korban santet racun sangga yang paling mengerikan hingga mengancam nyawa.
Andi dan Maya mengalami kejadian aneh mulai dari melihat sosok-sosok tak kasat mata, hingga luka yang tidak bisa dijelaskan dengan medis. Semua itu membawa rumah tangga Andi dan maya kedalam keterpurukan.
Kalau baca threadnya, curiga kalau yang kirim santet ini adalah mantannya. Kira-kira, apa mereka bisa selamat dari santet sengeri ini ya?

Write a comment