Blog Detail

  • Home
  • Cerita Horor Taman Arwah

Cerita Horor Taman Arwah

SlotRaja777 – Sebuah wahana rekreasi di salah satu kota di wilayah Jawa bagian barat yang pada saat jam operasional ramai dikunjungi orang, ternyata malam harinya kembali diramaikan oleh mereka para arwah dan makhluk gaib lainnya. Ini adalah kisah yang benar2 terjadi. Pengalaman yang dialami karyawan usaha kuliner saya selama bekerja di tempat sebelumnya.

Sejatinya kisah ini tidak bermaksud mendiskreditkan pihak tertentu, semata-mata murni menceritakan pengalaman dia. Pada prinsipnya Penulis akan menyamarkan dan/atau merahasiakan lokasi, pihak-pihak dan orang-orang dalam kisah ini untuk kepentingan privasi & kenyamanan pihak terkait.

Dari kisah ini pula semoga kita semua mengambil pembelajaran serta mendapat pesan moral. Selamat membaca. Saya pengusaha kuliner di sebuah kota kecil perbatasan Propinsi Banten dengan Propinsi Jawa Barat. Sebagaimana pengusaha lainnya salah satu hal yang harus
ditangani adalah soal karyawan.

Image

Sudah 4 kali berganti karyawan di bagian yang jobdesk-nya menangani langsung konsumen. Saya menyebutnya karyawan
“bagian depan”. Artinya simple saja, kebalikan dari karyawan “bagian belakang”
yang menangani urusan dapur. Saat karyawan terakhir menunjukan performa yang kurang memuaskan, maka
saya bermaksud hendak menggantinya.
Sebagai calon penggantinya, salah seorang
karyawan bagian dapur merekomendasikan tetangga rumahnya yang katanya
belum lama pulang dari kota X setelah bertahun-tahun merantau bekerja.
Alasan utama kembali pulang kampung adalah karena pandemi.
Setelah melewati proses yang tidak serumit melamar pekerjaan di kantoran, maka
resmilah saya mempunyai karyawan bagian depan yang baru. Namanya Putra,
seorang laki-laki (tentunya). Saat tulisan ini dibuat usianya 28 tahun.
Ia merupakan anak pertama dari 3 bersaudara.
Adiknya yang kedua laki-laki, si
bungsu perempuan. Keluarganya dari kalangan yang sangat sederhana, maka
itulah orang tua hanya sanggup menyekolahkan Putra sampai lulus SD saja.
Saat usianya 19 tahun ia memutuskan ingin merantau ke kota mencari pekerjaan
untuk membantu kondisi keluarganya. Dia juga berpikir untuk membantu biaya
sekolah adik-adiknya agar tidak seperti dia yang hanya lulusan SD.
Gayung bersambut, melalui teman kenalannya dari Facebook, Putra mendapat
ajakan bekerja di tempat si kenalan Facebook-nya bekerja. Nama kenalannya itu
Masto. Masto bekerja di satu wahana sebuah tempat rekreasi di kota X,
di bagian yang merawat taman dan kebunnya.
Putra mulai semakin cair dengan saya sebagai atasannya setelah sekitar 3 minggu
bekerja di tempat usaha saya. Saat tidak terlalu sibuk kami mengobrol tentang
hal-hal di luar pekerjaan di usaha kuliner saya. “Jadi kamu berapa lama bekerja di
Hiphiphura* Put?
(*catatan : “Hiphiphura” akan saya gunakan untuk
menggantikan nama tempat wahana wisata yang dimaksud dalam cerita saya ini
untuk menjaga kerahasiaan tempat dimaksud. Pembaca harap maklum). “Saya
kerja di sana sejak tahun 2013 sampai 2018. 6 tahunan Pak”, jawabnya.
Sebagaimana dikisahkan sebelumnya, melalui Masto, Putra mendapat pekerjaan
sebagai tukang kebun di Hiphiphura. Dia merasa bersyukur bisa diterima bekerja
di sana mengingat ijazahnya hanya lulusan SD. Putra tidak menyianyiakan
kesempatan itu, dia bekerja dengan giat dan rajin.
Ternyata hal itu mendapat perhatian dari managernya. Dalam waktu 3 bulan
jabatan Putra dinaikkan menjadi pengawas bagian perkebunan. Artinya ketika
masuk bekerja Putra masih selevel dengan Masto, saat dia diangkat menjadi
pengawas otomatis menjadi atasan Masto.
Hal itu menimbulkan kedengkian di hati Masto. Putra yang saat pertama kali ke
kota X lalu bekerja di Hiphiphura selama 3 bulan tinggal bareng dikontrakan
Masto, atas keadaan tersebut Masto mengusir Putra.
“Mulai sekarang anggap aja
saya ga pernah kenal kamu. Kamu pergi dari sini, cari di tempat lain”, kata Masto.
Dari situ Putra akhirnya keluar masuk rumah kontrakan petak. Terhitung sebanyak
tiga kali. “Kenapa kamu gonta-ganti kontrakan Put?” tanya saya.
“Gaji saya ga
cukup pak untuk bayar kontrakan, karena saya kan harus kirim uang juga ke
kampung,” jawab Putra. “Sebenarnya saya dapet kontrakan yang rada murah,
tempatnya di deket rel kereta api. Tapi di situ tetangga kontrakan saya
kebanyakan orang-orang buangan,” terangnya
“Orang-orang buangan gimana maksud kamu?” tanya saya. “Itu pak, banyak
waria, pekerja seks komersil sama preman-preman. Saya was-was pak. Mana
barang saya juga ada yang dicuri pas saya tinggal kerja,” jawab Putra.
Putra menceritakan keluh kesah keluar masuk kontrakannya kepada rekan
kerjanya. Sampai-sampai kondisi Putra itu diketahui juga oleh managernya. Suatu
hari si manager memanggil untuk menghadap.
“Put, saya dengar kamu pindah-pindah kontrakan. Gimana kalau kamu tinggal aja di sini?” tanya si manager,
sekaligus menawarkan Putra tinggal di lingkungan Hiphiphura.
Memang sebenarnya ada ruangan di lantai 2 untuk para karyawan bagian taman
dan kebun yang sangat layak digunakan untuk tempat tidur, meski sebenarnya
peruntukannya untuk salin pakaian juga loker untuk menyimpan barang
karyawan.
Tentu saja tawaran itu diterima Putra.
Putra berpikir akan bisa lebih hemat uang
karena tidak ada pengeluaran sewa kontrakan dan transportasi. Kamar mandi dan
dapur juga tersedia. Di Hiphiphura juga terdapat kebun sayur dan kolam ikan mas
dan nila, ikannya boleh diambil asal seperlunya. “Sempurna,” pikir Putra.
Jam operasional Hiphiphura pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore. Setelah itu tentu
saja karyawan pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Memang tidak semua
karyawan “tenggo”, alias jam 4 sore langsung pulang. Ada saja karyawan yang menghabiskan waktunya terlebih dahulu di sana.
Tapi banter paling lama
hanya sampai pukul 9 malam. Hiphiphura sebenarnya salah satu wahana tempat wisata yang sangat luas.
Petugas sekuriti hanya berjaga di pos bagian depan atau ke gerbang keluar dari
tempat wisata.
Maka itulah di atas pukul 9 malam, Putra benar-benar sendirian di
Hiphiphura.
Hari dan malam pertama dilewati tanpa ada hambatan apa-apa. Putra bisa tidur
dengan pulas dan bangun esok paginya dengan segar.
Namun saat malam
kedualah Putra mulai merasakan ada sesuatu yang tidak lazim di tempat
tinggalnya itu, auranya mulai terasa janggal dan mistis.

Sebelum lanjut cerita, saya akan sedikit mendeskripsikan wahana Hiphiphura.
Konsep wisata di Hiphiphura adalah ekoturisme. Di dalamnya para wisatawan
akan mendapat edukasi agrikultur. Sasaran utama wisatawan adalah anak-anak
pelajar sampai tingkat pendidikan SMP.
Di sana mereka bisa bermain sambil
belajar bercocok tanam dan berternak.
Maka itulah di dalam wahana Hiphiphura terdapat kebun sayur-mayur, lahan
sawah meskipun hanya sepetak, dan juga beberapa hewan peternakan seperti
ayam, domba, kelinci bahkan kerbau.
Burung-burung juga menjadi koleksinya.
Suasananya sangat rimbun dan teduh saat siang hari karena terdapat juga pohon-
pohon besar seperti beringin, kelapa, bambu, dan pohon-pohon lainnya. Bisa
dibilang Hiphiphura seperti hutan mini.
Sarana kantor, ruang edukasi dan gudang peralatan berada di tengah-tengah
wahana. Terdapat Musola berbentuk gazebo atau saung tidak jauh darinya. Untuk para wisatawan berjalan mengitari seluruh wahana Hiphiphura dipasangi paving
block.
Pihak Hiphiphura juga menyewakan sepeda ontel apabila wisatawan
enggan berjalan.
Tempat tinggal Putra selama menetap di Hiphiphura adalah satu lokasi dengan
kantor. Artinya Putra tinggal di tengah-tengah “hutan”.
Malam Kamis itu Hiphiphura sudah sepi.
Semua karyawan sudah pulang. Tinggalah Putra sendirian. Waktu menunjukan pukul 11 malam. Saat menonton
televisi dia merasa lapar. Beranjaklah dia ke dapur kantor atau bahasa kerennya
pantry, yang berada di bawah. Putra bermaksud hendak memasak mie instan
rebus.
Supaya mie rebusnya lebih nikmat terpikir olehnya dibubuhi cabai segar dan
ditambah daun sawi. Kebun cabai dan sawi berada beberapa meter dari kantor.
Untuk itu Putra harus keluar menuju kebun. Dia berjalan menyusuri paving block.
Tiba-tiba angin berhembus lebih kencang dari biasanya sampai-sampai
menggoyangkan batang pepohonan. Seolah pepohonan itu menarikan semacam
gerakan ritual. Bunyi dedaunan juga ranting saling bergesekan terdengar.
Diantara bebunyian itu telinga Putra menangkap bunyi sapu lidi, seperti ada yang
menyapu. “Siapa yang nyapu malem-malem?” Terbesit pertanyaan dalam
benak Putra. Dia menoleh ke sekeliling, tak ada siapapun. Lalu dia berpikir, “Ah
cuma perasaan saya aja”.
Tiba di kebun cabai dia mulai memetik beberapa buahnya. Bunyi sapu lidi
terdengar lagi, bahkan kali ini lebih dekat. Putra berhenti memetik lalu melihat
sekeliling. Suara sapu hilang. Bulu kuduk Putra berdiri, ia merasa ada seseorang
atau sesuatu selain dirinya ada bersamanya.
Kemudian Putra segera beranjak dari kebun cabai tidak lagi memperdulikan daun
sawi yang belum sempat dia petik. Namun dia waspada, berjalan mundur
perlahan. Saat berjalan mundur baru beberapa langkah dia bertabrakan dengan
seseorang.
Putra menoleh, ternyata dia bertabrakan dengan punggung seseorang. Sosok wanita paruh baya, bisa dibilang nenek-nenek. Terbesit dipikiran Putra
nenek itu adalah Bu Nur. “Bu Nur?” sapa Putra. Bu Nur adalah petugas kebersihan lingkungan sekitar kantor Hiphiphura.
“Tapi bukannya Bu Nur udah
pulang dari tadi?” pikirnya. Lagi pula Bu Nur saat berkerja selalu mengenakan
seragam khusus personil bagian kebersihan.
Sedangkan sosok nenek-nenek yang ditabraknya memakai pakaian atasan model
kebaya namun terlihat sudah usang kehitaman, bawahannya memakai kain yang juga terlihat usang. Putra tersadar, itu bukan Bu Nur. Lalu ia mundur mengambil
jarak sekitar 3 langkah dari sosok nenek itu.
“Ne.. ne..nenek siapa? ko malam-malam ada di sini?” Putra bertanya sambil
gemetar, namun ia mencoba menguasai diri. Yang ditanya diam tak bergeming. “Nek…” sapa Putra lagi.
Sosok nenek itu perlahan membalik badannya, menghadap Putra. “Astagfirulloh!!” teriak Putra.
Lalu ia jongkok menyembunyikan wajah dengan
memeluk kedua dengkulnya. Sosok nenek yang dilihat Putra wajahnya gosong melepuh seperti terbakar dibagian wajah kiri, bola matanya sudah tidak ada.
Sedangkan bagian wajah kanan masih terlihat utuh.
Matanya nampak besar
melotot menatap Putra. Mata itu seperti hendak keluar dari kelopaknya. Rambutnya disanggul dan putih beruban.
“A..Ada apa ke..ke sini?, ma.. ma..mau apa? Tolong jangan nunjukin seperti ini ke
saya. Saya di sini niatnya hanya kerja,” kata Putra mencoba mengajak bicara sosok nenek-nenek itu sambil tetap menutup wajah dengan kedua dengkul. Tubuh
Putra gemetar hebat saking ketakutannya.
Tidak terdengar jawaban atau reaksi apapun dari nenek itu. Beberapa saat
kemudian Putra memberanikan diri membuka matanya. Ternyata nenek itu sudah tidak ada di hadapan Putra, hilang begitu saja. Putra mengambil langkah seribu,
lari terbirit-birit langsung menuju ruang atas.
Putra merasa lemas, lalu diapun tertidur atau mungkin juga pingsan karena shock.
Saat dia terbangun ternyata hari sudah subuh.

“Ya Ampun!!” Teriak Putra ngeri. Yang dikira Putra kelapa yang berjatuhan ternyata kepala-kepala manusia. Kepala-kepala yang tertebas pisah dari tubuhnya.

Saat jam kerja Putra menceritakan pengalaman semalam ke rekan kerjanya,
Anton namanya. Anton sudah lebih dulu bekerja di Hiphiphura 2 tahun dari Putra.
“Sebenernya waktu pak Rudi nawarin lo tinggal di sini gue pengen nahan lo. Tapi
lo kaya yang antusias gitu, lagian gue juga tau sih masalah keuangan lo, jadi gue
pikir ya udahlah mudah-mudahan lo ga kenapa-napa. Eh ga taunya..” kata Anton setelah mendengar penuturan Putra.
“Kenapa Ton? Kasi tau gue dong ada apa,” pinta Putra. “Sebenernya sebelom lo
juga ada karyawan yang pernah tinggal di sini, namanya Budi,” papar Anton. Lalu
dia melanjutkan, “Setelah seminggu dia tinggal ada kecelakaan, dia jatuh dari
lantai 2. Terus dia..”
“Kenapa dia Ton?” tanya Putra memburu. “Dia meninggal
setelah sempet 2 hari dirawat di rumah sakit,” terang Anton. “Wahh… Itu kejadiannya kapan?” tanya Putra. “Sekitar 5 bulanan yang lalu,” jawab Anton.
Lalu Anton menceritakan bahwa dia yang mengantar almarhum
Budi ke rumah sakit. Anton sempet menunggui Budi di ruang UGD. “Budi cerita ke
gue kalo dia jatoh karena panik. Dia ngeliat sesuatu di tangga,” terang Anton.
“Dia
ngeliat apa ton?” tanya Putra kali ini nadanya terdengar panik sekaligus penasaran. “Ga jelas, katanya kaya orang tapi kaya binatang juga”, jawab Anton.
Putra jadi melamun.
Putra juga menceritakan kejadian semalem ke bu Nur, orang yang semalem
disangkanya sedang menyapu. Bu Nur bilang, “Mending kamu jangan tinggal di sini,
cuman cari mati aja.” Tapi Putra berniat tetap mencoba tinggal, meski alasan
sebenarnya adalah dia tidak punya pilihan lain.
Malam-malam berikutnya, Putra terus menerus diganggu oleh suara-suara orang
yang sedang mandi sambil bersenandung di kamar mandi. Bunyi panci dan penggorengan seperti ada orang memasak di pantry. Juga suara bel dari sepeda
ontel.
Tapi sejak kejadian “nenek-nenek nyapu” dia enggan turun ke bawah. Jam 10
malam dia sudah berdiam di kamar atas saja.
Hingga satu malam Putra terbangun. Dia merasa perutnya mules, dia kepingin
buang air besar. Dia melihat ke jam dinding, “Aduh.., mana masih jam 1 malem
lagi,” gumamnya. Putra coba mengabaikan rasa mulesnya tapi sia-sia, rasanya
sudah di ujung.
“Aduh, anjrit! terpaksa deh dari pada brojol di sini,” katanya lirih. “Bismillah,” katanya sebelum menuruni tangga. Dia mengumpulkan
keberaniannya. Kamar mandi letaknya di luar, dekat dengan gudang. Sebenarnya
tidak jauh dari ruang tidurnya, tapi tetap saja letaknya di luar.
“Tumben, sepi,” katanya dalam hati. Karena biasanya selalu ada suara-suara
aktivitas di dapur dan di kamar mandi. Putra berhasil mencapai kamar mandi, lalu
dia melaksanakan buang hajatnya.
“Plung.”

“Ah lega,” kata Putra setelah
beberapa pup yang barusan sudah di ujung keluar. Tapi hajatnya belum tuntas,
perutnya masih terasa sedikit mules.
Di luar terdengar lagi suara angin bertiup, terdengar lagi suara dedaudan diterpa
angin dan batang juga ranting pohon yang saling bergesekan. Lalu terdengar
suara, BUK!….. BUK!…. BUK!…. BUK! Putra memasang kupingnya mendengar
suara itu dari dalam kamar mandi.
“Kayanya kelapa pada jatohan. Pasti kena
angin,” begitu Putra menduga. Ada beberapa pohon-pohon kelapa yang ditanam sekitar 10 meter di depan kamar mandi. Tapi kemudian dia ingat bahwa pohon-pohon kelapa di kebun Hiphiphura tidak
sedang berbuah.
Keringat mulai keluar dari keningnya, pikirannya mulai gelisah.
“Ya Allah, apalagi itu…..” katanya lirih. Lantas dia menyudahi kegiatan buang
hajatnya.

BUK…! BUK….! BUK…! Suara itu terdengar lagi.
Perlahan Putra membuka pintu kamar mandi. Dia melihat ada sesuatu berbentuk
bulat-bulat seperti berserakan dekat pohon kelapa. Dalam keremangan dia mencoba menegaskan pandangan pada benda bulat yang berserakan dekat
pohon kelapa.

“Ya Ampun!!” teriak Putra ngeri.
Yang dikira Putra kelapa yang berjatuhan
ternyata kepala-kepala manusia. Kepala-kepala yang tertebas pisah dari
tubuhnya. Putra berlari bermaksud hendak ke arah kamarnya yang hanya
sebelokan ke kanan, namun dia menghentikan langkah seribunya. Ada sesuatu yang seolah menghadang
Putra tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sesosok tubuh tanpa kepala
berjalan tertatih-tatih, tangan kirinya membawa kepalanya sendiri dengan
menjambak rambutnya.
Sosok itu berjalan tertatih karena pergelangan kaki kanannya terikat rantai dengan bandul bola besi seukuran bola kaki. Pakaian
sosok itu koyak-koyak seperti habis dicambuk habis-habisan.
“HHAAAAAHHH!!!” teriak Putra ketakutan. Dia tersungkur dengan posisi duduk. Dia
mencoba bangkit namun kedua lututnya lemas. Akhirnya dengan segenap
kekuatan yang masih ada dia berhasil berdiri.
Kemudian dia mencoba berlari sambil terhuyung-huyung ke arah sebaliknya yang menuju arah kebun. Baru
berlari beberapa meter kembali larinya terhenti. Lagi-lagi ada sosok yang
menghadangnya.
Mirip dengan sosok tanpa kepala tadi, sosok berjalan tertatih karena menyeret
rantai berbandul bola besi. Namun yang satu ini kepala masih nempel dengan
tubuhnya. Rambutnya panjang, tapi tidak bisa dipastikan itu sosok perempuan atau lelaki.
Wajah sosok itu hancur seperti habis diseret ke aspal. Daging-daging
wajahnya koyak. Kedua bola matanya terlihat menggantung pada seutas urat.
“Aaahhhh!!”, teriak Putra lagi. Yang terpikir oleh Putra saat itu adalah segera
keluar dari wahana Hiphiphura saat itu juga. Meski sulit karena kedua lututnya
lemas tetap Putra berlari sekuatnya.
Putra terpaksa berlari melewati sosok berwajah koyak karena itu satu-satunya akses menuju gerbang depan pintu keluar wahana. Saat berlari beberapa kali ia tersungkur karena takut bukan kepalang.
Putra melewati pos satpam utama di gerbang depan tempat rekreasi itu.
Petugas
sekuriti terperangah melihat Putra berlari terbirit pada waktu dini hari itu. “Hei
mas Putra, ada apa?!” panggil sekuriti yang mengenali Putra. Namun Putra mengabaikannya, terus berlari.
Akhirnya Putra menghentikan larinya di sebuah halte bus. Dia lantas duduk pada
bangku halte mencoba menenangkan diri. Nafasnya masih terengah-engah, tubuh
beserta pakaiannya basah oleh peluh sendiri. Tak berapa lama kemudian dia
mulai bisa mengatur nafasnya.
Namun dia menangis sejadi-jadinya meratapi apa
yang sudah terjadi pada dirinya.

“Kenapa aku harus ngalamin ini?” pertanyaan dalam benaknya. Inginnya Putra
berhenti bekerja di Hiphiphura dini hari itu juga.
Tapi saat dia mulai bisa berpikir
jernih terlintas bayangan wajah ibu bapaknya di kampung yang sedang menunggu
kiriman uang darinya. Lalu ia terbayang wajah kedua adiknya yang biaya
sekolahnya juga dari hasil jerih-payahnya.
“Terus gimana Put, kamu brenti dari Hiphiphura malam itu juga?” tanya saya.
“Engga Pak,” jawab si Putra.

“Loh kenapa? kamu ga takut?”

“Ya takut sih Pak, boong kalo engga mah. Tapi saya keinget sama emak bapak di
kampung, trus saya inget adek-adek saya yang masih butuh biaya buat sekolah.
Saya nguatin tekad, apapun yang terjadi saya akan coba bertahan.”
“Kamu langsung balik lagi ke dalem Hiphiphura?”

“Engga Pak, saya nunggu sampe shubuh di halte bus. hehe,” kata Putra sambil
nyengir.
Saat azan shubuh berkumandang Putra kembali lagi ke tempat wisata X, lalu masuk kembali ke wahana Hiphiphura.
Dia sudah menguasai diri kembali, dan dia
sudah bertekad akan bertahan demi keluarga di kampung.
Saat bekerja, kali ini dia tidak bercerita kepada siapapun pengalamannya
semalam. Meskipun Anton menanyakannya karena mendapat info dari sekuriti gerbang depan yang melihatnya lari terbirit-birit dini hari tadi. Putra cuma
menjawab, “Ga kenapa-napa.”
Malamnya Putra tertidur sangat pulas, karena memang kurang tidur sehari
sebelumnya. Malam berikutnya pun dia lalui dengan tabah. Dia mulai terbiasa
dengan situasi di Hiphiphura.
Gangguan-gangguan dari mereka yang tak kasat
mata penunggu Hiphiphura bukannya tidak ada sama sekali, tetap ada meskipun tidak setiap malam.
Putra sudah terbiasa dengan suara orang mandi sambil bersenandung di kamar
mandi. Sudah terbiasa dengan aktivitas seperti ada yang memasak di pantry. Oh
iya… bunyi lonceng sepeda ontel.
Suatu malam Putra tergelitik untuk mengintip
ke bawah dari balkon lantai atas kamarnya saat mendengar bunyi lonceng sepeda ontel. “Kring kring kring, kring kring kring.” Ramai sekali. Ternyata sepeda-sepeda
ontel yang disewakan itu berjalan sendiri lalu lalang.
Hanya karena percaya lindungan Tuhan dan tekad demi keluargalah yang
membuat Putra kuat bertahan di sana.
Suatu sore menjelang malam, belum terlalu larut sekitar pukul sembilan, Putra
bermaksud melaksanakan sholat Isya di mushola yang berada di luar. Mushola di
luar itu berbentuk gazebo. Di tengah sholatnya tiba-tiba kembali angin bertiup
lebih kencang dari biasa.
Menggoyangkan semua pepohonan di sekitar mushola.
Dia tak bergeming, mencoba tetap khusyu. Sholat Isya pun tuntas juga Putra tunaikan. Lantas dia bermaksud melanjutkan
dengan mengaji.
Di tengah dia melantunkan beberapa ayat-ayat Qur’an angin bertiup semakin kencang menggoyangkan pepohonan lebih kuat. Putra
menghentikan sejenak bacaan ngajinya, menarik nafas sebentar lalu melanjutkan
kembali mengaji.
“Krekek …krrrrkkkk krrkkk..krekeekk..” Itu bunyi batang pohon tidak jauh di
belakang mushola. Di belakang mushola gazebo memang terdapat satu pohon
beringin berukuran sedang. Saat itulah terjadi sesuatu yang mengejutkan Putra di
tengah mengajinya.
Ujung dahan beserta daun pohon beringin menyentuh pipi
kiri Putra. Lebih tepatnya menampar! Karena cukup keras.
Pohon beringin itu seolah hidup, menjulurkan ujung dahannya, atau malah pohon
beringin itu bergerak mendekati Putra. Pohon beringin itu seolah tidak suka
mendengar lantunan ngaji Putra, menyuruhnya berhenti. “Astagfirulloh!” seru
Putra sambil memegang pipi kirinya.
Lalu dia membalikkan posisi duduknya
menghadap ke pohon beringin itu. Ia merasa bagaikan sedang beradu tatap
dengan sosok raksasa saja.
Pohon beringin itu bergoyang-goyang pelan, seperti tertiup angin tapi semakin
condong miring ke mushola. “Ni beringin mau roboh apa gimana?”, Putra membatin khawatir. Lalu dia beranjak dari mushola itu, tidak ingin ambil resiko
tertimpa pohon.
“Jadi tuh pohon gerak Put?!” tanya saya. “Kayanya iya Pak, ga suka saya ngaji,”
jawabnya. “Ah gila tu tempat. Ngeri banget sih!” respon saya.

“Terus penampakan apa lagi yang kamu liat Put?” saya jadi penasaran dibuatnya.
Sejenak Putra terlihat berpikir, mencoba mengingat-ingat pengalamannya. “Oh ini
Pak, ada penampakan noni-noni Belanda, sama anak-anak bulenya. Apa itu sebutan anak Belanda zaman dulu Pak?”
“Sinyo”, jawab saya.

“Nah iya itu Pak! Noni-noni Belanda sama sinyo-sinyo Belanda,” kata Putra
menegaskan.
“Ngapain mereka?” tanya saya.
“Kan kalo dari pagi sampe sore yang wisata ke Hiphiphura manusia, nah malem-
malem tertentu gantian mereka yang wisata ke situ sekeluarga,” terang Putra.
“Kalo penampakan kaya setan yang ngetop gitu ada ga Put?” tanya saya lagi.
“Setan ngetop gimana tuh Pak?” Putra balik nanya, bingung.
“Itu loh, kaya kunti, pocong, genderuwo, kalong wewe, tuyul…” terang saya.
“Oh itu.., ada Pak. Saya pernah liat kuntilanak suka terbang dari pohon satu ke
pohon lainnya. Terus tuyul, saya suka liat mereka di kebun jagung,” terang Putra.
“Ngapain mereka di situ? wujudnya bener ga sih kaya yang suka digambarin di
tivi?” tanya saya. “Joget-joget aja pak, mantatin saya. Dah gitu ilang. Saya ngeliatnya ada takut juga
lucu juga. Hehe,” kata Putra sambil ketawa.
Putra menerangkan bahwa kurang lebih benar penggambaran tuyul di TV. Wujud anak-anak, kepalanya botak
plontos, ada gigi seperi taring keluar dari mulut di sudut bibir bawah, hanya
mengenakan kain yang dibuntal seperti popok & bola matanya putih semua
mengkilat seperti kelereng
Namun demikian sosok yang lebih sering menunjukkan diri adalah sosok manusia
yang dirantai yang beberapa waktu lalu membuat Putra bermalam di halte bus.
Meskipun Putra tidak melihatpun hanya dengan mendengarkan dari lantai atas
kamarnya, dia tahu dari bunyi tanda kehadiran mereka.

“Crek… sreett… crek
sreett…crek…srettt..” Itu bunyi rantai kaki dan bandul bola besi yang diseret.
Telah dua bulan Putra tinggal di Hiphiphura. Dia makin terbiasa dengan
suasananya. Makin terbiasa dengan “para penghuninya”.

Tapi jika sudah sendirian
dan di atas jam 9 malam dia memilih tidak sholat atau mengaji lagi di mushola
gazebo dan memilih melakukannya di ruangannya, terlalu banyak gangguan
katanya.
Rekan kerja di Hiphiphura selain Anton yang akrab juga dengannya adalah Tedi.
Putra menunjukan foto mereka bertiga ke saya di handphonenya. “Ini Anton, yang
ini yang namanya Tedi pak,” katanya sambil menunjuk ke layar handphonenya.
Pada waktu tertentu di luar jam kerja mereka bermain futsal.
Tedi ini kerap kerasukan, atau bahasa lebih umumnya kesurupan, saat sedang berada di Hiphiphura. Saat kesurupan ada kalanya dia membentak-bentak Putra.
Suaranya berubah-ubah, kadang suara laki-laki, kadang suara perempuan, suara
nenek-nenek, suara kakek-kakek, suara berlogat bule, suara anak-anak.
“Bentak-bentak gimana Put?” tanya saya. “PERGI KAMU DARI SINI! PERGI KAMU! PERGIII!!” begitu Putra memeragakan Tedi saat sedang kesurupan. “Ada yang nangis aja, ada yang teriak-teriak, ada yang merintih minta tolong,” tambahnya.
“Pernah saya mimpi serem banget pak,” kata Putra.

“Mimpi apa?” tanya saya.
“Saya melihat penyiksaan sadis banget pak. Ada yang kepalanya dihantem balok,
ada yang ditusuk-tusuk perutnya, dadanya, matanya, kepalanya dipancung, ada juga yang ditembak, —
dicambukin sampe berdarah-darah, ada yang diperkosa rame-rame juga. Hiiiy!! serem pak. Ngeri saya kalo inget,” urai Putra sambil bergidik.

“Tunggu dulu…, penyiksaan kata kamu?” tanya saya.

“Iya pak, penyiksaan,” kata Putra menegaskan.
Menurut catatan sejarah, di lokasi wisata X memang pernah terjadi penyiksaan
sekaligus pembunuhan. Dahulu tahun 1942 saat tentara Jepang datang ke
Indonesia sampai akhirnya masuk ke kota X, setelah melucuti militer Belanda,
hari-
hari berikutnya mereka mulai menangkapi orang-orang Belanda bahkan pribumi
yang dianggap simpatisan pemerintah Kolonial Belanda.
Kemudian mereka digiring ke sebuah lokasi. Di situlah akhir hidup para tawanan
tentara Jepang ini. Sampai sekarang pun kuburan para korban kekejaman Jepang
masih ada tidak jauh dari tempat yang sekarang menjadi lokasi tempat wisata X.
Kalau menurut Om Hao, tokoh spiritual yang cukup terkenal itu, apa yang dilihat
Putra dalam mimpinya itu adalah konsep “Retrokognisi”. Dalam kasus Putra, melalui mimpi dia diperlihatkan tragedi yang pernah terjadi di situ
sebelum sekarang tempat itu menjadi tempat wisata.
“Kamu udah kaya Om Hao Put, bisa ngeliat kejadian zaman dulu,” kata saya.

“Oo
jadi dulu di situ tempat pembantaian Pak?” respon Putra.

“Iya. Kebetulan saya
juga penggemar sejarah. Setau saya memang begitu,” timpal saya.
“Jangan-jangan setan yang kaya zombi yang suka jalan-jalan kakinya dirante itu
arwah gentayangan para korban ya Pak,” kata Putra dengan nada miris. “Bisa jadi
Put,” respon saya.
Saat mengatakan demikian Putra menunjukkan ke saya
lengannya merinding, herannya saya sebenarnya juga merinding.
Jujur saja, sebelum Putra menceritakan perihal mimpinya itu saya sedikit sangsi
akan penampakan dan aktivitas makhluk gaib di Hiphiphura dari cerita-ceritanya.
Namun dengan adanya kecocokan bahwa memang di lokasi itu pernah terjadi
tragedi berdarah yang brutal membunuh banyak jiwa, saya jadi yakin akan
kebenaran cerita pengalaman menyeramkan Putra di sana.
Kamu tau ga kenapa kalo sedang dengerin, baca atau cerita tentang makhluk gaib & penampakannya kamu merinding? itu karena makhluk & kejadian itu beneran ada & terjadi.

Mengapa bisa begitu, karena mereka makhluk yang tidak terbatas ruang & waktu. Boleh jadi mereka ada disekitar kalian, merhatiin kalian. Banyak2 berdoa ya.
Beberapa meter Putra berjalan tanpa bertemu hal yang ganjil. Saat belokan kedua dekat kebun sayuran Putra dikejutkan oleh penampakan yang mengerikan sekaligus mengenaskan.
Suatu malam Putra kemalaman pulang sehabis bermain futsal. Dikarenakan
sehabis bermain futsal Anton dan Tedi mengajaknya nongkrong di kafe kopi.
Keasyikan ngopinya sampai lupa waktu sudah pukul sebelas malam. Segera Putra pamitan kepada kedua sahabatnya.
Biasanya selesai futsal, maksimal pukul
sembilan malam dia sudah beranjak pulang dan tiba di Hiphiphura setengah jam
kemudian. “Aduh sialan, aku kemaleman. Mudah-mudahan ga ada yang aneh-aneh,”
gumamnya saat membuka gerbang depan Hiphiphura. Waktu sudah menjelang
tengah malam
Dia lalu berjalan menyusuri paving block dengan waspada, siap-
siap akan kemungkinan penampakan.

Meskipun sudah semakin terbiasa dengan kehadiran makhluk tak kasat mata
tetap saja Putra tidak berharap bertemu langsung dengan mereka.
Toh mereka
memang tidak setiap malam juga muncul, lebih seringnya Putra mendengar suara-
suara. Itupun Putra sudah berada di ruang atas, tidak melihat mereka.
Prinsip Putra; “masing-masing ya, jangan ganggu”, begitu dia selalu seolah menyapa saat
mendengar seperti ada suatu aktivitas dari mereka yang tak kasat mata.
Normalnya manusia jika melihat sesuatu yang ganjil, bukan hal yang dilihat sehari-
hari apalagi wujudnya menyeramkan pula pasti respon pertamanya kaget, kedua
takut, lalu selanjutnya tergantung kesiapan mental. Ada yang memberanikan diri,
ada yang diam terpaku karena lemas,
dan ada yang tetap ketakutan setengah
mati sampai-sampai berteriak histeris lalu lari terbirit-birit, ada pula yang pingsan di tempat atau bahkan ada yang sampai kencing di celana.
Beberapa meter Putra berjalan tanpa bertemu hal yang ganjil. Saat belokan kedua
dekat kebun sayuran Putra dikejutkan oleh penampakan yang mengerikan
sekaligus mengenaskan.
Sesosok laki-laki usia sekitar 50an, perawakan sedikit tambun namun tidak
pendek.
Lehernya miring ke kanan, lidahnya menjulur mengeluarkan air liur, matanya terbuka membelalak tapi air matanya bercucuran, dan kakinya… seperti
menjinjit tapi tidak menyentuh paving block, mengapung 30 senti dari permukaan
paving block.
Sosok itu bersuara; “Keekkk kkeeeekk….arrgggh…arggghhh kkeeekkk…” Seperti
suara orang yang tercekik. Putra kaget bukan kepalang, seluruh darahnya serasa berdesir turun ke kakinya, jantungnya berdegup kencang, namun lututnya lemas.
Baru kali ini sosok itu dilihatnya.
“Astagfirullohaladzim!! …. Ya Allah apalagi ini?”
kata Putra sambil berjongkok. Putra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Sesaat Putra mengintip dari celah jemarinya. Sosok itu masih di depan
menghadangnya. “Tolong jangan ganggu saya, jangan nunjukin seperti ini, saya di
sini cuma ingin bekerja. Tolong pergi,” kata Putra mencoba berkomunikasi dengan
sosok itu.
“Kkeekkk…kkeekkk…keekkeekk,” dijawab demikian oleh sosok itu. Putra masih
berjongkok sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Lalu dari celah jemarinya dia melihat sosok itu seperti membalik badan perlahan meskipun tetap
mengapung kemudian berlalu dari hadapannya.
Keesokan harinya Putra menceritakan apa yang dilihatnya kepada Anton dan Tedi.
“Apa kata lo? kaya orang kegantung?” tanya Anton. “Iya, kaya orang kecekek gitu,” tegas Putra lagi. Lalu Anton bertanya ciri-ciri sosok yang seperti menggantung itu bagaimana. Putra pun menjelaskan.
Kemudian Anton merogoh saku celananya, mengambil handphone. Dia melihat-
lihat galery foto yang tersimpan dalam folder handphonenya, mencari sebuah foto rupanya. Lalu dia berkata,
“Coba lo liat, kaya bapak ini ga yang semalem lo
liat?” tanya Anton sambil menunjukkan layar handphonenya ke Putra.
Putra meraih handphone Anton demi lebih jelas melihat foto bapak yang
dimaksud Anton. “Ya Allah bener ton, yang gue liat bapak ini,” kata Putra
wajahnya berubah pucat.
Anton menunjukan foto pada momen ulang tahun si
bapak sekitar satu setengah tahun yang lalu yang dirayakan di Hiphiphura bersama seluruh karyawan.
“Lo tau ga siapa bapak ini?”tanya Anton. Putra menggelengkan kepalanya.
“Namanya pak Dwi. Dia pimpinan Hiphiphura sebelumnya,” terang Anton. Satu
bulan setelah perayaan ulang tahunnya itu pak Dwi ditemukan tewas gantung diri di pohon mangga di belakang gudang. Rumor yang beredar, dia bunuh diri karena
frustasi istrinya selingkuh dengan lelaki lain.
“Ton, Ted, gue minta jangan bilang siapa-siapa ya kalo gue ngeliat arwahnya pak
Dwi. Cukup kita-kita aja yang tau,” pinta Putra kepada dua sahabatnya.
Namun entah siapa yang tidak bisa menjaga rahasia. Seminggu kemudian Putra
dipanggil menghadap Direktur Utama tempat wisata itu.
Hal itu dikarenakan penampakan arwah pak Dwi menjadi topik pembicaraan di kalangan karyawan.
Pesan pak Dirut kepada Putra agar kabar yang menggegerkan ini jangan disebar
ke kalangan luar.
Begitu Putra keluar dari ruang Dirut l dia menggerutu, “Dasar..! kalo ga Anton ya
si Tedi nih yang ember. Udah aku bilang jangan bilang siapa-siapa.”

Bulan berganti bulan, lalu tahun berganti tahun. Tidak terasa sudah 5 tahun Putra
bekerja di Hiphiphura.
Setelah musim libur lebaran tahun itu, Putra mengambil jatah cutinya. Dia lantas
pulang kampung untuk berlebaran ke keluarganya. Saat kembali lagi ke kota X dia
membawa seorang teman sekampungnya untuk diajak bekerja di Hiphiphura.
Baru 4 hari bekerja, saat jam operasional Hiphiphura selesai teman
sekampungnya itu billang ke Putra ada keperluan yang harus dibeli di pasar.
Namun sampai malamnya temannya itu tidak kunjung kembali ke Hiphiphura.
Keesokan malamnya Ibunda Putra menelponnya. Ibundanya meminta Putra
berhenti bekerja di Hiphiphura. “Tatang ngasi tau emak, di tempat kamu kerja
banyak jurignya (bahasa sunda artinya hantu/setan),” kata ibunya Putra.
Ternyata
teman sekampung Putra itu bukan ke pasar, melainkan kabur balik lagi ke
kampung. Dia tidak setahan Putra menghadapi gangguan-gangguan makhluk tak kasat mata penghuni Hiphiphura.
“Udah nak, Emak sama Bapak juga ga mau ada apa-apa sama kamu. Emak mana
tega anaknya harus terus-terusan ditemenin jurig di tempat kerjanya. Kamu
brenti ya nak dari situ. —
Cari kerja di tempat lain aja. Atau kalo kamu mau pulang
kampung lagi juga ga apa-apa. Emak, Bapak sama adek-adek udah ga kenapa-napa,” urai ibunya lagi.
Putra pun sebenarnya saat bertahan di Hiphiphura kerap melamun, berpikir
apakah dirinya masih waras atau tidak dengan hidup berdampingan dengan para penghuni Hiphiphura yang sesekali menampakkan diri dihadapan Putra dengan
berbagai wujud.
Di sisi lain dia juga bepikir, bahwa mungkin mereka para arwah-
arwah itu mencoba menyampaikan sesuatu kepadanya.
Jika keberaniannya sedang muncul Putra mencoba mengambil gambar video
penampakan makhluk tak kasat mata melalui kamera handphonenya,
tapi
herannya dengan mata telanjang dia dapat melihat sedangkan di kamera tidak terekam.

Akhinya di tahun ke 6, setelah dia memikirkannya masak-masak dengan
mempertimbangkan kesehatan mentalnya dan atas desakan ibunya, Putra
memutuskan berhenti bekeja di Hiphiphura.
Saat keputusannya itu diambil sudah masuk tahun 2018. Lalu berbekal modal
pesangon dan tabungannya serta pengalamannya mengurus taman dan kebun di Hiphiphura Putra mencoba usaha berjualan bunga dan tanaman hias di kota Y.
Saat pandemi Covid 19 melanda Indonesia, dunia usaha terpukul. Putra akhirnya
memutuskan pulang kampung. Dia tetap berjualan bunga dan tanaman hias
namun secara daring. Untuk pendapatan dan kegiatan sehari-harinya dia bekerja
di usaha kuliner saya.
“Put, apa para penunggu Hiphiphura ga pernah ada yang nyamperin ke ruang atas
ke tempat tidur kamu?” tanya saya.

“Sebenernya ada pak,” jawabnya.
“Kan ruang atas tuh ga ada pintu, langsung
tangga aja akses turun naek. Jadi pas saya tidur saya merasa ada yang ngebelai-
belai saya.
Pas saya melek saya ngeliat jari-jari panjang sama kuku panjangnya di
kening saya. Saya langsung kaget bangun. Saya ngeliat ada sesuatu turun dari tangga,” sambungnya.
“Wujudnya gimana put?”

Baca: Cerita Singkat KKN di Desa Penari

“Ga jelas pak. Jalannya tuh merayap kaya cicak tapi tubuhnya manusia. Mukanya
mirip apa ya……? mmm…, bapak tau mak Lampir ga?”

“Iya tau”.
“Nah, saya liat kepalanya kaya mak Lampir tapi matanya bulet merah nyala.”

“Ohh… itu kali yang bikin panik karyawan yang tidur di Hiphiphura sebelum kamu,
yang jatuh trus meninggal itu,” kata saya menyimpulkan.

“Iya pak sepertinya,” kata Putra.
Kisah “Taman Arwah” selesai sampai di sini. Terima kasih buat kalian yang sudah
membaca sedari awal. Semoga ada pelajaran yang dapat diambil. Sampai jumpa di thread dan kisah lainnya.

Write a comment