SlotRaja777 – Aku adalah anak wanita dari keluarga Atmaja, sebuah keluarga yang terkenal dengan para penari jaipong yang ada di beberapa generasi.
Namun, aku sepertinya tidak berbakat dengan hal tersebut, dan itu bukanlah tanpa sebab, karena ternyata, di balik kesuksesan keluargaku, ada sebuah ritual yang aku tidak ketahui.
Sebuah ritual yang kini harus aku laksanakan untuk membawa kembali nama keluarga Atmaja untuk sampai ke puncaknya.
Sebuah ritual, yang mengharuskan aku menari bersama mayat leluhurku yang akan membimbingku sehingga aku bisa seperti mereka semasa hidupnya.
Apakah aku berhasil dalam ritual itu?
Malam itu terasa pekat, langit di atas sana hanya diterangi oleh sinar bulan purnama yang menggantung kelam.
Angin malam berhembus lembut, namun di antara hembusannya ada sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding.
Aroma dupa menyengat mengisi udara, bercampur dengan kegelapan malam yang pekat dan bau tanah basah dan lembab di bawah sana.
Nampak, ada seseorang yang berdiri tepat di belakangku, dia terdengar seperti bergumam seperti sedang membacakan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Dia adalah Nyai Dwi Atmaja, ibuku yang kini membawaku ke tempat ini bersama dengan seluruh keluargaku pada malam ini.
Sedangkan aku yang berdiri di dekatnya hanya bisa berdiri terdiam, karena aku sendiri tidak tahu ada dimana sekarang.
Kedua mataku tertutup rapat oleh kain hitam yang tebal, hanya indera penciuman dan indera perasa yang bisa merasakan apa yang aku rasakan.
Dengan tangan yang gemetar, ibu membuka mataku, penutup hitam itu secara perlahan-lahan terbuka dan aku kini bisa melihat semuanya dengan jelas.
“Ini tempatnya Widya…. tempat dimana kamu bisa merubah nasibmu untuk seterusnya.”
“Sebagai keturunan keluarga Atmaja yang terkenal, kemampuanmu harus sama dengan para leluhurmu, dan sekarang, para leluhurmu akan membimbingmu sehingga kamu bisa membawa kembali nama Atmaja atas apa yang kamu lakukan.”
Rupanya, aku berdiri di tengah pemakaman keluarga yang luas, sebuah pemakaman yang tua dan ditutupi lumut serta taman liar.
Bahkan, beberapa di antaranya hampir runtuh karena usia, sehingga terkesan bahwa pemakaman ini adalah pemakaman yang sudah ada dari jaman dahulu.
Namun, bukan hanya itu yang membuatku nampak ketakutan dan bingung atas semua yang terjadi sekarang.
Di tengah-tengah kebingungan yang melanda karena aku tidak bisa mencerna semua informasi yang masuk ke dalam otakku pada saat itu.
Aku terkejut karena beberapa anggota keluarga yang aku kenal, kini terlihat menggali beberapa makam yang ada disana.
“Bu… apa yang sedang mereka lakukan?” kataku dengan nada yang bergetar.
Ibu tidak langsung menjawab, dia hanya tersenyum pelan sambil melirikku selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia kembali melihat saudara-saudaraku yang sedang menggali makam itu dengan ekspresi yang dingin.
Mulutnya terus bergumam seperti membaca sesuatu, namun aku tidak mengetahui apa yang dia baca, dan tak lama kemudian, sesuatu terjadi di salah satu makam yang ada di sana.
Salah seorang dari mereka yang merupakan pamanku, terlihat berteriak untuk meminta bantuan, beberapa orang yang ada disana terlihat berlari dan masuk ke dalam makam yang sudah digali pada saat itu.
Mereka semua mengangkat satu tubuh manusia yang tertutup oleh kain kafan yang nampak lapuk, dan tak lama mereka mengangkatnya dan menyimpannya di sebuah tempat yang agak luas di tengah-tengah pemakaman.
Terhitung, ada sekitar enam makam yang digali disana, dan semua tubuhnya diangkat kembali dan disimpan di tengah-tengah pemakaman secara melingkar.
Aku hanya bisa terdiam, sebuah perasaan mual bercampur jijik langsung terasa olehku pada saat itu.
Aku bahkan membuka mulutku, dan menunduk secara perlahan sembari mengeluarkan sesuatu yang naik ke atas tenggorokanku pada saat itu.
Jujur aku tidak tahu semua ini, ada apa dengan mereka semua, dan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku sekarang.
Sepanjang malam ini, aku melakukan berbagai hal yang tidak masuk di akal, dan ini adalah puncak dari semua itu yang membuatku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menatap mereka yang fokus mengangkat mayat dan membawanya ke tengah-tengah makam.
Namun, Ibu nampaknya tahu akan hal itu, bahkan mungkin seluruh keluargaku mengetahui atas apa yang terjadi disini.
“Lihat….” kata ibu sambil menunjuk kepada tubuh-tubuh yang kini tergeletak melingkar di tengah-tengah makam.
“Itu leluhurmu, leluhur ibu, mereka orang-orang hebat, dan kamu akan menjadi mereka nantinya.”
“Aku sengaja membuatmu seperti ini agar kamu tidak memalukan lagi seperti kemarin, nama keluarga Atmaja akan jatuh apabila kamu tetap seperti ini, sehingga kamu harus nurut atas apa yang ibu katakan, dan hal ini ibu lakukan agar kamu bisa terkenal dari sebelumnya.”
Aku kembali terdiam, tidak ada yang bisa aku katakan atas apa yang terjadi sekarang.
Terlihat mata ibu yang ambisius ketika dia berkata seperti itu, dan kini dia memaksaku untuk melakukan ini semua.
Para mayat yang sudah dikeluarkan, kini dibuka kain kafannya satu persatu, terlihat tubuh-tubuh dari para leluhurku yang masih lengkap ketika dibuka dan dibiarkan telanjang.
Seperti ada yang aneh dengan para mayat itu, mereka semua seperti diawetkan, kulitnya hanya keriput dan kurus kering, namun tidak ada satupun bagian tubuhnya yang hilang setelah bertahun-tahun dikubur di tempat ini.
Padahal seharusnya, tubuhnya mungkin sudah menjadi tulang belulang, namun apa yang aku lihat disana, tidak seperti itu.
Hal itu tentu saja membuatku ngeri, sehingga aku masih bingung dan takut dengan situasiku sekarang.
Seorang paman bernama Mang Danar yang merupakan adik kandung ibu, tiba-tiba berteriak kepadanya.
“Dwi!!, mana bajunya?” katanya dengan nada yang keras.
Ibu seketika langsung menepuk pundakku, dia membalikkan badannya dan mengambil sebuah tas ransel yang ada di belakang kita semua.
Dia membuka ransel itu dan membawa satu set pakaian penari jaipong di tangannya, lalu tak lama dia memberikannya kepadaku sambil berkata.
“Pakai itu sekarang, kamu tidak perlu malu dengan tubuhmu yang telanjang di depan keluargamu sekarang, ganti dengan baju itu di tempat ini.”
Ibu berkata seperti itu sambil berjalan ke arah pamanku yang ada disana, dan tak lama kemudian dia memberikan tas ransel itu kepada pamanku dan membukannya.
Terlihat disana beberapa pakaian jaipong berwarna merah cerah dengan sebuah garis kuning emas terlihat jelas, lengkap dengan selendang dan kain jarik yang dia keluarkan dari ranselnya.
Pakaian itu sama seperti yang aku terima, dan tak lama kemudian, ibu dan paman dibantu dengan saudara-saudaraku, tiba-tiba memakaikan pakaian itu kepada para mayat yang tergeletak di sana.
Aku masih terdiam dan tidak bergerak sedikitpun, bahkan kedua tanganku kini bergetar hebat atas apa yang aku lihat pada malam ini.
Ibu sempat melirik ke arahku, dan tak lama kemudian, dia berteriak kepadaku dengan nada yang sedikit marah.
“Widya!!!!!, cepat pakai pakaian itu….”
Sorot matanya terlihat tajam, aku hanya bisa mengangguk dan mulai membuka kancing bajuku secara perlahan.
Jujur, aku sebenarnya malu, meskipun disana semua adalah keluargaku, namun aku yang sudah remaja merasa malu apabila mengganti bajuku di tempat seperti ini.
Tapi, ibu yang terus memaksaku akhirnya membuatku melakukannya, aku mulai membuka kancingku satu persatu, lalu tak lama membuka celanaku dan menggantinya dengan pakaian jaipong yang ibu berikan kepadaku.
Sementara itu, para anggota keluarga yang lain tampaknya tidak memperhatikanku disana, mereka nampak fokus dengan para mayat leluhurku yang ada di tengah-tengah pemakaman.
Bahkan, ibu dan paman serta Ua yang merupakan kakak tertua ibu nampak merias mayat-mayat itu, sehingga mayat itu tidak lagi seperti mayat biasa, namun mereka tampak seperti boneka yang menyeramkan dengan pakaian jaipong tradisional yang mencolok.
Beberapa hiasan bunga melati pun di sematkan di kepalanya, dan hal itu membuat mereka semakin yang menyeramkan dengan wajahnya mayatnya yang keriput seperti tidak ada daging di dalamnya.
***
Kain kafan yang sudah lapuk dan berdebu itu kini di kumpulkan di sisi makam, dan para mayat yang awalnya terbungkus dengan kain kafan kini sudah dibalut dengan pakaian jaipong lengkap dengan selendang yang di ikat di pinggangnya.
Ibu yang tadinya ada di antara para mayat itu, kini mulai mendekat kembali kepadaku yang sudah berganti pakaian seperti para mayat itu.
Dia menarik tanganku dengan perlahan, membawaku mendekat kepada mayat-mayat itu sambil tersenyum kecil.
Aku sedikit menolak akan hal itu, beberapa kali aku menghentikan langkahku, dan ibu dengan paksa menarik tanganku sehingga aku kembali berjalan.
“Bu…… sepertinya aku ga bisa dengan hal ini?” kataku dengan nada yang pelan.
Ibu langsung meliriku dengan tatapan yang tajam, dan sambil menarik tanganku dia berkata.
“Bisa, kamu pasti bisa, ibu juga melakukan hal yang sama pada saat itu dan kamu tahu kan bagaimana terkenalnya ibu sebagai keluarga Atmaja.”
Salah satu tangan ibu tiba-tiba menunjuk ke arahku, tatapannya terlihat serius dengan sorot matanya yang tajam.
“Pokoknya, kamu nurut sama ibu….”
Ibu berbicara seperti itu sambil mendorong tubuhku ke tengah-tengah para mayat yang mengelilingiku pada saat it
Aku kini bisa melihat dengan jelas wajah-wajah mereka yang terpejam dengan riasan para penari jaipong yang membuat mereka tampak menyeramkan.
“Berdiri disana, diam di tengah-tengah mereka,” kata ibu dengan nada yang sedikit keras.
Aku hanya bisa mengangguk sambil berdiri di antara para mayat itu, wajahku benar-benar pucat dan aku hanya bisa memainkan kedua jari di tanganku sambil melirik ke arah para mayat itu.
Paman, Ua serta keluarga yang lain yang tinggal di sekitar pemakaman tersebut tiba-tiba meninggalkanku dan berjalan ke arah belakang.
Mereka semua berjalan ke arah gamelan yang sudah disiapkan sebelumnya di tempat itu, ada yang duduk di depan saron, bonang, gong, serta rebab.
Mereka seperti terbiasa, dan tidak ada rasa takut yang mereka perlihatkan ketika melakukan hal ini.
Tak lama kemudian, ibu kembali berkata kepadaku.
“Kita agar segera memulai ritual ini, dan ketika para saudaramu mulai memainkan gamelan disana, kamu segera menari nak.”
“Tapi bu… a.. aku takut,” kataku dengan nada yang pelan.
Ibu kembali menatapku dengan tatapan yang tajam, dia mendekat kepadaku dan melewati para mayat yang mengelilingiku.
“Jangan takut Widya,” katanya dengan nada yang pelan namun penuh dengan tekanan.
“Mereka semua adalah keluargamu, bahkan kamu bisa melihat bahwa ada nenekmu di sana.”
“Mereka bisa memberkatimu, mereka bisa memandumu agar kamu bisa menjadi yang terbaik.”
Ibu yang langsung memegang kedua tanganku, memaksaku untuk memegang selendang yang terpasang di pinggangku dengan kedua tangannya.
“Menarilah nak, biarkan tubuh ini bergerak sendiri dengan panduan mereka, menarilah hingga mereka bangkit dan menari bersamamu pada malam ini.”
“Dan ketika kamu selesai, aku yakin kamu akan membawa nama Atmaja ke arah yang baru, seperti halnya aku ketika masih muda dulu.”
Ibu hanya tersenyum sinis ketika berkata seperti itu, dia menatapku tajam dan menepuk pundakku sebelum dirinya kembali berjalan meninggalkanku.
Baca: Cerita Horor Kabut Misteri Gunung Slamet 3.428 mdpl
Baru beberapa langkah dia berjalan, dia kembali menoleh ke arahku dan kembali berkata sambil menunjukku pada saat itu.
“Dan satu lagi widya…” katanya dengan nada suaranya yang tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin
“Jangan buat kesalahan, karena hal itu akan membuat semua leluhurmu marah, sehingga akan menimbulkan bencana bagi kita semua!”
Penasaran… apa yang akan terjadi dengan Widya